Membantah Argumentasi HTI Tentang Nasionalisme (Bag. 2 Habis)

Membantah Argumentasi HTI Tentang Nasionalisme (Bag. 2 Habis)

Jika yang ditonjolkan adalah identitas keagamaan dalam wilayah dan waktu tertentu, yang terjadi adalah malah perselisihan antar agama.

Membantah Argumentasi HTI Tentang Nasionalisme (Bag. 2 Habis)

Selanjutnya al-Jawi menjelaskan bahwa secara praktik, nasionalisme merupakan biang keladi kehancuran kesatuan umat Islam di seluruh dunia. Menelisik argumentasi historis dan empiris, HTI sering mengutip cerita bahwa Inggris yang dibantu oleh Musthafa Kamal telah menghapus khilafah Islam di Istanbul. Sehingga, wilayah Islam terpecah menjadi 57 negara kecil-kecil yang lemah. Jelas bagi Hizbut Tahrir akar permasalahan kehancuran khilafah adalah nasionalisme.

Konteks sosial-politik pada awal hingga pertengahan abad 20 di Timur Tengah tersebut dapat dipergunakan untuk memahami mengapa Taqiyuddin an-Nabhani menolak ide nasionalisme dan bercita-bercita mendirikan kembali khilafah global. An-Nabhani adalah seorang hakim di al-Qudsy Palestina yang turut menjadi pelaku sejarah Khilafah Islam.

Semenjak runtuhnya khilafah di Turki, negara Palestina terkatung-katung dan tidak memiliki suaka politik yang kongkrit hingga hari ini. Wajar kemudian an-Nabhani yang notabennya adalah orang Palestina melihat kemuruh suasana ketidakpastian kondisi politik negaranya merindukan kembali berdirinya khilafah Islam.

Namun, ketika gagasan khilafah coba ditawarkan ke Indonesia, gagasan tersebut akan mengalami kebuntuhan dan kurang memiliki akar sejarah yang memadahi untuk diakomodir. Sebab, meskipun sejak awal berdirinya negara ini menyisahkan perdebatan terkait dasar negara yang sebagian menghendaki untuk berdasarkan Islam, namun tetap berada pada koridor batas sebagai kesatuan negara Indonesia dengan basis nasionalisme yang telah disepakati. Meskipun belakangan gerakan formalisasi syariat di Indonesia kembali menguat karena mendapat dorongan kuat dari organisasi-organisasi yang bercorak transnasional.

Menyimak hal tersebut, penulis tidak mengatakan bahwa gagasan mendirikan kembali khilafah itu salah, namun tidak cocok di Indonesia.

Terakhir adalah argumentasi teologis yang digunakan oleh al-Jawi dalam mengetengahkan mengapa nasionalisme bertentangan dengan agama Islam. Sebagai umat Islam, kata al-Jawi, seharusnya bersatu dalam ikatan kesamaan iman, bukan kesamaan identitas kebangsaan yang digagas nasionalisme.

Hal tersebut dianggap menyalahi perintah al-Quran, khususnya surat al-Ali Imran ayat 103 yang menyatakan, orang yang beriman itu harus terikat secara bersaudara dan meninggalkan kebiasan masa lalu (jahiliyah) yang rajin bertengkar karena urusan fanatik ashobiya (kesukuan). Nasionalisme di sini dianggap sebagai bentuk dari ekspresi fanatisme ashobiya di era modern.

Di sini penulis menangkap bahwa al-Jawi memahami nasionalisme tersebut sebagai nasionalisme chaovinisme, rasisme dan sebagainya yang mendudukkan satu ras atau bangsa tertentu mengambil dominasi besar di dalam sebuah negara seperti nasionalisme Jerman ala Hitler.

Padahal, identitas nasionalisme di Indonesia merupakan paham yang mencoba menghimpun banyak bangsa yang terikat pada satu kesatuan politik (Catatan: kerancuan istilah semacam negara-bangsa memang akan dapat menelan kata pertama sehingga paham satu negara hanya terdiri dari satu bangsa saja).

Identitas nasionalisme diharapkan mampu merekatkan realitas faktual komposisi kemajemukan kebudayaan, suku dan bangsa yang ada di Indonesia. Artinya rekayasa nasionalisme diharapkan dapat melerai pertikaian-pertikaian antar bangsa. Jika yang ditonjolkan adalah identitas keagamaan dalam wilayah dan waktu tertentu, yang terjadi adalah malah perselisihan antar agama.

Selain itu, dalil tersebut tidak menyiratkan langsung kewajiban terhadap umat Islam mendirikan sebuah negara sebagai wadah khusus untuk dihuni. Jika kemudian memang Islam menghendaki umatnya hanya terdiri dari satu identitas tunggal sebagai umat Islam dan wajib menyingkirkan identitas-identitas kesukuan, kebangsaan atau ikatan yang mempersatukan berbagai bangsa dalam satu identitas seperti nasionalisme, apakah bunyi surat Al-Hujurat ayat 13 yang menyatakan bahwa Allah sendiri menghendaki manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal, dan memahami tidak berlaku lagi?

Dan, ayat tersebut juga menjelaskan tolak ukur derajat seseorang tidak ada hubungannya dengan afiliasi jenis kelamin, kebangsaan maupun kesukuan, namun terletak pada derajat takwanya kepada Allah.

Jika memang Tuhan menghendaki satu identitas tunggal keagamaan yang tersisa, mengapa kelanjutan ayat tersebut tidak menjelaskan bahwa ketakwaan seseorang harus dibuktikan dengan upaya mendirikan khilafah Islam dan menyuruh umat Islam meninggal segala atribut kebudayaan yang diberikan Tuhan sendiri sejak lahir.