Dalam situasi normal, bulan April bisa jadi merepotkan bagi para orang tua yang punya anak seusia TK. Ya, di tanggal 21 April biasanya jalanan ramai dengan pawai anak-anak dengan balutan kebaya sewaan. Mengapa?
Jawabannya tentu saja adalah karena ada Hari Kartini, simbol perlawanan dan perjuangan seorang perempuan melawan hegemoni laki-laki.
Tapi situasi kali ini sedang tidak normal. Ada pandemi yang membuat bulevar menjadi sepi. Para orang tua, dengan demikian, tidak perlu repot-repot merias putra-putri mereka demi memperingati Hari Kartini.
Lagi pula, kelewat mereduksi bilamana sosok sekaliber Kartini sekadar digambrengkan lewat karnaval kebaya-kebayaan, kendati hal itu juga tidak sepenuhnya keliru juga sih.
Yang jelas, Kartini adalah sosok perempuan progresif yang menolak kemapanan kultur patriarkhi. Duh, kok berat ya.
Gini saja, dalam rangka mengheningkan cipta gerakan #dirumahaja, berikut artikel-artikel pilihan redaksi sehubungan dengan Kartini yang perlu kalian baca.
#1 Spiritualitas Kartini, Pencarian Sosrokartono
Munawir Aziz, di artikel ini, mencoba menyelami sisi spiritual Raden Ajeng Kartini (1879-1904) lewat medium Raden Mas Panji Sosrokartono. Ini menjadi penting karena Sosrokartono merupakan kakak kandung Raden Ajeng Kartini, yang dikenal sebagai ahli bahasa, wartawan perang, sekaligus generasi awal orang Nusantara yang belajar di Eropa.
Memahami Spiritualitas Kartini dan pencarian Sosrokartono, dengan begitu, merupakan upaya saling melengkapi.
Menurut Munawir, dalam diri Kartini dan Sosrokartono tersimpan identitas sebagai santri: keduanya sama-sama merupakan murid Kiai Saleh Darat al-Samarani. Dan, lewat Kiai Saleh Darat, Kartini menyelami pengetahuan Islam sekaligus belajar nilai-nilai dasar agama.
Dari pertanyaan-kegelisahan Kartini, Kiai Saleh Darat menuliskan kitab tafsir berbahasa Jawa pegon: Faidlur Rahman. Kitab ini untuk menjangkau publik awam yang ingin belajar Islam, dengan keterangan yang ringkas tanpa kehilangan bobotnya.
Lebih jauh, spiritualitas Kartini tampak dari bagaimana ia merefleksikan ayat min adz-dzulumati ila annur: dari kegelapan menuju terang. Dari ayat ini, muncul ungkapan Kartini yang terkenal: ‘habis gelap terbitlah terang’. Surat-surat Kartini mengguratkan kegelisahan bagaimana dirinya terus berusaha mendobrak sekat pembatas kejumudan dengan mencari pengetahuan.
Klik di sini untuk membaca lebih lengkap.
#2 Habis Gelap Terbitlah Terang: Kartini dan Terjemahan Al-Qur’an
Di artikel ini, kontributor kami, Fadhli Lukman menulis tentang seberapa jauh peran Kartini dalam upaya penerjemahan kitab suci Al-Qur’an ke dalam bahasa lokal.
Dalam salah satu surat kepada Stela Zeehandelaar pada tanggal 6 November 1899, misalnya, Kartini menuliskan rasa frustasinya, lantaran ia merasa tidak cocok dengan pola pendidikan Al-Qur’an yang ia terima. Ia jengkel karena dimarahi gurunya ketika bertanya tentang makna Al-Qur’an.
“Dan sebenarnya, aku menjadi seorang Muslim hanya karena para pendahuluku Muslim. Bagaimana mungkin aku mencintai doktrin yang tidak (dan mungkin tidak akan pernah) kuketahui? Al-Qur’an itu terlalu suci untuk diterjemahkan ke Bahasa manapun. Di sini tidak ada satu orang pun yang mengerti Bahasa Arab. Kita biasanya membaca Al-Qur’an, tapi apa yang dibaca tidak satu orang pun yang mengerti! Bagiku, menjengkelkan untuk membaca sesuatu tanpa mampu memahaminya. … Jika aku harus mengetahui dan memahami agamaku, aku harus berangkat ke tanah Arab untuk belajar bahasanya,” begitu kira-kira Kartini menulis.
Anda bisa membaca lebih lengkap di sini.
#3 Kartini, Kiai Sholeh Darat, dan Sosrokartono yang Terlupakan
Seolah berkebalikan dengan dua artikel di atas, Ren Muhammad, di artikel ini, mengelaborasi lebih jauh kiprah sang guru, Kiai Sholeh Darat, dan tentu saja dengan kakak kandungnya, Raden Mas Panji Sosrokartono.
Sementara, di mana Kartini?
Kartini, menurut Ren, sebetulnya tidak lebih istimewa dari perjuangan tokoh-tokoh lain di masanya.
Simak lebih lengkap artikel tersebut di sini.