Membedah Isu Di Balik Tagar #KhilafahWajib #IslamAdalahSolusi Dst. yang Sempat Merajai Linimasa

Membedah Isu Di Balik Tagar #KhilafahWajib #IslamAdalahSolusi Dst. yang Sempat Merajai Linimasa

Bagaimana tagar-tagar khilafah ini bisa muncul dan ada di baliknya?

Membedah Isu Di Balik Tagar #KhilafahWajib #IslamAdalahSolusi Dst. yang Sempat Merajai Linimasa
HTI sudah dibubarkan dan proses hukumnya berjalan. Lalu, bagaimana dengan ideologi, apakah bisa hilang juga? Pict by CRCS UGM

Perjuangan pro-khilafah untuk membangun narasi di media sosial ternyata masih kencang. Setidaknya ketika kita menyimak percakapan paling populer di Twitter sehari yang lalu. Tagar #KhilafahWajib #Islamadalahsolusi menjadi pemuncak klasemen selama beberapa jam diiringi dengan tagar lain seperti #ijtimaulama.

Secara substantif, apa yang disuarakan kelompok ini tidak ada salahnya. Khilafah atau kepemimpinan memang menjadi kewajiban bagi umat muslim agar terjaminnya keharmonisan sebuah bangsa. Tanpa adanya pemerintahan, sebuah bangsa kan sangat mudah untuk terpecah belah. Selain itu, pemerintahan memiliki wewenang untuk mengelola sumber daya, baik alam atau manusia, sehingga bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan masyarakatnya.

Begitulah ajaran Nabi Muhammad SAW kepada umat muslim untuk menciptakan salam atau kedamaian bagi umat manusia. Terkait model pemerintahan seperti apa, Nabi Muhanmmad SAW tidak memberi gambaran secara pasti. Sehingga para sahabat mengelola negara dengan cara beragam. Pergantian dari pemimpin (khalifah) satu ke pemimpin yang lain pun berbeda-beda. Ini menunjukkan ruang bagi umat untuk mencari bentuk pemerintahan yang paling sesuai dengan kondisi sosial masing-masing.

Pada tahun 1945, masyarakat Indonesia mengalami situasi sejarah yang membuat bangsa ini memilih mengelola negara secara mandiri dengan melepaskan dari jerat penjajahan. Para pendiri bangsa kemudian merancang sebuah negara yang bisa mengakomodir berbagai bentuk keragaman. Semua kalangan bisa terlibat aktif dalam pengelolaan negara.

Umat Islam yang menaruh perhatian pada pemerintahan, memastikan bahwa negara yang akan dibentuk bisa mengakomodir umat Islam untuk menjalankan kewajiban syariatnya.
Apakah berhenti di situ? Tentu tidak.

Kalangan ulama yang tergabung dalam berbagai organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Sarekat Islam dll masih melihat bahwa negara ini belum syar’i karena tidak menggunakan Al-Quran sebagai pedomannya. Dapat dipahami mengingat bentuk negara republik masih sangat asing. Penduduk nusantara terbiasa dengan sistem kerajaan di mana raja dianggap sebagai representasi Tuhan.

Setelah kekuatan kerajaan dilumpuhkan kolonial, masyarakat belum tahu mau membawa ke arah mana negara ini. Pergulatan antara negara dan agama kemudian melahirkan satu pemahaman baru bahwa antara agama dan negara tidak perlu dipertentangkan. Keduanya justru bisa saling mengisi.
Ketika sekutu kembali ke Indonesia untuk menjajah, Islam hadir sebagai spirit untuk mengusir para penjajah.

Resolusi jihad yang diserukan ulama terkemuka KH. Hasyim Asy’ari mengobarkan semangat para pejuang untuk mempertahankan tanah airnya. Mbah Hasyim berijtihad bahwa membela negara dan mempertahankan tanah air adalah wajib ‘ain.

Di tahun-tahun setelah era penjajahan berakhir, umat Islam di Indonesia semakin bisa menjembatani kepentingan agama dan negara, tanpa mengorbankan keberagaman yang menjadi anugerah bangsa ini.

Pancasila sebagai ideologi negara ternyata mampu memperkuat kehidupan antar umat beragama di tengah banyaknya konflik klaim kebenaran agama di negara Timur Tengah. Karenanya, anggapan bahwa Islam membawa kehancuran dapat dibantah ketika dunia menyaksikan kehidupan yang harmonis dan saling berdampingan di Indonesia.

Khilafah wajib

Namun narasi keharmonisan ini kerap dirusak oleh orang-orang yang mengatasnamakan agama dengan cara menebar teror dan benci. Salah satunya dari kelompok yang memperjuangkan sebuah sistem yang sebenarnya sudah terbukti gagal di tempat munculnya. Mereka menyebut dirinya sebagai Hizbut Tahrir yang memperjuangkan sistem khilafah.

Di berbagai forum mereka menyebut mendirikan khilafah itu wajib. Benarkan demikian?
Khilafah alias kepemimpinan memang wajib. Tetapi bukan berarti khilafah ala HT yang juga hasil ijtihad.

Dalam Islam, yang diwajibkan adalah unsur syura atau musyawarah. Di Indonesia hal tersebut terakomodir dengan baik. Sementara Khilafah ala HT sama dengan sistem lain di dunia seperti kerajaan, demokrasi, komunis dan lain sebagainya, yang bisa diadopsi sebuah negara bergantung pada kebutuhan dalam mengelola negara tersebut. Dalam konteks Indonesia yang beragam, sistem pemerintahan ala HT yang eksklusif tentu tertolak dengan sendirinya.

Hal ini bisa dilihat dari sikap ulama-ulama di Indonesia yang tidak menerima konsep ala HT tersebut. KH. Maimoen Zubair, misalnya, pernah mengeluarkan statement yang cukup tegas bahwa era khilafah (ala HT) sudah berakhir.Indonesia kini menganut sistem pemerintahan demokrasi berlandaskan Pancasila.

Mbah Moen kerap menyebut bahwa kunci kuatnya bangsa Indonesia karena empat hal yang disingkat sebagai PBNU: Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Undang-Undang Negara 1945. Tanpa keempat hal ini, bangsa Indonesia yang beragam akan mudah dipecah belah.

Karenanya sangat tidak relevan untuk terus menyuarakan berdirinya khilafah di tengah negara yang sudah sangat khilafah. Indonesia memiliki aturan-aturan, sistem pemerintahan, undang-undang dan perangkat lain yang menjadi syarat berdirinya sebuah khilafah alias kepemimpinan. Lalu mengapa banyak orang yang gagal paham?