Setelah dua pekan terakhir menggelar Gala Premiere di 17 kota, film Hati Suhita akhirnya tayang di seluruh Bioskop Indonesia pada tanggal 25 Mei ini. Film dengan genre relegious dan romance ini menyajikan kisah cinta dengan latar pesantren. Tiga tokoh utama dalam film tersebut memiliki masalah dan takdir nya masing-masing. Tidak ada yang bisa disalahkan dalam kisah ini. Ketika kita berusaha untuk membela salah satu dari mereka, maka kita akan menemukan alasan bahwa kita juga harus membela salah satu yang lain.
“Pastikan kalian menemukan alasan kenapa kalian tidak memihak salah satu dari mereka setelah menonton film ini, ya.”
Alina Suhita diceritakan menjadi seorang putri Kiai yang cerdas, anggun, dan berwibawa. Ia menjalani takdir sebagai istri dari Gus Birru, putra Kiai di Pesantren tempat ia dulu menimba ilmu. Alina Suhita dijodohkan dengan Gus Birru karena kepiawaian dan kedalaman ilmunya. Ia digadang-gadang untuk meneruskan kepemimpinan Pesantren milik mertuanya, karena Gus Birru sebagai putra mahkota lebih memilih untuk menjadi jurnalis dan aktivis kampus.
Pernikahan yang terjadi karena perjodohan ini membuat Alina Suhita harus menerima bahwa Gus Birru tidak mencintainya. Gus Birru sudah memiliki pujaan hati, seorang wanita yang cantik dan cerdas bernama Ratna Rengganis.
Film ini banyak menghujani generasi ambyarr dengan kisah cinta yang rapuh dan penuh dengan perjuangan.
“Alina Suhita harus berjuang untuk mendapatkan cinta Gus Birru, meskipun ia harus menahan rasa sakit berkali-kali.
Gus Birru terus bertengkar dengan perasaannya. Ia harus menjalani pernikahan dengan wanita pilihan orang tuanya, meskipun ia sudah memiliki pujaan hati yang membersamainya sejak menjadi aktivis di kampus.
Ratna Rengganis harus merelakan Gus Birru untuk bahagia bersama Alina Suhita. Perbedaan kultur keluarga menjadi tembok besar hubungannya dan Gus Birru.”
Membaca Novel “Hati Suhita”
Sebelum lebih jauh, akan lebih baik jika kita sedikit mengupas Novel best seller “Hati Suhita” yang menjadi skrip utama dalam film tersebut. Novel karya Khilma Anis ini sangat dekat dengan dunia pesantren. Penulisnya sendiri yang merupakan seorang santri membuat novel tersebut benar-benar menyampaikan kisah kasih khas pesantren yang jarang diketahui oleh khalayak.
Kemunculan novel ini agak berbeda dengan novel pada umumnya. Sebelum berbentuk buku, potongan-potongan kisah dalam novel tersebut lebih dulu viral. Khilma Anis membocorkan potongan cerita dalam novel tersebut di akun Facebook miliknya. Potongan cerita itu sangat mengundang perhatian dan membuat banyak orang penasaran. Tak heran ketika sudah terbit novel tersebut bisa terjual sampai 80 ribu eksemplar.
Novel karya Khilma Anis ini memang sangat layak untuk diapresiasi. Kisah cinta yang disajikan tidak hanya relate dengan dunia pesantren, tetapi juga bisa dinikmati oleh khalayak umum.
Mau bukti? coba kita lihat film Wedding Agreement. Film ini muncul setelah viralnya novel Hati Suhita. Alur Cerita dalam film tersebut hampir sama dengan kisah cinta yang ada dalam novel Hati Suhita. Yang membedakan adalah film Wedding Agreement tidak menampilkan pesantren sebagai latar utamanya. Tetapi terbukti, film tersebut menarik banyak perhatian dan meraih 70 ribu penonton pada hari pertama penayangan nya. Meskipun sebenarnya secara pribadi saya menaruh banyak suudzon pada film tersebut.
Sebelum lanjut untuk mengulas film nya. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Neng Khilma Anis yang sudah melahirkan karya se-keren itu.
Bagi saya, membaca novel Hati Suhita sama halnya dengan membaca novel karya Ahmad Tohari dan Sujiwo Tejo secara bersamaan. Penceritaan latar nya yang sangat detail dipadukan dengan selipan sejarah dan pepatah-pepatah jawa membuat para pembaca hanyut dalam isi cerita yang disampaikan.
Lantas, Apakah Film ‘Hati Suhita’ Bisa Sehanyut Novelnya?
Rilisnya film ini merupakan sebuah kemajuan yang pesat bagi dunia sastra pesantren. Novel karya seorang santri yang sering kali dianggap sebelah mata ternyata bisa memikat industri perfilman. Pesantren memiliki daya tarik tersendiri, banyak lanskap kehidupan pesantren yang belum diketahui oleh khalayak umum, terutama dalam kesehariannya.
Sisi yang sering kali kurang dimengerti oleh khalayak umum inilah yang banyak ditampilkan dalam film Hati Suhita, termasuk kisah cinta yang ada di dalamnya. Saya sangat yakin penulis novel tersebut ikut serta dan berperan besar memberikan segala pengetahuannya tentang dunia pesantren dalam pembuatan film tersebut. Setiap adegan yang khas pesantren nampak sangat nyata. Gestur natural khas pesantren bertebaran di film ini, seperti sikap santri ketika bertemu dengan Kiai, cara bersalaman santri dengan Kiai, cara berjalan seorang santri, keluguan dan kepolosan santri dan adegan-adegan lain yang sangat khas dunia pesantren.
Banyak adegan yang mungkin tidak relate jika ditonton oleh orang yang awam dunia pesantren, tetapi tidak masalah, ini justru menarik dan bisa jadi pengetahun yang baru bagi mereka.
Adaptasi karya sastra novel ke dalam film bukanlah perkara yang mudah. Banyak orang yang meragukan keberhasilan film yang diadaptasi dari sebuah novel. Mereka semua tidak yakin film bisa menyajikan cerita yang detail seperti yang diceritakan dalam bukunya. Akan tetapi izinkan saya untuk memberikan angka sembilan pada film ini, karena bagi saya adegan dan drama-drama yang disajikan cukup berhasil menvisualisasikan kisah cinta yang ada dalam novel tersebut.
Meskipun demikian, tak ada gading yang tak retak. Menurut saya, ada dua adegan yang bocor karena kurang make sense dengan dunia pesantren. Pertama adalah semua adegan Kang Darma ketika mendekati Alina Suhita. Adegan tersebut mungkin bisa diterima oleh orang awam, tapi bagi santri itu adalah sebuah kesalahan besar. Seorang santri tidak mungkin berani mendekati istri putra Kiai nya seperti yang tergambar dalam film tersebut.
Adegan yang kedua ketika Alina Suhita sedang memegang mushaf Al-Qur’an, tetapi tangan yang satunya menyentuh pipi Gus Birru yang sedang tidur di pangkuan nya. Adegan ini nampak janggal karena seorang santri pasti tau bahwa suami dan istri bukanlah mahram. Ketika dia sedang memegang mushaf Al-Qur’an maka dia tidak boleh menyentuh suaminya, karena wudunya akan batal.
Sebagai penutup, saya ingin mengatakan bahwa kisah cinta dalam film ini adalah kisah cinta khas pesantren, kisah cinta seorang Gus (putra kiai) dan Neng (putri kiai) yang sering kali tumbuh karena berjalannya waktu, kisah cinta yang tumbuh dari harapan mengalirnya barokah para guru, kisah cinta yang tumbuh dari ridho kedua orang tua, dan kisah cinta yang sejati, kisah cinta dengan satu alasan, “karena Allah”. (AN)