Di momen lebaran, memakai pakaian terbaik saat Idul Fitri bukan lagi sekedar anjuran atau amalan sunnah. Hari ini, frasa “pakaian terbaik” telah mengalami evolusi pemaknaan menjadi baju baru buat lebaran.
Entah sejak kapan dan bagaimana perubahan diksi tersebut melebur di masyarakat muslim. Yang jelas, kita seolah sudah terbiasa menafsirkan “pakaian terbaik” tersebut dengan “baju baru”. Malahan, medio 1990-an, ada lagu yang dinyanyikan oleh Dhea Ananda berjudul “Baju Baru”.
Baju baru sudah dianggap bagian dari tradisi hari raya lebaran. Kendati anjuran para ulama dan otoritas lainnya untuk tetap sederhana dan tidak perlu baju baru, namun ia sudah menjadi tradisi yang melekat dan hidup dalam masyarakat muslim, wa bil khusus di kalangan kelas menengah muslim.
Pasar pun turut merespon geliat konsumsi ini. Setiap mendekati akhir Ramadan, pasar dan mall disesaki para pembeli untuk berburu diskon membeli baju baru buat dipakai di hari raya nanti. Bahkan, tidak jarang menimbulkan antrian dan berjejal di sebagian tempat perbelanjaan tersebut.
Baju yang dijual pun semakin beragam dan tidak terbatas untuk perempuan saja, yang biasanya menjadi target awal produk fashion. Lebaran menjadi ajang jualan untuk perempuan dan laki-laki. Rasanya, sulit untuk menemukan orang yang tidak membeli baju baru atau khusus yang dipakai pada momen Idul Fitri.
Menariknya, semakin ke sini, baju hari raya mulai menuju tren unik selain muncul dengan berbagai model, yakni seragam. Dulu diksi “Couple-an” populer untuk merujuk pakaian senada untuk pasangan saja. Hari ini, keseragaman mulai merambah ke ranah keluarga. Bahkan, tidak saja suami, istiri, dan anak saja, namun juga keluarga besar mulai memakai baju seragam atau senada.
Entah bagaimana kesepakatan seragam tersebut diambil, namun sepertinya kemungkinan besar keseragaman di baju hari raya ini sangat dipengaruhi oleh popularitas media sosial. Iya, foto keluarga memakai baju seragam sepertinya dimaksudkan untuk dipajang di layanan jejaring sosial. Keluarga yang memakai baju senada atau seragam “dinilai” menarik dan bagus.
***
Bagi masyarakat Banjar, misalnya, mereka sering memakai istilah “Baju Top” untuk menyebut pakaian pria Arab atau akrab disebut dengan “Gamis”. Dulu, selain dipakai saat kedatangan dari tanah suci Mekah, para haji memakai baju tersebut untuk momentum hari raya, baik Idul Fitri atau Idul Adha. Mereka yang belum pernah naik haji biasanya segan memakai baju “gamis” tersebut.
Namun, hari ini baju top tersebut tidak lagi dibatasi oleh status haji atau tidak. Para santri hingga jemaah majelis taklim sekarang banyak yang memakai pakaian tersebut. Saya pun sempat mendapati anak muda yang memakai baju top sembari nongkrong di sebuah kafe, sembari meminum segelas Macha Latte ukuran Venti. Dari apa yang terjadi di sini, kita bisa melihat bahwa pakaian sebagai salah satu produk budaya tentu dapat mengalami perubahan, mulai dari makna hingga imaji yang menyertainya.
Baju hari raya pun bernasib sama. Baju terbaik di hari raya yang hari ini diasosiasikan sebagai baju baru tentu bisa saja mengalami perubahan, pergeseran, modifikasi, bahkan negosiasi lagi. Baju hari raya yang semakin berwarna dan seragam adalah bentuk dari perubahan tersebut.
Sebelum ke persoalan keseragaman di baju hari raya, fenomena di atas sebenarnya selaras dengan apa yang disebut oleh Elizabeth Bucar, akademisi asal Amerika, dengan istilah “Pious Fashion (baca: Busana Saleh)”. Pendapat Bucar ketika mengkonstruksi diksi tersebut bisa memberikan pencerahan kepada kita, bagaimana model-model pakaian yang muncul di masyarakat muslim adalah proses rumit yang tidak bisa hanya dijelaskan dari sisi ajaran agama belaka.
Bucar sangat menyadari bahwa kesalehan dan fashion sangat sulit dicocokan, di mana mode sering dianggap sebagai cara untuk mengekspresikan keinginan materialistis, sedangkan kesalehan adalah mekanisme yang melaluinya keinginan yang tidak terkendali dapat ditekan.
Tetapi Bucar melihat dari kedua diksi tersebut tidak bertentangan, melainkan saling menginformasikan satu sama lain, terlebih ketika digunakan bersama, maka akan sangat membantu kita memahami kompleksitas praktik busana Muslim yang sebenarnya, termasuk di kalangan perempuan, sebagaimana kasus penelitian Bucar. Pakaian saleh modis, menurut Bucar, tidak hanya soal konsumsi materialistik, namun kesalehan tidak serta merta menghapus relasi tubuh dalam imaji manusia.
***
Di tengah tren visual semakin memuncak, video dan foto menjadi konsumsi utama netizen. Momen hari raya juga dirayakan di dunia maya, termasuk media sosial, dengan mengunggah foto atau video. Kemacetan di berbagai ruas jalan, perjalanan mudik, buka puasa terakhir, acara sungkeman, hingga foto keluarga ketika lagi berkumpul.
Foto kumpul keluarga inilah kemudian dijadikan meme atau foto dihiasi lewat twibbon khusus, dan diunggah di media sosial. Menariknya, di tengah tren ini, keseragaman dipilih oleh sebagian netizen, yang terlihat dalam foto dan video yang diunggah. Mengapa faktor keseragaman digunakan cukup massif di masyarakat muslim, terutama di perkotaan?
Saya tidak mendapatkan jawaban dari pertanyaan di atas. Namun, saya melihat di momentum tersebutlah seragam baju hari raya mendapatkan salah satu makna terbesarnya, yakni penanda relasi atau ikatan kuat dalam keluarga tersebut, selain faktor kerapian dan kemewahannya.
Baca Juga, Pengalaman Toleransi Agama dari Semarang: Saling Berkunjung di Hari Raya sampai Bebersih Vihara
Terlepas dari itu semua, keseragaman adalah politik yang pernah digunakan Orde Baru untuk merepresi pemikiran yang berbeda di masyarakat Indonesia. Bahkan, kita sejak kecil “dipaksa” untuk disiplin dalam seragam, mulai dari pakaian hingga tindak tanduk.
Setelah keruntuhan Orde Baru, apakah makna seragam tersebut tetap dalam model represi? Entahlah, namun, hari ini kita melihat keseragaman di ruang-ruang privat, seperti baju couple pasangan remaja atau pakaian seragam ketika resepsi pernikahan.
Hingga hari ini, saya belum menemukan penjelasan fenomena seragam baju hari raya dengan cukup komprehensif. Apakah ini sisa dari pola pikir yang ditinggalkan oleh Orde Baru? Entahlah!!