Kalau kita ditanya sesuatu dan tidak tahu jawabannya, maka dengan reflek kita biasanya akan mencari jawabannya lewat laman pencarian Google. Hal ini juga terjadi di ranah keagamaan, kebanyakan kita sering menggunakan google sebagai pertolongan pertama untuk mencari informasi keagamaan. Internet menyediakan informasi yang berlimpah, termasuk informasi keagamaan. Masyarakat muslim memang bebas mengkomsumsi dan menyebarkan informasi yang ia dapatkan atau ketahui.
Pola konsumsi ilmu keislaman yang melimpah di internet yang sangat cair, apa yang harus dipersiapkan umat atas keadaan ini?
Linimasa media sosial adalah lahan yang sering digunakan untuk membagikan atau menyerap keilmuan Islam. Misalnya, bulan Maret kemarin, ada satu status akun teman saya yang mengunggah sebuah ceramah satu menit dari dari salah satu selebritas Instagram bernama Hawariyyun. Tema yang dibicarakan dalam “ceramah” tersebut, yaitu tema nikah. Tema tersebut memang sangat digemari oleh kalangan anak muda sekarang, khususnya millenial muslim.
Emile Durkheim menuliskan keyakinan Agama dan ritual adalah hal paling menonjol dalam konstruksi pribadi dalam identitas sosial sepanjang sejarah manusia. Hal ini juga terjadi dalam dunia baru bernama internet atau akrab disebut dunia maya, saat akun media sosial dibuat dan berinteraksi dengan dua hal di atas di linimasa maka terjadi juga berpengaruh pada pembentukan identitas pribadi.
Keyakinan agama dan ritual di atas termasuk persoalan aktualisasi ilmu keislaman di dunia maya, jika kita berselancar di dunia maya atau media sosial maka sangat mudah kita temukan berbagai ilmu pengetahuan soal keislaman. Kalangan anak muda disebut paling konsumen paling aktif dalam keilmuan Islam di internet ini. Istilah Ustadz oogle memang sebuah guyonan belaka, tapi saat informasi keislaman dibutuhkan secara instan maka pilihan anak muda selalu pada kolom pencarian yang disediakan oleh google.
Dunia maya menyediakan berbagai informasi keagamaan yang bebas dikonsumsi oleh siapa saja tanpa ada batasan yang ketat, sebagaimana model transmisi pengetahuan masa lalu. Seorang santri pasti merasakan standar ketat dalam proses penerimaan ilmu-ilmu keislaman di wilayah pesantren, tapi kondisi tersebut sangat kontras jika dibandingkan dengan kebebasan informasi yang digagas oleh google. Sekilas persoalan ini memang naif, karena kita sebagai umat Islam seharusnya bersyukur dengan keadaan tersebut, tapi ada permasalahan yang terselip dari kemudahan dan kebebasan tersebut, yaitu pertanggungjawaban atas keilmuan yang beredar.
Otoritas keilmuan digeser habis dalam peredaran keilmuan di dunia maya, tidak ada yang menjadi pihak pemegang otoritas yang menguasai keilmuan. Ilmu memang menjadi sangat mudah didapatkan dan murah, tapi di saat yang sama informasi yang beredar tidak bisa dipastikan keabsahannya. Belum lagi jika kita bicara apakah ada jaminan keilmuan Islam yang beredar di internet tidak menjadi lahan bisnis dan menguntungkan atau memperkaya sekelompok orang.
Kelindan antara kebebasan, keilmuan Islam, dan anak muda adalah persoalan pelik yang tidak bisa diselesaikan atau dihadapi tanpa keseriusan. Persoalan tersebut juga terkait dengan perubahan kultur dalam transmisi pengetahuan universal. Jika dulu manusia sangat mengandalkan hapalan, tapi digempur dengan munculnya budaya tulis di masyarakat. Sekarang, budaya internet memang mengubah kultur baca dengan kehadiran informasi yang cepat dan melimpah seakan manusia tidak cukup waktu untuk membacanya.
Sehingga, manusia sering terjebak pada klaim sesaat pada satu fokus perhatian belaka, ini salah satu kondisi yang menjadikan masyarakat kita sering terjebak pada hoaks
Mia Lovheim menulis satu bab dalam buku Religion Online: Finding Faith on the Internet, artikelnya berjudul Young People, Religious Identity, and the Internet khusus tentang ini. Dalam tulisan tersebut, Mia menjelaskan ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam melihat pengaruh internet dalam identitas seseorang atau masyarakat.
Pertama, internet memberikan kemungkinan bagi individu untuk aktif bernegosiasi terhadap hal-hal yang ada di dalamnya untuk diambil yang terbaik bagi kehidupan pribadi.
Kedua, internet menyediakan ladang pertarungan bagi semua pihak untuk mengeluarkan pendapatnya dengan bebas. Ketiga, internet membawa masyarakat pada keterbukaan informasi untuk melihat betapa banyaknya model dan perbedaan dalam dunia. Keempat, internet memperlihatkan beragam konflik dan tantangan pada manusia sebagai pengguna. Mia menegaskan kesiapan dan kedewasaan sangat dituntut dalam menghadapi kehidupan di dunia maya.
Jika kita tarik apa yang dijelaskan Mia di atas dalam kajian Islam, maka kita memang mau tidak mau, suka atau tidak suka, akan menghadapi perbedaan dan konflik secara brutal di dunia maya. Selain pendidikan Islam yang komprehensif di berbagai lapisan masyarakat, kedewasaan dan kematangan dalam menghadapi perbedaan juga harus dipersiapkan di masyarakat muslim sedini mungkin, karena kegagapan dalam melihat dan menghadapi perbedaan pendapat atau perang informasi bisa menjadi efek buruk bagi masyarakat, diantaranya menyebarkan hoaks dan klaim kebenaran yang membabi buta.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin