Memahami Hakikat Rasa Suka dan Benci

Memahami Hakikat Rasa Suka dan Benci

Memahami Hakikat Rasa Suka dan Benci

[:id] 

Terkait dengan perasaan suka atau tidak suka, senang atau benci, like and dislike, Ki Ageng Suryomentaram mewariskan wejangan yang sangat bersahaja, namun umumnya kita telah melewatkannya. Menurut filsuf Jawa abad 20 dari Yogyakarta ini, saat berinteraksi dengan apa saja semua orang akan mendasarinya dengan rasa suka (dhemen) atau tidak suka (sengit) di dalam dirinya. (Sebelumnya, baca: Bisakah Kita Bisa Adil Terhadap Segala Sesuatu?)

Ketika sesuatu menguntungkannya, orang akan suka. Namun jika sesuatu dirasa merugikan orang menjadi tidak suka. Jadi, di balik rasa suka dan tidak suka setiap orang sesungguhnya terdapat hitung-hitungan untung atau rugi, baik secara terang-terangan maupun tersamar.

Hitung-hitungan untung-rugi tidak hanya berhubungan dengan materi, tetapi juga merambah ke ranah kehormatan dan kekuasaan. Jika seseorang diakui kehormatan dan kekuasaannya, ia akan senang. Namun jika kehormatan atau kekuasaan seseorang tidak dianggap, maka ia akan benci. Artinya, yang melahirkan rasa senang atau benci di dalam diri setiap orang sesungguhnya adalah kepentingannya.

Rasa senang atau benci wujudnya bermacam-macam. Rasa senang bisa berupa senyum cerah di wajah, antusias, terkenal, nikmat, dan semacamnya. Adapun wujud rasa benci adalah marah, malu, takut, risih, dan sejenisnya.

Karena wujud dari rasa senang atau benci itu sedemikian banyaknya, orang seringkali tidak menyadari bahwa kesemuanya itu bersumber dari rasa suka atau benci yang ada di dalam dirinya. Yang demikian itu terjadi karena orang lebih mudah mengetahui rasa, ketimbang menyadarinya. Karena itu, jika orang menyadari bahwa di dalam dirinya senantiasa bersemayam rasa suka atau benci, dengan sendirinya dia juga akan selalu mengetahui pergantian wujudnya.

Cara menyadari adanya rasa suka dan benci dalam diri

Bagaimana supaya kita tetap bisa menyadari adanya rasa suka dan benci di dalam diri yang berubah wujud, dan kita tetap mengetahui perubahan-perubahannya sebagai apa saja, Ki Ageng memberikan contoh sebagai berikut.

Jika kita sudah memahami pohon jati dan karakteristiknya, maka ketika pohon jati tersebut ditebang dan kayunya dibelah-belah dengan aneka ukuran sebagai bahan baku, meskipun wujudnya berbeda-beda setelah jadi produk, kita tetap bisa mengenalinya. Contoh, misalnya kayu jati tersebut telah menjadi meja, dan meja tersebut difinishing hingga sedemikian rupa, kita akan tetap tahu bahwa meja tersebut terbuat dari kayu jati.

Begitupun jika kayu jati tersebut dijadikan pintu, raling tangga, atau parket misalnya, kita juga tetap dapat mengidentifikasi. Bahkan, jika kayu jati tersebut dicampur dengan bahan kayu lain, lalu disamarkan hingga sedemikian rupa, kita pun tetap dapat mengetahui bahwa barang tersebut tidak murni dibuat dengan menggunakan bahan asli kayu jati.

Adapun yang terkait dengan rasa senang dan benci, contoh yang dipaparkan Ki Ageng adalah semisal kita memiliki piring antik dari keramik. Jika piring kita tersebut dipecahkan oleh orang, pertama-tama tentu kita tidak suka mengapa piring itu sampai bisa pecah. Jika kita menyadari adanya rasa tidak suka dalam diri kita yang seperti itu, maka kita pun bisa mengidentifikasi bahwa rasa tidak suka kita itu kemudian berubah wujud menjadi marah. Yaitu kita marah kepada orang yang telah membuat piring kita pecah.

Jika rasa marah yang telah teridentifikasi tersebut kita perhatikan dengan seksama, ternyata di dalamnya terkandung rasa menyalahkan kepada orang yang telah memecahkan piring kita. Karena kejadian pecahnya piring kita tersebut bukan karena jatuh atau dibanting, tetapi hanya ketika diletakkan ke atas meja dengan sedikit benturan saja, maka kita pun mulai merasa ditipu oleh penjualnya. Ya, karena kualitas piring keramik yang katanya antik dan kuat tersebut ternyata tidak sepadan dengan harga yang telah kita bayarkan.

Demikianlah contoh perubahan rasa tidak suka yang kemudian berubah menjadi rasa marah. Sampai di sini, jika kita bisa bersikap adil, menurut Ki Ageng, sadar kita terhadap perubahan rasa tidak suka yang menjadi rasa marah itu melahirkan rasa suka yang murni. Yaitu rasa suka yang tidak tercampur oleh rasa tidak suka. Jadi, hanya orang yang bisa bersikap adil dalam melihat perubahan rasa suka dan tidak suka di dalam dirinyalah yang bisa merasakan adanya rasa suka yang murni.

Kembali kepada rasa tidak suka di dalam diri kita terkait dengan contoh piring pecah di atas. Jika rasa tidak suka yang berubah menjadi marah tadi terus diperhatikan dengan seksama, maka akan tampak jelas di situ adanya rasa yang tidak masuk akal, yang oleh Ki Ageng diistilahkan sebagai raos cotho.

Ya, diam-diam di dalam diri kita ternyata terdapat rekaman yang entah sumbernya dari mana yang mengatakan bahwa, “Piringku tidak boleh pecah!” Rasa yang tidak masuk akal tadi merupakan kristalisasi dari rasa kita yang tidak mau dirugikan. Rasa rugi itulah yang menurut Ki Ageng telah memerintahkan kita supaya benci pada piring kita yang pecah.

Sampai sini, Ki Ageng memberikan catatan. Mungkin para pembaca akan berkata, “Rasa-rasa yang cuma seperti itu saja kok dibahas panjang lebar, dari dulu aku juga sudah tahu keberadaannya.

Respon yang demikian itu menurut Ki Ageng bersumber dari rasa bosan. Jika rasa bosan tadi tidak dapat kita kenali sewaktu kita berusaha menyadari pelbagai rasa di dalam diri, maka ia akan mengendorkan semangat kita supaya dapat bersikap adil terhadap segala sesuatu, terutama yang berhubungan dengan perubahan rasa di dalam diri kita sendiri.

Jadi, rasa bosan yang semacam itu tak ubahnya kotoran yang menutupi mata kita, hingga pandangan kita terhadap segala sesuatu menjadi tidak jelas. Wallaahu a’lamu bishshawaab.

NB: Artikel ini hasil kerjasama islami.co dan