Tulisan ini dimaksudkan untuk menguji argumentasi fikih tambang Mas Ulil Absar Abdallah. Salah satu caranya adalah membandingkannya dengan putusan Muktamar PBNU sebelumnya. Tahun 1994 misalnya, Muktamar Nadhlatul Ulama ke-29 di Cipasung Tasikmalaya pernah mengeluarkan putusan tentang Maslahah ‘Ammah [Kepentingan Umum]. Selain menjelaskan maksud dan batasan dari istilah Maslahah ‘Ammah, putusan ini juga dilengkapi dengan pandangan NU terkait lingkungan hidup. Kemudian tahun 2007, PBNU merilis buku Green Book of Nahdliyin sebagai pelengkap dari jihad lingkungan (ijtihad bi’ah) yang dikampanyekan PBNU bersama Jaringan Kerja Gerakan Nasional Kehutanan dan Lingkungan Hidup (GNKL). Buku selanjutnya yang juga tak kalah pentingnya, Fikih Energi Terbarukan, diterbitkan tahun 2017 oleh Lakpesdam PBNU di mana Mas Ulil pernah dua kali menjadi pimpinannya.
Sumber yang saya sebutkan di atas memang tidak bicara konsesi tambang ormas secara spesifik. Tetapi pandangannya tentang lingkungan dan energi terbarukan penting diperhatikan. Mengikuti alur logika pemikiran PBNU dari tahun 1994 sampai 2017, sebagaimana tercermin dalam ketiga sumber itu, mestinya PBNU hari ini tidak menerima izin tambang ormas, atau minimal sikapnya seperti Muhammadiyah: mendiskusikan dulu sebelum menerima. Dari mana prediksi ini munculnya, nanti saya akan bahas satu per satu.
Tapi sebelum itu, untuk memudahkan, pendapat PBNU sebelum kepengurusan Gus Yahya saya sebut dengan Qaul Qadim PBNU (pendapat lama). Sementara pandangan PBNU hari ini tentang tambang sebagai qaul jadid (pendapat baru). Dalam fikih perbedaan dan perubahan pendapat ini bukanlah suatu yang aneh dan sangat wajar. Dalam kaidah fikih dikatakan, hukum bisa berubah sesuai dengan perubahan tempat, kondisi, kebiasaan, dan seterusnya. Bagi pemuja logika hitam-putih, pasti agak kesulitan memahami perubahan pendapat semacam ini.
Qaul Qadim PBNU
Pada Muktamar Cipasung Tasikmalaya tahun 1994, PBNU mengeluarkan putusan tentang kepentingan umum (Maslahah ‘Ammah). Putusan ini sebagai bentuk kritik atas pembangunan yang kerapkali mengatasnamakan kepentingan umum, tapi masalahnya tidak ada kejelasan maksud dan batasan dari kepentingan umum itu sendiri. Tafsirannya menjadi semakin liar dan tidak jelas. Masing-masing pihak, baik penguasa dan masyarakat, sama-sama mengatasnamakan kepentingan umum. Kalau seperti ini, akhirnya pasti berantakan dan memberi dampak negatif.
Muktamar menyimpulkan bahwa Maslahah ‘Ammah harus sesuai dengan tujuan syariat, yaitu menjamin kesalamatan agama, jiwa, akal, keluarga dan keturunan, dan hak milik. Maslahah ‘Ammah harus benar-benar untuk kepentingan umum, tidak membawa manfaat dan meniadakan mudharat hanya menguntungkan atau untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Maslahah ‘Ammah tidak boleh mengorbankan kepentingan umum lain yang sederajat apalagi yang lebih besar. Maslahat ‘ammah harus bersifat haqiqiyah (nyata) dan tidak wahmiyah (hipotesis). Karena itu, untuk menentukan maslahah ‘ammah harus dilakukan melalui kajian yang cermat atau penelitian, musyawarah, dan ditetapkan secara bersama-sama.
Pada Muktamar tahun 1994 itu juga, PBNU mengeluarkan putusan tentang kewajiban menjaga lingkungan dari kerusakan. Putusan PBNU tersebut sebetulnya masih mentolerir pembangunan dan industri yang berhubungan dengan eksploitasi alam, selama ada jaminan tidak akan terjadi kerusakan dan dampak yang signifikan yang dapat merugikan manusia secara luas, baik dalam jangka pendek ataupun jangka panjang.
Beberapa tahun setelahnya, pandangan PBNU tentang lingkungan semakin ketat, dari yang sebelumnya masih mentolerir ekploitasi alam untuk kemaslahatan manusia, hingga tidak merekomendasikan lagi penggunaan eksploitasi alam karena krisis ekologi: parahnya kerusakan hutan, punahnya sumber-sumber air, pencemaran air bersih, bencana alam, rusaknya wawasan pertambangan dan sekitar pertambangan.
Kesimpulan ini muncul setelah membaca relolusi NU tentang Jihad Bi’ah wal Ijtimi’iyyah wal Iqtishadiyah (jihad lingkungan, sosial, dan ekonomi) tahun 2007. Resolusi jihad ini dilampirkan dalam buku Green Book of Nadhliyin, di mana salah satu nilai yang ditekankan adalah “dari memanfaatkan menuju menyelamatkan bumi dan memperbaiki lingkungan. Dari kondisi kerusakan menuju perbaikan.”
Kalau nilai ini dihadapkan pada kasus izin tambang ormas, idealnya PBNU memprioritaskan untuk menyelamatkan bumi dari kerusakan, dengan cara menahan diri untuk tidak ikut dalam pertambangan, karena adanya potensi kerusakan yang ditimbulkannya.
Sepuluh tahun setelah buku ini diterbitkan, Lakpesdam PBNU tahun 2017 menerbitkan buku Fikih Energi Terbarukan. Buku ini diberi kata pengantar oleh KH. Said Agil Siradj, yang belakangan ini juga mendukung izin tambang dengan alasan ghonimah. Sesuai judulnya, buku ini merekomendasikan untuk transisi energi dari fossil ke arah non-fossil, atau energi terbarukan. Sebab sumber energi yang berasal dari pertambangan baru bara atau mineral lainnya sering kali dilakukan dengan pertambangan terbuka (open mining) yang berdampak pada kerusakan hutan, penebangan pohon, dan jenis kerusakan lainnya.
Atas dasar pertimbangan itu, tim penulis buku merekomendasikan penggunaan energi terbarukan dibanding fossil, seperti batu bara, karena mudaratnya lebih ringan dan sumbernya masih sangat berlimpah di Indonesia. Kesimpulan ini dudukung dengan kaidah fikih, idza ijtma’a mafsadatani quddima akhaffuhuma, apabila terdapat dua kemafsadatan, maka kemafasadatan yang lebih ringan yang harus didahulukan.
Setelah membaca sumber ini, dapat disimpulkan bahwa pada mulanya PBNU masih mentolerir penggunaan sumber daya alam yang berpotensi merusak, asalkan ada jaminan potensi kerusakannya dapat diminimalisir (Muktamar NU 1994), kemudian merekomendasikan untuk perbaikan dibanding memanfaatkan atau eksploitasi alam (Resolusi NU 2007), dan yang terakhir mendorong transisi energi dari fossil menuju terbarukan.
Qaul Jadid PBNU
Sebagaimana diketahui bersama, Ketua Umum PBNU sejak awal menyambut baik izin tambang ormas. Pada pembukaan halaqah ulama tempo hari, KH. Yahya Cholil Tsaquf memaparkan alasannya kenapa menerima tambang dari pemerintah. Menurut beliau tidak ada masalah dari keinginan baik pemerintah itu, semuanya masuk akal. Dilihat dari sudut pandangan fikih, asal usulnya jelas, materinya tidak najis, dan PBNU juga sudah menyiapkan tim untuk memastikan pengelolaannya benar, supaya tidak menimbulkan kemudaratan. Dengan kata lain, tambang ramah lingkungan.
Argumentasi Ketua Umum itu diperkuat oleh Mas Ulil Abshar Abdalla, bahwa tambangp pada dirinya (li dzatihi) hukumnya halal. Ia baru bisa dikatakan haram kalau ada unsur lain di luar dirinya yang menyebabkan haram. Dalam istilah fikih kasus seperti ini dinamakan haram li ghairihi. Tambang punya potensi untuk dihukumi haram, kalau tidak dikelola dengan baik, dan menimbulkan kemudaratan yang lebih besar.
Mas Ulil mendasarkan hujjahnya pada kaidah fikih, idza ta’aradha mafsadadtani ru’iya akhaffuhuma/jika ada dua tindakan yang sama-sama mengandung mafsadat (bahaya) dipilih yang paling kecil mafsadatnya. Dia mencontohkan, seorang yang sedang haji dan terancam mati karena kelaparan. Di hadapannya hanya tersedia dua pilihan untuk bertahan hidup: memakan bangkai yang diharamkan dalam agama, atau daging hewan hasil buruan yang juga diharamkan dalam agama; semua hewan yang ada di tanah suci, Mekah dan Madinah dengan batas-batas tertentu, tidak boleh diburu dan diganggu untuk menghormati kesuciannya.
Menghadapi kasus dilematis seperti ini, kata Mas Ulil, fikih memberikan jalan keluar, boleh memakan daging hewan buruan walaupun haram. Sebab level keharamannya lebih ringan dari bangkai.
Kaitannya dengan tambang, Mas Ulil mengandaikan bahwa manusia modern berada dalam posisi juga relatif sama. Kita dihadapkan pada situasi yang dilematis, antara menerima dan menolak batu bara. Kalau batu bara tetap dipakai resikonya pemanasan global, tapi kalau dihentikan sama sekali dampaknya bisa lebih besar dari itu. Merujuk kaidah ta’arrudh baina mafsadatani tadi, kita dibolehkan untuk memilih resiko yang lebih kecil untuk menghindari bahaya yang lebih besar. Karena itu, Mas Ulil menyimpulkan, batu bara masih tetap boleh digunakan, karena dibutuhkan banyak orang, sambil pelan-pelan menyiapkan strategi untuk transisi energi ke non-fosil.
Menimbang Kalkulasi Maslahat-Mafsadat Mas Ulil
Mas Ulil menggunakan kalkulasi Maslahat-Mafsadat dalam tulisannya. Di sinilah letak perdebatannya. Dari dulu sampai sekarang perdebatan fikih kerapkali tidak ada ujungnya karena tidak bisa memberi ukuran yang pasti tentang mana yang maslahat dan mana yang mafsadat.
Khazanah Ushul fikih dan fikih kita sangat kaya. Banyak karya ulama yang membahas ini, seperti Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam dan Risalah Sughra karya Izzuddin bin Abdul Salam, al-Muwafaqat karya al-Syatibi, Risalah fi Ri’ayatil Maslahah karya Al-Thufi, Maqashid Syariah karya Al-Thahir Ibnu Asyur, hingga Maqashid Syariah ka Falsafah Tasyri’ karya Jasser Auda, dan masih banyak lagi.
Namun kekurangannya adalah belum adanya penjelasannya yang mendalam tentang bagaimana operasional penggunanaan kalkulasi mafsadat dan maslahat. Kalaupun ada, ukurannya masih diperdebatkan. Yang ada sementara ini adalah norma, nilai, dan kaidah. Ilmu Ushul fikih dan fikih menyediakan alat bantu sangat luar biasa untuk memahami teks, tetapi belum mamadai untuk memahami realitas, di luar teks, yang sangat kompleks.
Walaupun Ibnu Asyur mengkritik Ushul fikih tidak dibangun di atas postulat yang pasti, namun sayangnya Ibnu Asyur juga tidak memberikan alat ukur yang pasti. Karena itu, saya setuju dengan pendapat Mas Ulil, yang merujuk KH. Sahal Mahfudz, bahwa fikih tok tidak memadai, perlu dilengkapi dengan pendekatan multi-disiplin, termasuk filsafat, sosiologi, dan piranti keilmuan yang lain.
Sebab itu, menurut hemat saya, kalkulasi maslahat-mafsadat yang diutarkan Mas Ulil perlu kita uji bersama untuk mendapatkan pemahaman apakah betul putusan PBNU itu lebih banyak maslahatnya atau lebih sedikit kerugiannya. Saya punya beberapa catatan terkait pandangan fikih yang disampaikan Mas Ulil, ditinjau dari sudut pandangan ilmu fikih, bukan ilmu tambang atau lingkungan, sebab saya tidak mendalami ilmu tersebut.
Catatan saya yang pertama adalah Mas Ulil sebetulnya menggunakan kaidah yang sama dengan tim penulis buku Fikih Energi Terbarukan: pilihlah mudarat yang lebih ringan jika dihadapkan pada situasi harus memilih di antara dua kemudaratan. Kaidahnya sama, tapi hasilnya beda. Sekali lagi ini tidak aneh dalam fikih. Kenapa demikian? Salah satu sebabnya karena pertanyaan dan narasi yang dibangun berbeda.
Saya masih ingat bahwa Gus Yahya, dalam pidato pembukaan Halaqah Ulama, berkali-kali menekankan pentingnya membuat pertanyaan yang benar sebelum mendiskusikan hukumnya. Salah buat pertanyaan, hasilnya bikin repot dan menyusahkan. Gus Yahya mencontohkan dengan fatwa MUI yang mengharamkan salam lintas iman. Kalau pertanyaannya apakah salam lintas agama mencampuradukkan akidah, wajar kalau jawabannya seperti itu. Mestinya pertanyaannya, apa hukumnya menyampaikan salam untuk memperkuat kerukunan. Semoga saya tidak salah ingat.
Dalam kasus tambang, Mas Ulil menarasikan kepada bahwa kita seolah-olah sedang berada dalam situasi yang sulit: menolak atau menerima tambang. Seakan-akan tidak ada pilihan kedua, ketiga, dan seterusnya. Padahal realitanya, pilihannya tidak selalu menerima atau menolak tambang. Tapi ada pilihan yang lain, yaitu energi terbarukan, di mana sumbernya sangat melimpah di Indonesia. Seperti yang dijelaskan tim penulis Fikih Energi Terbarukan.
Selain itu, yang dikeluhkan banyak orang kepada PBNU bukan industri tambang yang selama ini sudah berjalan, tetapi lebih kepada keputusan PBNU menerima konsesi tambang. Kenapa giliran PBNU menerima malah dipersoalkan, sementara yang lain tidak? Alasan saya sederhana, itu sama saja mempermasalahkan kalau ada penceramah yang tiap hari bahas zuhud, bahaya hubbun dunya, fitnah harta, tetapi gaya hidupnya mewah dan glamor.
Maka dari itu, saya usulkan kepada Mas Ulil bagaimana kalau misalnya pertanyaannya diganti, bukan antara menerima dan menolak tambang secara total, tetapi lebih maslahat mana PBNU menerima izin tambang ormas atau menolaknya?
Jawaban dari pertanyaan ini sekaligus menjadi catatan saya yang kedua untuk Mas Ulil. Menjawab pertanyaan ini tentu saja tidak mudah. Tidak cukup modal baca buku per se. Butuh kedalaman pengamatan dan diskusi dengan lintas pakar. Kalau boleh berspekulasi, dengan menggunakan teori kalkulasi maslahat-mafsadat yang sudah ada, hal mendasar yang perlu diperhatikan pertama kali adalah apakah masalah yang sedang kita bahas masuk dalam kategori dharuriyyah/primer, hajjiyah/sekunder, atau tahsiniyyah/ tersier. Bisa juga dengan menggunakan timbangan kulliyatul khams/lima prinsip dasar syariat: menjaga agama, akal, jiwa, keturunan, dan harta. Ulama maqashid syariah kontemporer, seperti almarhum KH. Ali Yafie, menambahkan menjaga lingkungan (hifdzul bi’ah) sebagai bagian dari tujuan syariat.
Mari kita coba otak-atik, kira-kira lebih maslahat mana bagi PBNU menerima atau menolak. Hujjah PBNU menerima tambang adalah untuk penguatan ekonomi dan mensejahterakan warga NU. Sementara hujjah yang menolak menyatakan bahwa tambang membahayakan lingkungan dan kehidupan manusia. Hujjah yang mendukung dan menolak masih bersifat potensi atau dugaan, sebab faktanya PBNU belum mengelola tambang. Tapi dalam fikih, dugaan atau potensi itu sudah bisa dihukumi. Pendekatannya bisa dengan menggunakan sadd al-dzariah, menutup potensi buruk, atau fath al-dzari’ah, membuka potensi yang baik.
Kalau ditimbang dengan menggunakan maqashid al-syariah, saya simpulkan bahwa alasan ekonomi masuk dalam kategori hajjiyah/tersier atau hifdzul mal. Saya katakan hajjiyah karena sebenarnya PBNU masih punya alternatif lain untuk mensejahterakan warga NU. Tanpa tambang sekalipun, saya yakin masyarakat NU akan baik-baik saja. Sementara argumentasi yang menolak, ini bisa masuk dalam kategori dharuriyah, hifdzul nafs/menjaga jiwa, atau hifdzul bi’ah/menjaga lingkungan, sebab yang menjadi ancaman adalah kesehatan dan nyawa manusia. Dalam situasi seperti ini, biasanya para ulama akan mendahulukan yang dharuriyah daripada hajjiyah, hifdzun nafs/menjaga jiwa dibanding hifdzul mal/menjaga harta.
Penting saya utarakan, kalkulasi di atas masih spekulatif. Sebab itu, saya sangat setuju dengan rekomendasi Muktamar tahun 1994, penentuan kemaslahatan umum itu mesti dipikirkan dan didiskusikan secara matang. Semakin banyak pihak yang dilibatkan, dari disiplin ilmu yang berbeda-beda, hasilnya akan semakin baik. Lembaga Bahtsul Masail PBNU wadah yang tepat untuk menguji dan mendiskusikan ini. Saya tidak tahu persis, dalam prosedural penerimaan tambang itu melibatkan LBM atau tidak.
Kalau tidak ada forum musyawarah yang serius, perdebatan kalkulasi Mafasadat-Maslahat akan ngambang dan tidak ada ujungnya. Maslahat menurut pengurus PBNU, belum tentu maslahat menurut warga NU. Maslahat menurut semua orang NU, belum tentu maslahat bagi Muhammadiyah, atau organisasi lainnya. Ketidakjelasan batasan maslahah inilah yang dikhawatirkan dalam Muktamar NU di Cipasung.
Catatan terakhir dari saya, seperti diakui dalam tulisan Mas Ulil, dalam banyak kasus kita seringkali menemukan sesuatu yang tidak seratus persen mengandung kemaslahatan, melainkan dua hal sekaligus: maslahat dan mafsadat. Kesimpulan ini juga menjadi perhatian ulama terdahulu. Banyak ulama mengatakan kemaslahatan murni sulit ditemukan, bahkan hampir mustahil. Dalam ibadah sekalipun, kadang kita menemukan maslahat dan mafsadat sekaligus. Hanya saja maslahatnya jauh lebih besar dibanding mafsadatnya. Contohnya mudahnya ibadah haji, maslahatnya sangat besar, tetapi bukan berati tidak ada masyaqqah atau mafsadah-nya: bekerja keras mengumpulkan uang, fisik harus tahan cuaca panas, dan seterusnya.
Atas dasar itu pula, Al-Syatibi dalam al-Muwafaqat mendefenisikan maslahah dengan sesuatu yang dianggap maslahat secara umum, sementara mafsadat adalah sesuatu yang dianggap mafsadat secara umum. Artinya, dalam kemaslahatan itu sendiri bisa jadi ada kemudaratannya, begitupun sebaliknya. Tugas fuqaha adalah menentukan dan mengkalkulasikan mana yang lebih banyak maslahatnya atau mudaratnya.
Dalam menentukan kemaslahatan itu, ahli fikih biasanya akan mendahulukan kaidah jalbul mashalilh wa dar’ul mafasid, mengambil kemaslahatan dan menghindari kemudaratan. Tapi seperti yang dikatakan tadi, tidak semua masalah bisa berlaku kaidah ini. Dalam banyak situasi, justru kita dihadapkan pada situasi harus memilih.
Bagaimana caranya? Ulama menyediakan ragam kaidah turunan yang bisa digunakan dalam situasi yang tidak ideal, dalam bahasa fikih kontemporer abnormal situation. Kaidah ta’arudh baina mafsadatani yang kita diskusikan tadi, masuk dalam konteks ini. Artinya, prinsip memilih mudarat atau mafsadat yang lebih ringan hanya bisa diterapkan dalam situasi yang abnormal, dan tidak boleh digunakan pada situasi normal. Ini diistilahkan juga dengan rukhsah,mutstasnayat, exeptional law.
Penting diketahui bahwa penerapan rukhsah tidak berlaku permanen, hanya berlaku temporer atau sementara waktu. Pada saat situasi kembali normal, hukumnya dikembalikan pada hukum yang ideal. Dalam kaidah fikih dikatakan, al-dharurah yuqaddaru bi qadriha atau idza dhaqal amru ittasa’a, wa idza ittasa’a dhaqa. Contohnya, makan bangkai yang diharamkan boleh dalam situasi darurat sebatas untuk bertahan hidup, tidak boleh makan sepuas-puasnya. Bila sudah menemukan makanan yang halal, kebolehan makan bangkai sudah tidak berlaku lagi.
Tapi masalahnya, kaidah fikih yang membatasi konsumsi makanan haram dalam situasi abnormal ini bertentangan dengan semangat logika pasar kapitalisme. Dalam logika pasar hari ini, selama kebutuhan masih ada, produksi tetap terus berjalan. Orang bekerja hari ini bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan hariannya, tetapi juga kebutuhan pasar. Selama permintaan masih ada, produksi akan terus digenjot. Kalau batu bara masih ada, kebutuhan pasarnya cukup tinggi, penambangan batu bara akan tetap terus dilakukan.
Inilah masalah yang tak pernah dibayangkan oleh ulama terdahulu. Sebagaimana dijelaskan Mohammad Fadel dalam artikelnya “Islamic Collective Obligations and Pursuing a Just Global Order”, ahli fikih klasik hanya membayangkan bahwa kondisi darurat itu akan berlaku sementara/temporal, mereka tidak pernah membayangkan suatu saat akan terjadi situasi darurat terus-menerus, continual emergency.
Atas dasar itu pula, saya sulit membayangkan apa yang dikehendaki Mas Ulil dalam tulisannya terwujud: memakai batu bara sembari menyiapkan transisi energi ke non-fossil. Kemungkinan yang terjadi nanti adalah PBNU akan fokus pada pertambangan batu baranya, mengingat ini adalah suatu bidang baru juga yang dikelola PBNU. Sementara transisi energinya bagaimana?
Dalam hal ini, saya cenderung lebih setuju dengan kajian yang terdapat dalam buku Fikih Energi Terbarukan, supaya PBNU lebih fokus mempercepat proses transisi energi, ketimbang ikut andil mengelola tambang. Kalau memang tujuannya ingin menyiapkan transisi energi, harusnya diupayakan dari sekarang. Bukankah melakukan sesuatu yang dapat mengalihkan kita dari tujual awal, juga dilarang di dalam fikih: al-isyhtighal bi ghairil maqsud I’radh ‘anil maqsud.