Medio 2019, Uki (eks gitaris) Noah mengaku telah hijrah. Salah satu alasannya adalah ingin memperdalam ilmu agama. Fesyen dan lifestyle-nya pun ikutan berubah. Mula-mula dia mengubah nama menjadi (Uki) Muhammad Kautsar Hikmat. Dia kemudian berdakwah.
Memang, dakwah merupakan tugas setiap umat muslim. Nabi Muhammad sendiri yang bilang bahwa ballighu anni walau ayah (sampaikanlah apapun dariku, kendati tidak musti ndakik-ndakik). Tapi Nabi Muhammad menyampaikan hal itu kepada para sahabatnya, atau generasi Islam awal.
Para Sahabat Nabi lalu menangkap dan menafsir sunnah (habit) Rasul sesuai kapasitas storage yang mereka punya. Ada yang utuh, ada pula yang separuh. Itulah kenapa Nabi Muhammad selalu toleran menyikapi keberagaman umatnya.
Dari para sahabat, risalah dan sunnah Nabi itu mewaris ke para tabi’in, lalu ke tabiut tabi’in, lalu ke pengikut tabi’ut tabi’in, lalu ke ulama. Dalam berdakwah, para ulama memiliki pendekatan teknis yang berbeda-beda. Dan, namanya ulama, dia pastilah seorang yang alim. Alim berarti pintar, atau tangkas, atau cerdas. Karenanya, SOP para ulama ketika berdakwah adalah sama, yaitu bil hikmah, wal mau’idhotil hasanah, wa jadilhum billati hiya ahsan.
Bil hikmah berarti kebijaksanaan. Tetapi kata ‘hikmah’ di sini bisa kita artikan sebagai kebudayaan. Demikian keterangan mendiang Kuntowijoyo dalam buku Muslim Tanpa Masjid. Jadi, dakwah bil hikmah adalah dakwah yang tidak tercerabut dari kebudayaan. Itulah kenapa jika Anda berkunjung ke Masjid Kauman di Yogyakarta atau Masjid Menara Kudus, bentuk arsitekturnya beda dengan Masjid Al-Jihad atau Masjid Al-Ittihad, atau masjid-masjid Al-lainnya.
Baik. Kembali ke Uki Noah. Di media sosial, pernyataan Uki terkait musik mendapat sorotan. Bagi dia, musik adalah haram. Alasannya, musik merupakan pintu maksiat. Uki kemudian mengaku gerah jika mendengar musik di mall dan pesawat.
Pernyataan Uki mungkin saja mengandung kebenaran. Tetapi ia tidak sepenuhnya tepat. Perbedaan pendapat di antara para ulama terkait musik adalah pendapat yang valid. Mu’tabar. Benar bahwa ada dalil yang mensiyalir keharaman musik. Namun, di antara para Sahabat Nabi sendiri, musik rupanya tidak selamanya dihindari.
Abdullah bin Jakfar bin Abi Thalib, umpamanya, pernah mendirikan majelis di dekat para pembantu wanita yang bersenandung dengan alat musik. Bayangkan!! Seorang Sahabat Nabi!! Tinggal di Mekah. Plus, suami dari Sayyidah Zainab, putrinya Rasulullah.
Lalu, kenapa musik bisa haram?
Jadi di masa lalu, umumnya pentas musik adalah identik dengan miras dan skandal sosial. Itulah kenapa jumhur ulama empat mazhab dari kalangan ahlus sunnah wal jama’ah berpendapat bahwa letak keharaman musik bukan pada alatnya, tetapi pada efek yang ditimbulkannnya. Begitu keterangan dari Habib Ali al-Jufri, cucunda Nabi Muhammad.
Jadi, musik itu memang haram kalau orangnya gak bisa main, atau bisa main tapi dimaksudkan untuk ngebunuhin orang kayak Strachmen Apoo. Meski begitu, ada sedikitnya dua hal yang bisa kita catat dari fenomena Uki Noah.
Pertama, dia bukan orang baru di lingkaran selebriti yang mengaku hijrah. Medio 2000-an, Sakti, gitaris Sheila on 7, telah lebih dulu putar balik dari gemerlap industri musik. Saat itu, istilah hijrah belum semeriah hari ini, kendati yang dilakukan oleh Sakti adalah sama secara esensial.
Terus terang, saya kurang tau kapan persisnya istilah hijrah bermula. Meski begitu, terminologi hijrah menjadi semakin populis setelah pasangan selebriti, Teuku Wisnu dan Shiren Sunkar, mengaku bahwa jiwanya gersang sehingga ingin lebih jauh mendalami ilmu agama. Keduanya pun menjadi ideal selebriti hijrah lainnya.
Sejurus kemudian, nama-nama seperti Zaskia Sungkar, Irwansyah, Fenita Arie, Arie Untung, Virgoun, Fahira, Primus, Ricky Harun, Herfiza Novianti, Tommy Kurniawan, Sahrul Gunawan, Dude Herlino, Alyssa Soebandono, wa akhwatuha turut menyemarakkan panggung religiusitas publik figur.
Kedua, baik Uki Noah atau seleb hijrah lainnya pada mulanya adalah anak kandung dari era kapitalisme lanjut. Citra mereka di hadapan publik lahir dari layar kaca dan budaya populer. Ada yang pernah menjadi musisi, pemain sinetron, bahkan pelawak. Bisa dibilang bahwa masa lalu mereka telah kenyang dalam melayani kepentingan pasar.
Di sini, hijrahnya para selebriti bisa kita baca dalam kerangka bahwa mereka sebetulnya masih melayani ideologi yang sama, kendati dengan wajah yang berbeda. Para selebriti itu boleh saja mengaku lebih agamis, tetapi mereka akan sungkan berhijrah jika urusannya adalah terasing dari followers. Maka, dakwah menjadi semacam field of battle baru untuk menguji sekaligus mengejawantahkan kapital simbolik (baca: popularitas) yang mereka punya.
Biasanya, konten-konten kajian dakwah seleb hijrah berisi ceramah tentang persoalan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari. Mereka mengklaim bahwa materi dakwahnya merujuk langsung kepada Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad. Lebih dari itu, konten berupa fragmen pengalaman dan proses hijrah tak lepas dari menu utama mereka. Dan, penggunaan berbagai platform media baru seperti Instagram dan Youtube dalam aktivitas dakwah menjelaskan pasar utamanya, yaitu masyarakat muda (kelas menengah) muslim urban.
Pertanyaannya, apa yang sebetulnya diharapkan dari aktivitas dakwah seleb hijrah?
Kalau alasannya adalah mendakwahkan Islam semata, tentu saja jawaban ini kurang memuaskan. Sederhana saja, populasi umat Islam di Indonesia sudah kelewat melimpah ruah.
Maka, alternatif jawaban yang lebih make sense di sini adalah bahwa dakwah seleb hijrah itu sebetulnya sedang merepresentasikan corak keislaman tertentu, sehingga keberadaan mereka bisa kita baca sebagai upaya untuk meramaikan panggung berebut tafsir keislaman. Dan, persoalan ini sebetulnya pernah didiskusikan oleh Ariel Heryanto saat mendedah topik “islamisasi” di buku Identitas dan Kenikmatan.
Islamisasi, oleh Ariel, dimengerti sebagai sebuah proses yang kompleks, melibatkan berbagai kelompok muslim yang berbeda dan belum tentu saling setuju dalam banyak hal. Uniknya, tidak ada satu pun pihak yang mengendalikan secara penuh proses islamisasi tersebut.
Dalam konteks dakwah seleb hijrah, mereka berada di sebuah arena yang sebetulnya terlalu ‘berisiko’. Keberadaan para pegiat dakwah yang menggunakan platform media baru—baik dari kalangan selebriti hijrah maupun pendakwah mualaf—secara tidak langsung sedang menantang otoritas keagamaan konvensional yang telah ada sebelumnya dan berbasis di majelis-majelis pengajian luring atau pesantren. Tegangan antara keduanya pun menjadi niscaya.
Apa yang dikatakan oleh Uki Noah berkaitan dengan hukum musik di awal tulisan ini adalah salah satu contohnya. Atau, tegangan serupa juga sempat terjadi ketika 2015 lalu Teuku Wisnu mengatakan bahwa mengirim Al-Fatihah untuk mayit hanyalah bid’ah yang diada-adakan.
Meski begitu, adanya fenomena seleb hijrah yang kemudian menjadi pendakwah ini sekaligus menunjukkan gejala lain, yaitu mencairnya otoritas keagamaan di level media baru. Sekarang, umat tau kalau ulama itu ada. Tapi ulama ada di mana-mana. Ulama ada di Youtube, di Spotify, di Facebook, di Instagram, di Twitter, di televisi, di radio, di baliho (iklan umroh), dan di masjid.
Jadi, kata kunci penting dalam menentukan sukses tidaknya dakwah hari ini adalah seberapa jauh orang bisa menciptakan apa yang oleh Bourdieu disebut sebagai ‘dominasi simbolik’. Ilustrasi ekstremnya mungkin begini: di masa depan, umat akan tidak lagi peduli terhadap latar belakang sosial, budaya, dan intelektual seorang pendakwah, tetapi yang pertama-tama dilihat adalah berapa “K” followers dan subscribers akun medsosnya, atau apakah akun medos si pendakwah centang biru atau tidak.