Membayangkan Politik dan Islam Sebagai Ideologi Dominan

Membayangkan Politik dan Islam Sebagai Ideologi Dominan

Bagaimana islam dan politik menjadi ideologi dominan?

Membayangkan Politik dan Islam Sebagai Ideologi Dominan

Keriuhan Pilkada saat ini memang tidak seriuh seperti dua tahun lalu saat Pilkada Ibukota Indonesia, Jakarta. Namun, isu yang dihembuskan masih tidak banyak bergerak dari membawa agama sebagai legitimasi pilihan dengan berbagai model. Ada yang bilang belum kaffah keberislaman seseorang jika belum memilih calon yang diusulkan oleh ulama A, atau dengan cucokologi serampangan dengan membawa ayat dan hadits untuk mengajak masyarakat memilih. Bahkan ada yang sampai memfatwakan murtad bagi mereka yang tidak memilih calon yang tidak tepat, dengan mengutip Al-Maidah ayat 51-55. Metode kampanye dengan membawa agama masih cukup massif di Pilkada terakhir ini.

Membawa Agama di ranah politik sebagaimana dijelaskan oleh banyak pemikir, bukanlah barang baru. Namun yang menarik di politik Indonesia saat ini adalah menggunakan Islam sebagai perajut hubungan antar kelas sosial untuk bergerak dalam politik. Islam dianggap sebagai ideologi yang tepat untuk merajut perbedaan antar kelas sosial ekonomi. Islam oleh para politisi yang menggunakan isu agama, dianggap sebagai alat paling ampuh untuk meraup suara. Islam disini digunakan sebagai ideologi yang bisa mendukung posisi politik mereka.

Ideologi adalah sebuah paham, teori, dan tujuan yang berpadu merupakan satu program sosial politik. Namun seiring perkembangan zaman, memunculkan satu ideologi sebagai ideologi dominan sebenarnya sudah banyak mendapatkan kritik. Ideologi dominan adalah konsep yang diperkenalkan oleh Karl Marx dan Fredrich Engels dalam buku The German Ideology, yang menyebutkan gagasan kelas penguasa di masa kekuasaannya.

Terminologi ini kemudian dikembangkan oleh para pemikir Marxis berikutnya semacam Althusser, Miliband, dan Marcuse yang dihimpun oleh Sinisa Malesevic, Professor Sosiologi asal Dubllin, dalam buku Identity as Ideology Understanding Ethnicity and Nationalism dengan memberikan empat proporsi yang harus dimiliki oleh ideologi dominan. Yaitu, 1. sebuah ideologi dominan di masyarakat kapitalis, 2. Keberadaan ideologi tersebut memberikan benefit bagi kelas penguasa, 3. Melalui ideologi dominan tersebut mensubordinasi kelas yang secara ideologi tidak jelas dan politik yang pasif, 4. pengikut ideologi dominan harus memiliki usaha yang kuat untuk menyembunyikan kekurangan atau kontradiksi pada kapitalisme.

Sebelum kita mendiskusikan apakah Islam selaras ideologi dominan yang sudah dikonsepsikan di atas? Ada baiknya kita membincangkan dulu perkembangan ideologi sekarang ini di masa pascamodern ini. Ideologi yang sekarang ini sudah sama sekali berubah dari apa yang disebut ideologi pada masa lalu, yang mana ideologi dulu menjadi nilai perjuangan bersama dari sebuah komunitas. Namun, seiring perjalanan waktu, ideologi tidak lagi berfungsi sebagai nilai tersebut tapi lebih memainkan peran sekunder, parsial dan tidak penting dalam tatanan sosial.

Dalam perkembangannya, nilai-nilai sosial malah lebih beragam, keselarasan menjadi nilai utama dalam masyarakat, dan adanya integrasi nilai dari kelas dominan. Oleh sebab itu, ideologi terkesan disingkirkan sebab dalam integrasi sosial lebih bersifat koersif daripada normatif, semua kelas sosial memang memiliki ideologi yang berbeda dan saling bertentangan tetapi terikat oleh hubungan sosial yang objektif.

Jadi, perang antar kelas seakan tak pernah terjadi, yang ada malah saling berinteraksi dalam kehidupan masyarakat. Jadi ideologi dominan lebih dimungkinkan sebagai perekat antar kelas sosial dan memudarkan perang antar kelas.

ideologi dominan yang ditujukan ke Islam adalah hal yang menarik. Sebab, dalam kritik dan diskursus soal ideologi, Islam juga lebih digunakan sebagai perekat antar kelas sosial yang bisa digunakan untuk kepentingan politik sang pemodal.

Oleh sebab itu, penolakan membawa Islam ke ranah politik sebenarnya adalah hal yang wajar, sebab jika kita berkaca pada sosok Ali Syariati dan tokoh idola beliau Abu Dzar Al-Ghifarri yang meyakini Islam adalah alat untuk memperjuangkan kemanusiaan. Yang perlu digaris bawahi adalah memperjuangkan kemanusiaan bukan sekadar kelompok kecil. Dengan membawa Islam ke ranah politik dan dianggap ideologi dominan saat ini malah bisa terjebak pada alat untuk melangengkan kapitalisme dan penindasan akan kelas minoritas.

Eksistensi Islam sebagai alat memperjuangkan kemanusiaan sudah dimulai sejak di zaman Nabi yang menghapus perbudakan dan posisi wanita yang direndahkan. Diskusi sekarang malah seakan malah jika Islam sekarang lebih banyak digunakan hanya untuk kepentingan kekuasaan bukan untuk memperjuangkan kemanusiaan. Sedangkan jargon bahwa Islam memperjuangkan seluruh umat manusia memang terus kumandangkan, namun saat kita memperlakukan diskriminasi dengan masih membedakan perlakuan atas manusia atas penilaian ras, suku, agama, warna kulit dan status sosial, maka percayalah Islam sudah dipermainkan ke dalam politik kepentingan dan kekuasaan.

Sebagai penutup, pada akhirnya kita perlu memahami bahwa Islam sebagai agama monoteisme, memiliki misi dan dan tujuan yaitu mendudukan kembali kebebasan, kesamaan, tanpa pengkelasan dengan cara penghancuran tiga kejahatan adalah kekayaan, kekuasaan politik dan agama yang terkontaminasi aroma ideologi pemuka agama. Wassalam..

Fatahallahu alaihi futuh al-Arifin