20 tahun silam Gus Dur keluar dari istana setelah dipaksa lengser oleh kekuatan Orde Baru yang belum mau menerima kekalahan reformasi. Akbar Tanjung, Amien Rais dan Megawati sama-sama punya kontribusi besar dalam praktek manipulasi demokrasi, sehingga KH Abdurrahman Wahid dipaksa turun dari jabatan yang didapatnya secara konstitusional.
Gus Dur meninggalkan istana dengan mengenakan celana pendek, yang oleh banyak pengamat disebut sebagai puncak desakralisasi istana. sebelumnya, rakyat jelata bisa keluar-masuk istana, berkebalikan dengan masa Soeharto berkuasa.
***
Sepeninggal Gus Dur, Megawati dilantik sebagai penerus kursi kepresidenan, setelah sebelumnya bertebaran fatwa haram perempuan menjadi presiden. Gus Dur kala itu melawan fatwa itu dengan getol memberi penjelasan, bahwa kedudukan presiden di dalam sistem demokrasi berbeda dengan sistem kerajaan, sebab tak ada kewenangan mutlak pada presiden sebab masih ada peran legislatif dan yudikatif dalam pemerintahan.
tapi, kelompok Islamis, yakni Partai Keadilan (Sejahtera) dengan KAMMI-nya, Rizieq Shihab bersama FPI dan laskar sejenisnya, terus menggemakan pendongkelan Gus Dur, mengikuti skenario yang dibikin Golkar pimpinan Akbar Tanjung bersama kekuatan Orbais lainnya, yang didukung sejumlah jenderal ABRI dan banyak lagi.
yang pasti, kekuatan nasionalis pimpinan Megawati diadu domba dengan pendukung Gus Dur yang mengibarkan panji gerakan demokrasi.
***
Kini, dua dekade berlalu, Orbais masih mengontrol dinamika politik Indonesia. Megawati pernah didudukkan sebagai ‘boneka’ sebab Orbais menentukan naik-turunnya kwalitas demokrasi, dengan kontrol dari semua lini: eksekutif, legislatif dan yudikatif. sejumlah tokoh Orbais dari Golkar dan ABRI disebar ke semua partai yang lahir setelah reformasi, tak terkecuali PDI Perjuangan pimpinan Megawati.
Pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, riil politik juga dikuasai Orbais, yang sudah ‘mereformasi diri’, menampakkan diri sebagai kaum demokratis, namun masih menyukai penggunaan mobilisasi massa. Ketika pemerintahan SBY (2004-2014), PDIP memilih oposisi penuh. Tapi oposisi yang tanggung. selama sepuluh tahun, mereka gagal melakukan konsolidasi internal. sebagai pihak yang pernah diporakporandakan ABRI dan Golkar (Orba) sejak Soekarno dijatuhkan secara paksa juga, PDI (dan kemudian PDIP) tidak pernah melakukan proses ideologisasi bagi kader dan massa pendukung, demi melawan Orbaisme.
Tidak percaya? Lihat saja buktinya, beberapa hari lagi tanggal 27 Juli, di mana kantor partainya pernah dihancurkan oleh tentara Orba dan faksi-faksinya, namun tak pernah diperingati sebagai peristiwa kekerasan politik yang kelam. Begitu pun ketika Jokowi berhasil jadi magnet penyelamat eksistensi partai, yang tidak hanya memenangkan kompetisi presiden pada 2014, namun juga berhasil menempatkan PDIP sebagai pemenang utama perolehan suara pemilu.
Jokowi Sebagai Tokoh
Secara ketokohan, Pak Jokowi memang berhasil menjadi representasi Megawati dan PDIP sebagai penguasa politik. tapi, itu hanyalah secara de jure saja. Secara de facto, dinamika politik masih dikontrol oleh kekuatan-kekuatan lama. Golkar jelas Orbanya. Partai Nasdem dipimpin oleh Surya Paloh, yang keluar dari Golkar, karena gagal menjadi pemimpin puncaknya.
Kader Golkar lainnya menyebar ke Partai Hanura (Wiranto, juga Oesman Sapta Odang), ke PKPI (Soetiyoso dll), Hari Tanoesoedibyo (Perindo), hingga Prabowo Subianto di Gerindra.
Terhitung, sejak 2014 hingga 2019, bisa kita lihat, Pak Jokowi tak bisa berbuat banyak sebab PDIP bukanlah partai yang kuat, dan solid menjadi garda depan posisi politiknya.
Maka yang terjadi adalah, bagi-bagi kursi secara proporsional ke partai-partai pendukung (koalisi) menjadi tak terhindarkan. dan kita tahu, bargaining partai-partai yang dipimpin eks Golkar (dan ABRI) lumayan menduduki posisi-posisi strategis. PDIP? silakan lihat sendiri!
Sementara itu, lembaga legislatif, dari 2014 juga masih dikontrol oleh Golkar dan diasporanya. begitu juga lembaga yudikatif, banyak dikontrol oleh jejaring lama.
Jadi, tak terlalu mengherankan jika banyak orang-orang lama yang terlibat kasus-kasus korupsi selalu memperoleh diskon saat proses peradilan, atau bahkan diuntungkan dengan vonis-vonis ringan. (di antara yang paling sial, mungkin hanya Setya Novanto, yang sepertinya juga sengaja disingkirkan dari partai yang mana dia pernah jadi petingginya).
Anda bisa menyimak saja kasus-kasus korupsi yang melibatkan orang-orang partai. Saya berani taruhan, banyak kader PDIP kejeblos dalam kasus bernilai recehan, sementara orang-orang yang matang berpolitik bersama Orde Baru, korupsinya (yang ketahuan) selalu bernilai fantastis, bukan recehan.
Praktek sharing kekuasaan (yang berarti sumber ekonomi bagi partai dan elit-elitnya) selalu jadi keniscayaan. Zaman Gus Dur pun begitu. hanya saja, Gus Dur keras ketika kepercayaan yang diberikan kepada elit parpol saat itu diselewengkan. Pak Wiranto yang bekas Panglima ABRI dicopot, Jusuf Kalla yang elit Golkar diberhentikan, dan Laksamana Sukardi dari PDIP pun dipecat.
Apa dampaknya? Dendam dilancarkan, hingga berujung pelengseran (Anda bisa membaca buku riset Virdyka bertajuk Menjerat Gus Dur).
Antara Jokowi dan Gus Dur
Pak Jokowi, dalam hemat saya, berusaha realistis dengan becermin pada Gus Dur. Ia mengakomodasi semua kekuatan, bahkan lawan-lawannya dirangkul, diajak mengurus pemerintahan. Mungkin, Pak Jokowi memilih sikap pragmatis, yang penting ambisinya membangun Indonesia tidak diganggu Orbais dan kaum oligark. toh, akhirnya kelak akan ada yang dinikmati rakyat banyak, terutama melalui pembangunan infrastruktur yang terkesan ambisius.
Tapi, adanya risiko besar pada masa penerintahannya periode kedua, pasti sudah diperhitungkannya. termasuk, kemungkinan digarongnya anggaran negara oleh elit-elit partai eks-Orba, demi permainan politik pada pemilu 2024. Mereka, terutama yang memiliki ambisi menggantikan posisinya, kuat diduga kini sedang mengumpulkan pundi-pundi dari komisi beragam proyek bernilai trilyunan. Dan, pada situasi demikian, Pak Jokowi hanya berusaha menyelamatkan proses demokrasi, di mana pergantian kepemimpinan hanya dan harus lewat pemilu, sehingga harus lakukan kompromi di sana-sini.
Entah apa jurus yang akan dikeluarkannya kelak, entah kapan, untuk membongkar siapa saja para pembantu dan sekutunya yang rajin menilap dana negara untuk kepentingan politiknya.
Saya juga hanya bisa berharap (walau sejatinya meyakini), Pak Jokowi punya strategi pamungkas untuk menunjukkan capaian-capaiannya selama memimpin pemerintahan Indonesia, di mana pada periode akhir kekuasaannya, semua capaian dan legacy-nya berusaha dihilangkan, dihancurkan oleh sekutunya sendiri, bahkan oleh politisi-politisi separtainya.
Semoga Pak Jokowi istiqomah, konsisten menjaga diri untuk tidak tergoda memanfaatkan kekuaaan demi keuntungan diri dan keluarganya, sebagaimana seharusnya dia teladani dari Gus Dur, salah satu sosok yang dikagumi dan dihormatinya.
Saya juga hanya berharap, politisi PDIP segera bangun dari tidur nyenyaknya, merasa sudah menang selama satu dekade. Saya kok, entah kenapa, yakin pemilu mendatang Megawati tidak bisa menepuk dada kemenangan, jika kader dan elit PDIP yang dikontrolnya tidak segera bangkit melawan kekuatan Orba yang telah mencelakakan mereka.
Saya juga yakin, Pak Jokowi mengamini dan mengamalkan prinsip Gus Dur, bahwa tak ada kekuasaan di dunia yang harus dipertahankan secara mati-matian, bahkan dengan darah.
Saya bermimpi, kelak di akhir kepemimpinannya, Pak Jokowi akan melaporkan dan mengumumkan jumlah kekayaannya, sehingga semua orang jadi tahu, dia tidak berambisi atas mengumpulkan harta melalui relasi kuasa. Lagi pula, Pak Jokowi punya sifat yang mirip Gus Dur, yakni tak suka mempermalukan orang. Ia selalu menyimpan kekecewaan pada orang, tanpa menceritakan (secara terbuka) kepada orang lain.
Gus Dur misalnya, pernah dibohongi seorang menterinya. Dalam draf sebuah peraturan (kalau tak salah mengenai penjualan aset negara), seorang menteri membacakan isi sebelum ditandatangani. namun, dua hari setelah peraturan resmi diberlakukan, dicabut kembali setelah seorang pejabat negara yang baru pulang dari dinas ke luar negeri memberi tahu Gus Dur, bahwa peraturan yang ditandatanganinya salah fatal.
Gus Dur hanya memecat menteri yang membacakan draf secara berbeda dengan yang tertulis. Si menteri tak protes, meski lantas bergabung dengan kelompok pendongkel. sementar, hingga akhir hayatnya, Gus Dur tak pernah membuka kesalahan itu ke publik. Andai dibuka, mungkin si menteri sudah dihabisi pendukungnya sebab melecehkan Gus Dur yang tak mampu membaca akibat glukoma.
Pernahkah kita dengar Pak Jokowi menceritakan kesalahan/kekurangan menteri atau pejabat yang dicopotnya di tengah jalan?
Mari kita kirimkan al Fatihah untuk Gus Dur. Semoga Pak Jokowi kuat memimpin hingga berakhir dengan baik pada pemilu mendatang.