Dalam setiap ceramah, KH Bahaudin Nur Salim atau akrab disapa dengan Gus Baha selalu mengampanyekan keceriaan dan optimisme. Bukan cuma materi ceramahnya, laku Gus Baha pun terkesan demikian ketika mengampu pengajian. Serius tapi santai, jenaka tapi tetap mencerahkan.
Dikelilingi maraknya ceramah-ceramah bergaya arogan, Gus Baha dan wejangan-wejangannya bagai oase di tengah-tengah padang gersang, menyegarkan. Beliau secara konsisten tampil elegan dengan ceramahnya yang membumi namun memiliki muatan nilai yang luhur. Utamanya pemaknaan tentang permasalahan hidup dilihat dari sisi positifnya, ini adalah khas Gus Baha.
Mulai dari urusan remeh hingga serius, murid kinasih mendiang Kiai Maimoen Zubair iniĀ selalu menunjukkan makna yang positif di balik persoalan yang sering hadir dalam keseharian. Dan berkat pemaknaan-pemaknaan yang tak hanya positif tapi juga segar, Gus Baha cepat digemari oleh masyarakat dari berbagai kalangan.
Ceramahnya yang lugas dengan didasari riwayat-riwayat dan argumen logika yang memadai, konten kajiannya menjadi cukup ringan dicerna oleh para pendengar. Oleh karenanya, saat ini mudah sekali menjumpai ceramah-ceramah Gus Baha yang tersebar luas di berbagai platform media sosial.
Salah satu pemaknaan yang menarik adalah soal hidup dan mati. Menurut Gus Baha, tidak hanya kehidupan yang perlu selalu dipandang dari sisi positifnya, akan tetapi kematian yang nantinya akan datang menjemput juga demikian. Perlu diambil sisi positifnya.
Gus Baha dalam beberapa kesempatan ceramah menjelaskan bahwa definisi kematian adalah dicabutnya ruh dari jasad. Ketika ruh dicabut, maka jasad akan mati. Dan dalam kematian itu, ruh tetap hidup. Sehingga, lanjut Gus Baha, kematian sebenarnya tidak ada, karena ruh atau nyawa tetap hidup.
Dalam Islam memang diajarkan, bahwa sebuah ruh hakikatnya tetap hidup meski jasad telah mati. Ruh yang hidup tadi akan melewati tahap demi tahap. Sampai pada akhirnya nanti dibangkitkan kembali di hari kiamat, untuk melalui tahap hisab dan mempertanggungjawabkan semua perbuatan.
Maka dari itu usaha-usaha untuk bertahan hidup di dunia dengan cara yang culas, curang, dengki, tidak jujur, dan kawan-kawannya tidaklah berguna, pada hari perhitungan nanti malah akan menyusahkan diri sendiri. Dan terkadang pun, di dunia juga langsung mendapat ganjaran yang setimpal atau jauh lebih pedih.
Gus Baha sering menyampaikan perihal hakikat memaknai kematian dan kehidupan. Ia mengutip sebuah riwayat doa Nabi yang terdapat dalam kitab Al-Jami’ Shahih Muslim karya Imam Muslim berbunyi: “Allahumma aj’alil hayata ziyadatan li fi kulli khoirin, waj’alil mauta rahatan li min kulli syarrin.” (Ya Allah jadikanlah hidupku untuk menambah segala kebaikan dan matiku sebagai akhir dari segala keburukan.)
Dari riwayat doa Nabi ini Gus Baha mengambil pengertian bahwa hidup hakikatnya haruslah diarahkan kepada potensi untuk menambah kebaikan, termasuk cara-caranya. Mati pun juga begitu, penting mengambil hikmah darinya, yaitu kematian berarti akhir dari adanya potensi melakukan keburukan.
Dengan pengertian demikian, ketika hidup di dunia, seseorang akan menjalaninya dengan terhormat karena berorientasi menambah kebaikan-kebaikan setiap waktunya. Sedangkan jika telah tiba waktunya maut, maka ia bersyukur dan menerima dengan penerimaan yang legawa, lantaran kematiannya mengakhiri segala potensinya berbuat keburukan.
Pemaknaan yang sederhana tapi sarat nilai ini, memudahkan umat menjalani hidup karena makna yang ditawarkan dirasa ringan dan relevan. Dalam konteks ini, Gus Baha tidak hanya menawarkan sudut pandang yang sederhana, tetapi juga menunjukkan hidup dan mati dengan cara yang indah dan menggembirakan.
BACA JUGA Artikel-artikel Menarik tentang Kajian Gus Baha di Sini