Memaknai Ibadah Kurban

Memaknai Ibadah Kurban

Memaknai Ibadah Kurban

Dua hari lagi, 11 Agustus 2019, masyarakat Muslim akan merayakan Hari Besar Idhul Adha 10 Dzulhijjah 1440 H. Selain menunaikan ibadah kurban, masyarakat juga menyelenggarakan rangkaian ibadah lainnya. Mulai dari puasa sunah, shalat id, hingga melantunkan bacaan takbir, tasbih, dan tahmid. Semua ini tidak lain adalah untuk mengagungkan kebesaran Allah ta’ala. Hakikatnya, ibadah tahunan ini sangat sarat makna. Baik bagi peningkatan kualitas kesalehan individual, ataupun bagi pengokohan kesalehan sosial. Keseimbangan ini merupakan cerminan dari nilai moderasi beragama.

Hal ini ditandai dengan pembagian daging kurban kepada warga sekitar, terlebih bagi masyarakat yang kurang mampu. Tidak sedikit, dalam beberapa tahun terakhir terdapat antusias masyarakat untuk tebar daging kurban di daerah terpencil yang sangat membutuhkan. Selain sebagi bentuk ibadah, pengiriman binatang kurban tersebut juga untuk mempererat solidaritas sosial. Saudara kita yang kurang mampu pasti merasa terbantu. Ikut merasakan kebahagian di Hari Raya Idhul Adha. Dari rangkaian ibadah di bulan Dzulhijjah ini, kita berharap masyarakat Muslim selalu terteguhkan bahwa empati dan simpati antar sesama mesti selalu diasah, selalu diasuh.

Meskipun ibadah kurban dalam ajaran agama hanya diperintahkan setahun sekali, namun spirit pengorbanan di dalamnya perlu senantiasa dihidupkan. Baik dalam level individu maupun kelompok. Bentuk pengorbanan bisa beragam, meskipun dengan spirit yang sama. Hal ini membuktikan bahwa kebaikan bisa diberikan dengan beragam cara, termasuk dengan mengulurkan tangan bagi yang membutuhkan. Saling bekerja sama dalam kebaikan, tenggang rasa, serta mengalahkan egoisme pribadi. Kesemuanya ini merupakan bentuk lain dari pengorbanan. Sederhana tapi bermanfaat.

Bentuk Ketaatan

Pada awalnya, ibadah kurban diperintahkan kepada Nabi Ibrahim as untuk menyembelih putra tercintanya, Ismail. Perintah ini merupakan ujian bagi keimanan dan ketaatan. Syaikh Abdullah al-Harari (1906-2008) dalam kitab Tafsir Hadaiq al-Ruh wa al-Raihan menjelaskan bahwa perintah ini merupakan puncak ujian yang berat, baik bagi Nabi Ibrahim ataupun Ismail yang pada waktu itu berusia 13 tahun. Tidak hanya pedih bagi seorang ayah, akan tetapi juga perih bagi seoarang anak. Hanya saja, berbekal ketaatan kepada Allah ta’ala, kedua hamba mulia tersebut ikhlas menerima perintah tersebut.

Sebagaimana diabadikan kisahnya dalam al-Qur’an, ketika Nabi Ibrahim as mulai membaringkan Ismail untuk dikurbankan, maka Allah swt menggantikan sembelihan tersebut dengan seekor domba. Kepasrahan dan ketaatan Nabi Ibrahim as kepada perintah telah terbukti, meskipun harus mengorbankan sesuatu paling berharga yang dimilikinya.

Penggalan kisah ini sebagaimana dalam firman Allah dalam surat al-Shaffat ayat 106-108:

إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ (106) وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ (107) وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآخِرِينَ (108)

Artinya: “Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Dan Kami abadikan untuk Ibrahim pujian di kalangan orang-orang yang datang kemudian.” (Q.S. al-Shaffat: 106-108)

Kisah ini menjadi suri tauladan yang baik bagi umat manusia bahwa ketaatan kepada Allah ta’ala tidak dapat diduakan. Kita harus berani dan rela menunaikan perintah agama, meskipun harus dengan sesuatu yang berharga dan kita cintai. Sebagai misal, kita harus rela mengeluarkan sebagian rezeki kita untuk zakat dan infak. Selain menjadi bukti kesalehan individual, menginfakkan harta benda yang kita miliki juga merupakan bentuk nyata kesalehan sosial.

Secara lebih luas lagi, hal ini dapat kita maknai bahwa berusaha mengendalikan ego, mengutamakan kepentingan masyarakat yang lebih luas, tidak tamak dan rakus merupakan makna terdalam dari ibadah kurban. Di mana kita mampu mengendalikan hawa nafsu, serta mampu menyembelih sifat-sifat buruk yang kita miliki. Dalam kehidupan sehari-hari, hikmah dari ibadah kurban di atas semestinya tercermin dalam sikap kita. Bentuk nyatanya ialah sikap rela berkorban, simpati dengan penderitaan orang lain, dan tenggang rasa antar sesama. Selain itu juga saling hormat-menghormati meskipun memiliki perbedaan suku, ras, agama, dan antar golongan (SARA).

Semangat Berbagi

Selain sebagai bentuk ketaatan, ibadah kurban juga menjadi momen penting untuk meneguhkan kembali  rasa empati. Di mana kita rela menyisihkan harta yang kita miliki untuk berbagi. Harapannya, ritual tahunan kurban juga membekas dalam kehidupan sehari-hari di selain bulan Dzulhijjah. Di sebelas bulan yang lain, semangat berbagi dari ibadah kurban harus senantiasa kita jalankan.

Jika kita sadari, perintah untuk saling berbagi dan membantu tidak lain adalah cara nyata manusia untuk mendapatkan kebahagiaan hakiki. Sebagai makhluk sosial, tidak dapat dimungkiri bahwa dalam hidup, manusia pasti membutuhkan pertolongan orang lain. Oleh karenanya, tidak sepantasnya jika kita memelihara sikap individualistik. Merasa paling benar ataupun paling berkuasa, serta merasa bisa mengerjakan semuanya sendirian. Oleh karena itu, penting kiranya selalu kita tumbuh kembangkan sikap saling menyayangi dan menghormati antar sesama.

Dalam salah satu riwayat hadis disebutkan:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ الرَّاحِمُونَ يرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِى الأَرْضِ يرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ

Artinya: Diriwayatkan dari Abdillah bin ‘Amr bin al-‘Ash ra, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Orang-orang yang penyanyang akan disayangi oleh Allah yang Maha Penyayang. Maka sayangilah makhluk yang ada di bumi, niscaya makhluk yang ada di langit akan menyayangimu.” (H.R. al-Baihaqi)

Kita akan sangat senang jika ada orang lain membantu di saat kita sedang kesulitan. Begitu juga sebaliknya. Orang lain yang kita bantu akan merasa sangat berterima kasih di saat kita memiliki rasa perhatian kepada mereka. Inilah salah satu dasar penting untuk mewujudkan kebaikan kepada sesama.

Dari titik ini, dapat kita pahami bahwa cerminan laku beragama adalah sikap saling menyayangi. Menghormati dan menjaga hak-hak orang lain. Berupaya untuk adil menunaikan kewajiban. Sikap yang adil dan seimbang ini akan mendorong terajutnya tali ukhuwah. Mengokohkan rasa persaudaraan.

Sebaliknya, kita menghindari sikap yang ekstrem, memaksakan pendapat dan mau menang sendiri. Sikap ini tidak lain akan membuat orang lain tidak nyaman. Bahkan merasa terganggu. Karena itu, egoisme dan ektremisme harus berani kita sembelih dari diri kita. Baik dalam tataran cara pandang maupun dalam bersikap.

Sebagai bangsa yang dikenal sebagai bangsa yang religius, sudah seharusnya semangat ibadah kurban di atas kita pahami. Hidup di tengah masyarakat yang terdiri dari beragam suku, ras, agama dan kepercayaan, semangat rela berkorban dan tenggang rasa perlu senantiasa kita jaga. Dengan hal ini, kita berharap agama dapat menopang dan mengokohkan keragaman Indonesia.

Jika kita memiliki sikap moderasi beragama yang baik, tentunya kita akan dapat memaknai praktik ibadah kita dengan pernuh arti. Ritual ibadah apapun bentuknya yang kita jalani, akan mendorong terbentuknya individu-individu yang memiliki kualitas kesalehan. Tidak hanya dalam level individual semata, akan tetapi juga dalam kehidupan sosial keseharian. Semoga.

 

*Tulisan ini juga dimuat dalam: Buletin Muslim Muda Indonesia, Edisi 55/Jum’at, 9 Agustus 2019