“Kesucian” atau “sacredness” di kalangan masyarakat dapat melekat pada banyak hal termasuk pada teks, kata, kalimat, hewan, tumbuh-tumbuhan, tempat, benda dan banyak lagi. Ada kata “Allahu Akbar” “Haleluya”, ada tempat suci “Vatikan”, “Mekkah”, dan juga ada bangunan sakral seperti “Masjid” “Kuil” dll.
Di India, hewan sapi dianggap hewan “suci” oleh umat Hindu. Karena itu, bila ada yg mengganggu atau apalagi menyembelihnya untuk dikonsumsi dan dilakukan di tengah perkampungan Hindu di India, akan dilihat sebagai tindakan “offensive”. Konflik Islam dan Hindu di India, konon seringkali dibumbui oleh ceritera bahwa orang Islam adalah “musuh” pemeluk Hindu karena orang Islam dipersepsikan sebagai orang yg sering “tak menghormati” dan “menyakiti” hewan suci mereka. Silakan baca beberapa kasus sapi di India ini:
Dalam pandangan “secular religion” (istilah Robert N Bellah), sebuah bangsa, dalam kadar tertentu juga ada hal hal yang “disucikan”. Bendera kebangsaan dalam derajat tertentu dianggap sebagai simbol “suci”. Ada simbol suci lain spt lagu kebangsaan, makam pahlawan dll.
Saat bendera kebangsaan mereka dibakar, warga bangsa terkait tentu akan cenderung tersinggung dan marah. Semakin dalam ikatan emosi seseorang pada simbol “suci” itu (bendera), akan semakin meradanglah ia saat melihat bendera “kesuciannya” dibakar.
Bila perspektif ini diterapkan dalam memahami apa yang baru terjadi di negeri kita, yaitu pembakaran bendera yang di dalamnya ada kata sahadat, jelas sekali konflik terkait dengan perbedaan dalam pemberian makna terhadap bendera dan teks yg menyatu dalam bendera itu.
Konflik terjadi karena ada dua kelompok yang menafsirkan berbeda terhadap makna simbol bendera itu, yaitu: kelompok yang memberi makna bahwa pembakaran bendera itu semata-mata bagian ekspresi kemarahan terhadap kelompok yang dianggap mengancam NKRI (simbol bendera gerakan makar), dan kelompok lainnya, memberi makna bahwa bendera itu sebagai bendera suci, di dalamnya terkandung teks suci kalimat tauhid, lambang perjuangan Rasul.
Apakah kedua tafsir itu memiliki landasan kuat? Itu soal lain. Yang jelas, masing-masing kelompok saling berupaya melakukan pembenaran. Intensitas konflik terlihat menguat justru karena panjangnya perdebatan emosional yang seringkali dibungkus argumen kesakralan. Ditambah lagi, argumen-argumen yang disajikan itu banyak yang dibawakan melalui orasi-orasi yang “membakar massa.” Ada semacam kontes pidato heroik berebut simpati massa pengikut, seperti akan menyiapkan perang saja.
Fokus konflik terletak pada pemaknaan arti aksi pembakaran pada “bendera secara keseluruhan,” dan pada “kalimah tauhid” yang tertulis dalam bendera itu.
Pembakaran terhadap bendera dimaknai sebagai ekspresi “penghinaan” terhadap teks sahadah, atau terhadap simbol suci Islam, atau simbol perjuangan Rasul. Di sisi lain, para pembakar dan pendukungnya melihat aksi itu sama sekali tak ada hubungannya dengan penodaan simbol sahadah (simbol Islam). Apalagi mereka sendiri juga umat Islam.
Di sini letak masalahnya:
Tafsir “simbol kelompok makar”
vs
Tafsir “simbol suci sahadat, perjuangan Rasul”.
Yang memprihatinkan, kedua kelompok yang berkonflik tafsir ini adalah sama sama bagian umat Islam, yang tentu keduanya memiliki keterkaitan emosional terhadap simbol sahadah itu (sebagai teks suci). Bayangkan apa yang terjadi bila pembakar bendera itu dilakukan kelompok non-muslim. Apa jadinya?
Namun, untuk memahami konflik ini tentu dapat meluas tak semata karena soal tafsir. Bisa jadi konflik tafsir ini sekedar alat saja. Konflik sebenarnya terkait dg perebutan kekuasaan, baik dalam lingkup global maupun nasional.
Perlu diingat, walaupun bisa jadi ini sekedar alat dalam perebutan kekuasaan, namun bermain dengan “alat” ini dalam perebutan kekuasaan, apinya bisa melebar tak terkendali. Nyawa saudara sesama bangsa dapat melayang. Bahkan kehidupan bangsa juga bisa berantakan. Lihat Syria, Irak, Libya, dan kini juga Yaman?
Mari kita berdoa semoga bangsa ini selamat dalam menjalani ujian ini.
*) Dr Imam Prasodjo, sosiolog.