Pelajaran menarik dari kemunculan islamofobia di China. Menurut pengamat, masyarakat China pada umumnya kurang menyukai Islam karena umat Islam sering meributkan perkara remeh seperti soal makanan, pakaian, dan lainnya. Kata “Meributkan” ini perlu mendapat perhatian lebih dari kita umat Islam. Ribut di sini berarti debat dan polemik tentang ajaran agama.
Polemik ini akan semakin menguat jika didasari sikap fanatik berlebihan. Orang lain akan merasa dihakimi dan diserang keyakinannya, lalu ia akan merespon dengan melakukan upaya pembelaan atau penolakan. Di sinilah kita perlu mempelajari kembali tentang fenomena “Keributan” yang terjadi di antara sesama umat Islam. Apa sebabnya? Mengapa demikian? Apakah hal itu tidak dapat diarahkan kepada pembentukan sikap yang lebih positif?
Banyak orang menyadari “keributan” itu timbul setelah muncul gerakan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Gerakan yang ingin mengembalikan kemurnian agama Islam sebagaimana kondisi dia datang pertama kali pada abad ketujuh masehi. Gerakan ini menolak praktik taklid, ketundukan tanpa syarat terhadap ajaran agama yang telah menjadi standar ortodoksi selama ratusan bahkan ribuan tahun.
Menurut mereka, hal ini perlu untuk mengembalikan kejayaan Islam. Tetapi, gerakan ini mendapat kritik dari dua sisi. Pertama, kaum tradisionalis yang berpegang teguh terhadap ajaran Islam yang telah mapan. Mereka pada umumnya adalah penganut mazhab hukum dan teologi Islam dominan. Kedua, kaum cendekiawan modern yang melihat gerakan kembali kepada Al Quran dan Sunnah bermasalah karena mengabaikan ilmu pengetahuan baik tradisional maupun modern dalam memahami keduanya. Mereka melihat gerakan kembali kepada Al Quran dan Sunnah sebagai gerakan pembodohan umat. Lebih keras lagi, sebagian sarjana menyebutnya sebagai gerakan vandalisme pengetahuan atau perusakan budaya ilmu pengetahuan.
Kritik yang dilancarkan kepada para pendukung gerakan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, tidak banyak berarti karena dengan keyakinannya mereka tetap menyebarkan agenda mereka di masyarakat Muslim. Di tingkat global, gerakan mereka didukung oleh Pemerintah Kerajaan Arab Saudi, terutama sejak tahun 70 an. Gerakan ini menjadi dapat dikelompokkan menjadi global salafism/salafi global. Jejaringnya melampaui batas batas negara sehingga gerakan ini tergolong gerakan transnasional.
Dalam praktiknya, para pendukung gerakan kembali kepada Al Quran dan Sunnah lebih mengedepankan penggunaan Sunnah dibanding Al Quran. Hal ini menegaskan temuan George Tharabisi dalam buku Min Islamil Quran Ila Islamil Hadits (Dari Islam model Al Quran menuju Islam model hadits). Persoalan utama gerakan ini adalah mencoba membatasi pengetahuan dalam apa yang mereka sebut Sunnah Shahihah. Dalam konteks keterbatasan sumber ini, mereka menerapkan model pemahaman yang tekstualis. Hanya berdasar pada pengertian tekstual sebuah teks hadis Nabi SAW. Terkadang, mereka mengabaikan komparasi antar teks yang memiliki kandungan yang senada atau yang berbeda. Ketika mendapati teks yang berbeda, mereka cenderung menggunakan pendekatan preferensi yang disebut tarjih. Dalam pendekatan ini, satu teks akan diterima secara mutlak dan teks lain akan dieliminasi tanpa diambil sama sekali pesannya. Karena itu, pengamat mengatakan bahwa mereka cenderung mengamalkan satu sunnah tapi tanpa sadar mereka meninggalkan sunnah lainnya (ya’mal bis sunnah wa yatruk as sunnah).
Para pendukung gerakan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah dengan percaya diri terus mengembangkan gerakan mereka semakin luas. Sekalipun patron mereka di Arab Saudi telah mulai meninggalkan gaya keberagamaan yang sempit dan kaku tersebut. Umat Islam perlu disadarkan bahwa memahami hadis itu ada ilmunya. Bukan sekadar ketika mendapati hadis yang diklaim sahih lalu dapat dijadikan dasar ajaran agama. Lebih lebih untuk bersikap terhadap orang lain.
Di sinilah perlunya mempelajari ilmu yang berguna untuk memahami kandungan hadis. Kandungan hadis, sebagaimana terdapat dalam matan sebuah hadis, memiliki keragaman bentuk dan pola. Juga mengandung beberapa hal yang menyebabkan terjadinya kesalahpahaman jika tidak didasari sikap yang penuh kecermatan yang baik. Para ahli hadis klasik sangat memperhatikan hal ini. Sebagian di antaranya menyatakan al hadits mudhillatun illa lil fuqaha, hadis dapat menyebabkan kesesatan kecuali bagi orang orang yang ahli dalam memahami hadis (baca: fuqaha).
Kehati-hatian sangat penting dalam memahami hadis. Agar dapat diberhati hati orang harus membekali diri dengan ilmu pemahaman hadis hadis. Dan tentu saja ilmu matan hadis menjadi bagian tak terpisahkan dari ilmu pemahaman hadis ini. Buku Ilmu Matan Hadis karya M. Khoirul Huda disusun untuk kebutuhan tersebut. Memahami hadis itu ada ilmunya.
*Kalau anda tertarik baca buku ini, silahkan klik di sini