Malam itu sang tokoh bangsa pulang dari pelantikannya sebagai menteri pendidikan. Sesampainya di rumah yang sederhana, dia cuma mendapati mie godhok yang tersedia di atas meja makan Tidak ada pesta ataupun upacara mewah, padahal ia baru saja dilantik menjadi menteri dan sampai kini, sosoknya, menjadi inspirator pendidikan di negeri ini. Tokoh sederhana tersebut bernama Ki Hadjar Dewantara.
Dalam masa yang disebut orang sebagai zaman milenial, pendidikan menjadi semakin kabur maknanya. Orang yang berpendidika kadang tak lepas dari paparan hoax. Generasi milenial pun sudah seharusnya mulai selektif informasi. Informasi yang masuk sudah seharusnya mendamaikan dan membuatnya menjadi manusia yang lebih baik lagi.
Bagaimana generasi muda muslim menghadapi zaman serba cepat begini a.ka milenial? Pertanyaan ini cukup sering melintas di dalam diri saya dan bisa jadi menancap di kepala kita semua. Saya akan mencoba menjawab ini dengan mengambil inspirasi dari sebuah tulisan Moeslim Abdurrahman yang mencoba merekonstruksi ulang makna “melawan kemungkaran”.
Dalam sebuah tulisan dalam buku “Islam Sebagai Kritik Sosial”, Kang Moeslim, begitu beliau biasa disapa, mencoba menelurkan konsep Nahyu Mungkar agar tidak menjadi konsep kekerasan dan cenderung kontra terhadap konsepsi Islam yang damai dan mencerahakan.
Kang Moeslim mengutip sebuah refleksi teologis Hassan Hanafi yang mengkritik bahwa kendati menurut ayat-ayat Alquran kita dinyatakan sebagai umat yang satu (ummatan wahidah), namun sesungguhnya dalam kenyataanya, kita sebagai muslim seharusnya sadar dalam bahwa hidup di antara jurang pemisah yang lebar, antara umat yang miskin dan kaya.
Barangkali, generasi muslim sekarang ini tidaklah asing dengan istilah gerakan. Gerakan yang dimaksudkan adalah mencoba mengubah keadaan muslim ke arah yang lebih baik. Kang Moeslim merumuskan ada dua model gerakan Islam.
Pertama, Kang Moeslim menyebutnya dengan The New Orientalism, sebagai gerakan yang mencoba menafsirkan bahwa sebuah paham tertentu dalam agama, akan menjadi legitimasi dan tujuan serta bisa merumuskan konsep dan bentuk gerakan dalam situasi politik dan ekonomi yang mereka hadapi.
Kedua, the new social history, begitu Kang Moeslim menyebut kemunculan kesadaran kolektif di kalangan Islam lebih bermula dari pertanyaan sosiologis, mengapa suatu gerakan itu muncul? Bagaimanapun idiom-idiom gerakan tersebut menggunakan Islam, namun penting bagi kalangan ini untuk dipahami bahwa adanya faktor luar yang juga dominan menghimpun diri dalam suatu kepentingan sosia, ekonomi atau politik.
Dalam kehidupan yang batas-batas seakan runtuh kian seperti hari ini, gerakan-gerakan yang mengatasnamakan Islam sebenarnya sudah terjadi tumpah tindih. Dari mereka yang meyakini dan percaya bahwa Islam is normative system maka akan cenderung elit dalam memahami kondisi masyarakat. Namun mereka yang memahami bahwa Islam yang actual dan ada dalam penghayatan sehari-hari, mereka lebih tertarik bahwa masyarakat muslim ini adalah potensi perlawanan politik.
Inilah yang oleh Eric Hobsbawn dan kawan-kawan disebut perlawanan kaum bawah dan selalu memiliki akar yang sangat dalam dari tradisi dan budaya setempat. A moral economy begitulah Hobsbawn menyebut perasaan dari agama tentang rasa ketidakadilan. Oleh sebab itu kita perlu membuat konsepsi Islamic moral economy, untuk menyebut Islam sebagai agama besar memiliki pengalaman sejarah sebagai perlawanan melawan ketidakadilan.
Bagi saya, inilah yang perlu dilakukan oleh kalangan muda melenial yang tergabung dalam gerakan-gerakan yang berafiliasi ataupun tidak dengan agama. Gerakan muslim melenial haruslah belajar melebur kepada pengalaman kaum bawah dalam perlawanan ketidakadilan bukan malah menceburkan perbincangan elitis walau dalam bingkai agama. Kang Moeslim mungkin ingin mengingatkan bahwa dalam gerakan itu haruslah tidak lepas dari keberpihakan, khususnya keberpihakan kepada meraka yang disubordinatasi oleh yang kepentingan sebagian elit.
Mungkin kita perlu merenungi sebuah kata-kata yang dikeluarkan oleh seorang Ki Hadjar Dewantara, “Memayu hayuning sariro, memayu hayuning bangsa, memayu hayuning bawana yang artinya “apapun yang dilakukan oleh sesorang harusnya bisa bermanfaat bagi dirinya, bermanfaat bagi bangsa dan bermanfaat bagi dunia.
Pertanyaannya mungkinkah gerakan muslim melenial akan melawan ketidakadilan? Jawabannya adalah mungkin, selama mereka bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat dan selalu berada di depan, melindungi mereka yang tertindas.