Memangnya Boleh ya Ustadz Berkata Kasar atau Gunakan Ayat untuk Politik?

Memangnya Boleh ya Ustadz Berkata Kasar atau Gunakan Ayat untuk Politik?

Beberapa Ustadz atau yang dianggap demikian seperti Ahmad Alhabsy, Sugik Nur dan lain-lain kerap memakai ayat Quran untuk politis, memangnya boleh ya?

Memangnya Boleh ya Ustadz Berkata Kasar atau Gunakan Ayat untuk Politik?

Bulan lalu saya disibukkan dengan klarifikasi beberapa teman yang anti dengan habib akibat ulah oknum yang bagi orang awam begitu merusak citra keturunan Rasulullah SAW. Di bulan ini, seorang ustad kembali membuat banyak awam menjadi illfeel dengan sebutan ustad karena ulah seorang da’i artis yang menyitir sabda Nabi untuk melegitimasi umpatannya.

Katanya, terkadang Islam itu lemah lembut dan terkadang Islam itu tegas. Ini jadi dalih baginya mengumpat dan memaki karena mungkin dianggap sunah. Mungkin dia berpikir, Nabi saja misuh, masak saya tidak? Kalau benar demikian tentu saya akan menasehatinya dengan lemah lembut. Ndasmu!
Menjadi orang Islam berarti harus siap dengan berbagai pertanyaan yang kadang melelahkan untuk dijawab.

Misalnya saja beberapa waktu lalu saya mendapat pertanyaan, apa bedanya NU dan Muhammadiyah? Apa pula perbedaannya NU, tasawuf, dan mazhab? Bagi alumni pesantren yang sepanjang hidupnya akrab dengan literatur-literatur keislaman, hal tersebut merupakan beban moral yang luar biasa. Islam bukan lagi dilihat sebagai nilai universal melainkan sebuah identitas yang terus dijual habis-habisan oleh orang-orang yang gila kekuasaan.

Melihat fenomena ini saya jadi teringat pesan dari almarhum kiai saya sewaktu nyantri di Pati, Jawa Tengah. Ia selalu berpesan seperti ini: jadikan agama tuntunan, bukan tontonan. Sekarang ada banyak tontonan yang malah jadi tuntunan. Pada waktu itu saya belum terlalu ‘ngeh’ dengan dawuh kiai saya tersebut. Namun setelah lulus dari pesantren dan melihat fenomena dai artis, saya jadi tahu konteksnya. Sayangnya, para dai artis ini merupakan tontonan orang tua saya ketika menyimak program religi di televisi.

Pernah suatu ketika saya ditanya mengenai hukum bank konvensional. Saya katakan bahwa hal tersebut menjadi perdebatan di kalangan ulama kontemporer. Ada yang membolehkan, ada pula yang menghukumi riba. Jika demikian maka memilih pendapat (taklid) diperbolehkan. Sesuai kaidah ushul fikih hal tersebut dibenarkan. Apalagi ada kaidah bahwa seorang mufti (pemberi fatwa) jika pendapatnya benar mendapat dua pahala, dan jika keliru masih mendapatkan satu pahala. Namun pengaruh dai artis yang mengatakan bank konvensional riba begitu membekas sehingga perlu klarifikasi cukup panjang kali lebar.

Sayangnya pola dai artis selalu seperti itu. Ia memaksakan satu perspektif tanpa memberi ada alternatif lain. Namun saya cukup bersyukur karena belakangan muncul beberapa alumni Al-Azhar Kairo yang tampil di televisi dan menjelaskan mengenai ragam pendapat dalam Islam. Mereka inilah yang diharapkan bisa memperbaiki kualitas dai, yang awalnya asal bunyi menjadi lebih berisi. Dari yang awalnya sekadar tontonan menjadi benar-benar tuntunan yang sesuai dengan ajaran Islam.

Ketika kuliah di Fakultas Dakwah beberapa tahun silam, saya menerima materi tentang retorika dakwah. Di situ saya menemukan bagaimana retorika sebenarnya ‘hanya’ alat untuk menyampaikan pesan. Pesan tetap yang paling utama. Namun entah mengapa ada banyak orang berakselerasi mempelajari retorikanya tanpa pernah berusaha memahami isinya. Pun, jika sudah menghafal satu hingga dua ayat atau hadis mendadak menjadi pakar di semua bidang.

Apakah untuk menjadi dai harus memahami semua ajaran agama dulu? Tentu tidak, tetapi jika pun memutuskan menjadi dai sebagai profesi, mbok ya tidak asal hajar kanan kiri jika belum mengerti. Bersikap hati-hati adalah ajaran ulama terdahulu yang masih terus dilestarikan oleh ulama-ulama masa kini.

Selain itu, sikap kemaruk yang menganggap dirinya ahli di berbagai bidang pun mesti dikoreksi. Saat masih di pondok pesantren, ketika di satu waktu sowan kepada seorang kiai dan memintanya untuk mengampu kitab fikih, dengan rendah hati ia mengatakan bahwa ia kurang mampu. Ia kemudian menyarankan agar meminta kiai lain yang lebih mumpuni untuk mengajar kitab tersebut. Padahal kitab yang diminta adalah kitab dasar yang bahkan alumnus pesantren yang baru beberapa bulan lulus saja mampu untuk mengampunya. Tetapi seorang kiai sepuh bersikap demikian untuk mengajarkan bahwa seseorang tidak bisa menjadi ahli di semua bidang.

Sikap-sikap penuh tawadhu atau rendah hati seperti ini yang tidak ada di kultur dai artis kita. Mungkin karena logika yang terbangun pada diri mereka adalah logika pasar di mana atensi publik lebih digarap dibanding konten yang edukatif. Sehingga kesakralan sebuah ajaran agama tergadaikan dengan berbagai tingkah yang lebih ditujukan untuk melayani pasar.

https://www.youtube.com/watch?v=GppvXhiYoXU

Jika demikian, sangat disayangkan mengingat para pemuda-pemudi kita hari ini sangat bersemangat untuk menjalani kehidupan yang religius. Banyak orang yang tertarik untuk berhijrah. Sebagai orang yang belajar agama, tentu kita tidak ingin menjebak generasi muda ini kepada kehidupan beragama yang keliru. Apalagi jika kita menjual ayat atau sabda Nabi demi pembenaran atas segala kesalahan-kesalahan yang kita lakukan demi terlihat baik di mata pasar. Apalagi, menggunakannya untuk politis. Sungguh terlalu…

Jangan sampai kita termasuk golongan yang disinggung oleh Allah SAW dalam Surat At-Taubah ayat ke-9.
Mereka menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan. Na’udzubillah. Semoga kita selalu dalam lindungan dan tuntunan-Nya. Amin. Wallahua’lam.