Petasan atau mercom adalah tradisi khas yang kita peroleh dari zaman dulu. Sebagai tradisi local, tidak ada dasar hukum langsung yang menyangkut benda ini dari kitab-kitab salaf , apalagi al-Qur’an dan hadits yang bisa dilakukan untuk menjawab pertanyaan ini adalah menggali kesesuaiannya dengan semangat dan ajaran Islam.
Mencari relevansi petasan dengan ajaran Islam sungguh tidak mudah, jika tidak bisa dianggap mjustahil. Yang segera ketemu adalah bahwa dalam petasan terdapat unsur tabdzir (menghamburkan harta) dan dharar (bahaya) yang dalam semangat Islam keduanya adalah hal yang dihindari.
Tabdzir dilarang melalui ayat yang cukup popular sebagai berikut:
“Jangan menghamburkan harta. Sungguh, para penghambur harta adalah saudara para syaithan, sedangkan syaithan sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isra: 26-27).
Dalam tafsirnya, Ibn Katsir mengutip Qatadah untuk mendefinisikan tabdzir sebagai “An-nafaqah fi ma’shiyyah Allah ta’ala, wa fig hair al-haq wa al- fasad” (menggunakan harta untuk maksiat, sesuatu yang tidak benar, dalam kerusakan).
Dalam bahasa kita, definisi itu kurang lebih berarti pemborosan atau belanja yang tidak perlu dan tidak berguna, dengan tekanan untuk mengkorelasikannya dengan semangat dan nilai keagamaan. Adalah kesepakatan umum bahwa petasan termasuk dalam definisi ini, karena tidak ada manfaat rasional maupun keagamaan yang dapat kita petik dari petasan.
Dalam hal dharar cukup dikemukakan berbagai kerusakan yang ditimbulkan akibat penggunaan petasan. Hampir bisa dipastikan, pada masyarakat yang mengenal budaya petasan bisa didapatkan kisah korban petasan, baik berupa korban harta (terkadang dalam jumlah yang sangat besar) maupun korban manusia (dari sekedar luka bakar, cacat permanen, hingga korban jiwa).
Setidaknya dari dua sisi ini, petasan memiliki kontradiktif dengan maqashid as-syari’ah (tujuan-tujuan diberlakukannya syariat) yang antara lain adalah hifzh an-nafh (menjaga keselamatan jiwa) dan hifdz al-mal (menjaga nilai harta benda). Dua potensi kontradiksi ini cukup untuk menggolonkan petasan sebagai hal yang tidak dapat dibenarkan agama.
Bahwa petasan memiliki nilai syair Ramadhan, barangkali benar untuk kurun waktu tertentu, tepatnya di masa lalu. Sekarang, masyarakat umumnya tidak lagi menilai petasan sebagai syiar, tetapi sebagai gangguan khas Ramadhan. Lagi pula siar Ramadhan pada saat ini telah menajdi kepentingan banyak pihak, sehingga setiap kali Ramadhan tiba kita akan menemui “lomba” syair Ramadhan dalam bentuk yang sangat beragam, dan dengan demikian petasan telah kehilangan urgensinya sebagai media syiar.
Bahkan jika seandainya petasan sebagai sarana syiar Ramadhan dapat dianggap benar, maka potensi dan kasus-kasus kerusakan yang telah ditimbulkan selama ini akan memaksa kita untuk meninjau kembali apakah fungsi syair itu tidak justru menjadi boomerang bagi niali Ramadhan di mata masyarakat luas, mengingat di balik suka cita menyambut Ramadhan terselip ;pula kekhawatiran akan dampak yang ditimbulkan oleh permainan petasan.
Jika terhadap tadaruss Al-Qur’an (yang jelas-jelas berniali ibadah tinggi dan dianjurkan sebagai media syiar Ramadhan) berlaku catatan untuk tidak mengganggu ketenangan orang lain, apalagi terhadap sesuatu yang potensi kerusakannya jelas sedangkan manfaatnya masih dipertanyakan.
Sumber: K.H. MA. Sahal Machfudz, Dialog Problematika Umat, hal 149-150, Khalista, Surabaya, 2013.