Rasulullah memiliki berbagai pengalaman spiritual yang sangat berharga dan bersejarah dalam perjalanannya menjadi seorang utusan-Nya. Salah satunya adalah perjalanan beliau membelah malam dengan melewati masjid al-Aqsha di Palestina dan Sidratul Muntaha untuk memenuhi undangan dan perintah Allah SWT. Peristiwa ini biasa kita sebut dengan Isra’ dan Mi’raj.
Ibnu Hisyam, seorang sejarawan Islam terkenal mencantumkan sebuah pembahasan khusus dalam sirahnya yang menceritakan bagaimana Isra’ dan Mi’raj terjadi pada saat itu. Selain itu kita bisa membacanya di beberapa hadis sahih yang dimuat dalam kitab-kitab hadis yang diakui, seperti Sahih Bukhari, Muslim, Nasa’i, Tirmidzi dan beberapa kitab hadis yang lain. Serta beberapa kitab yang khusus mengisahkan perjalan Isra’ dan Mi’raj nabi seperti karya Syeikh Najmudin al-Ghaiti yang berjudul Dardir Mi’raj.
Menurut Ibnu Hisyam, ada beberapa pendapat terkait waktu nabi melakukan Isra’ dan Mi’raj. Di antaranya adalah 27 rajab, 27 Rabiul Akhir, 27 Rabiul awal, Dzulqa’dah bahkan muharram. Di antara pendapat-pendapat tersebut tidak ada yang paling diunggulkan walaupun kita sebagai masyarakat Indonesia sering memperingatinya setiap tanggal 27 rajab.
Dari lima puluh menjadi lima waktu: perjuangan dan kepedulian Nabi kepada umatnya
Setelah nabi sampai di langit ke tujuh dan bertemu dengan Allah di Sidratul muntaha, Nabi mendapatkan oleh-oleh yang sangat berat. Yaitu kewajiban menjalankan shalat bagi nabi dan seluruh umatnya dalam 50 waktu sehari.
Saat nabi bertemu kembali dengan Nabi Musa, Nabi Musa pun mengingatkan agar nabi SAW meminta keringanan kepada Allah, mengingat umat Nabi Muhammad adalah umat yang lemah, sehingga tidak akan mampu untuk menjalankan sholat fardhu sebanyak itu.
Permintaan Nabi Musa ini dipenuhi Nabi Muhammad SAW. Setiap kali meminta keringanan kepada Allah, Allah hanya mengurangi lima waktu dan akhirnya setelah sampai pada bilangan terakhir, yakni lima waktu, nabi malu untuk kembali menghadap kepada Allah. Bahkan jika hal itu dilakukan, niscaya Allah akan mengurangi lima waktu tersebut.
Kisah kepedulian Nabi Muhammad dalam memperjuangkan bilangan waktu shalat fardhu bagi umatnya ini diabadikan oleh Syekh Ahmad Marzuqi dalam salah satu nadham Aqidatul Awamnya: “min ghairi kaifin wan khisarin waftaradh, alaihi khamsam ba’da khamsina farad”. Walupun sudah berkurang menjadi lima waktu, namun pahala lima waktu tersebut sama dan setara dengan pahala shalat lima puluh waktu.
Mengetahui bahwa kekuatan umatnya tidak sama dengan kekuatan para umat terdahulu, nabi tidak tinggal diam ketika Allah memberikan kewajiban yang dirasa berat bagi umatnya. Pengertian dan kepedulian nabi ini menjadi bukti bahwa nabi adalah teladan pemimpin yang benar-benar berjuang untuk keselamatan umatnya. Dan Allah sedang menguji kepedulian nabi tersebut.
Isra’ dan Mi’raj: pembuktian loyalitas para pembela nabi
Ketika nabi bercerita ihwal peristiwa tersebut kepada penduduk Quraisy Makkah. Tidak hanya kafir Quraisy yang tidak mempercayainya, orang-orang yang sebelumnya telah memeluk Islam pun banyak yang murtad karena tidak percaya dengan peristiwa tersebut. Hanya Abu Bakar yang tidak ragu sedikitpun dengan kejadian yang dialami nabi. Tentu hal ini juga bisa dijadikan tolak ukur, siapa saja yang masih setia dan siapa saja yang ingkar.
Alasan mereka tidak mempercayai hal tersebut karena jarak tempuh dari Makkah ke Baitul Maqdis yang seharusnya ditempuh dengan waktu sebulan pada masa itu hanya ditempuh nabi selama satu malam. Mereka tetap tidak percaya walaupun nabi mampu menyebutkan ciri-ciri baitul maqdis dan menyebutkan pertemuannya dengan kafilah bani tertentu dengan segala ciri dan barang-barang yang dibawanya.
Peristiwa Isra’ dan Mi’raj adalah sebuah peristiwa yang futuristik. Pada saat itu perjalanan dari Makkah ke Baitul Maqdis yang biasanya ditempuh dalam kurun waktu satu bulan, bisa ditempuh oleh nabi dalam waktu satu malam. Pada saat itu memang dirasa aneh karena kendaraan satu-satunya adalah unta atau kuda. Dan tidak mungkin perjalanan sejauh itu bisa ditempuh dengan waktu yang cepat jika hanya menggunakan unta atau kuda. Zaman sekarang, perjalanan jauh semacam itu sangat lumrah dilakukan dengan waktu yang cukup singkat. Peralatan modern saat ini mempu menepis keraguan orang-orang Makkah yang tidak percaya dengan Isra’ dan Mi’raj nabi. Bahkan perjalanan ke luar angkasa pun bisa dilakukan zaman sekarang.
Meneladani Nabi Melalui Isra’ dan Mi’raj
Peringatan Isra’ dan Mi’raj yang selalu dilaksanakan secara rutin seharusnya memiliki dampak dan hasil yang bermanfaat bagi pembenahan masyarakat. Isra’ dan Mi’raj merupakan sebuah teladan bagi pemimpin untuk selalu memperjuangkan kemudahan-kemudahan bagi para rakyatya. Dan juga merupakan momen berbenah diri untuk para rakyat, agar selalu menghargai perjuangan yang telah dilakukan oleh para pemimpinnya.
Sama seperti pada masa nabi, kesombongan terkadang menutupi hati nurani kita. Kita merasa paling benar hanya karena perkataan pemimpin kita tidak sesuai dengan nalar kita. Padahal ketika disuruh menggantikan tugas-tugas mereka pun kita belum tentu bisa. Masyarakat Mekkah yang sudah masuk Islam pada waktu itu dengan pongahnya meninggalkan nabi hanya karena peristiwa Isra’ dan Mi’raj yang dilakukan nabi tidak masuk di akal mereka. Padahal nabi sudah memperjuangkan kepada Allah agar meringankan kewajiban mereka.
Salah satu poin penting yang bisa kita petik adalah bahwa sikap mengayomi seorang pemimpin dan sikap menghargai orang yang dipimpin itu memiliki dampak yang positif dalam proses berjalanannya suatu tatanan pemerintahan. Tidak hanya itu, peristiwa besar seperti Isra’ dan Mi’raj harus menjadi mementum untuk membenahi penyakit-penyakit sombong dan egoisme yang ada di hati kita. Waallahu a’lam.
Alvin Nur Choironi, Mahasantri Pesantren Ilmu Hadis Darus-Sunnah Ciputat dan Penggiat el-Bukhari Institute