Memahami Cara Kerja Dunia Lewat Kisah Anak Kecil yang Dijadikan “Hewan Peliharaan” oleh Kawannya

Memahami Cara Kerja Dunia Lewat Kisah Anak Kecil yang Dijadikan “Hewan Peliharaan” oleh Kawannya

Hidup di dunia memang memerlukan dunia. Kita tetap harus mencarinya dengan sekuat tenaga. Namun, kita harus paham jika ini semua hanyalah sementara.

Memahami Cara Kerja Dunia Lewat Kisah Anak Kecil yang Dijadikan “Hewan Peliharaan” oleh Kawannya

Suatu hari, Fath al-Maushuli pernah melihat dua orang anak yang sedang membawa roti. Anak A membawa roti dengan olesan madu di atasnya. Sedangkan anak B, madu yang ia bawa berbeda. Di atas madu itu, terdapat semacam acar.

Agaknya, anak B berhasrat untuk mencicipi roti yang dimiliki anak A (roti dengan olesan madu). Ia berkata, “Berilah aku sedikit rotimu!”.

“Oke,” jawab anak A.

“Tapi dengan satu syarat, asalkan kamu mau menjadi anjingku,” lanjutnya mengajukan syarat. Syarat itu pun disanggupi oleh anak B. Si anak A pun memberikan sedikit rotinya kepada si B.

Si anak A pun kemudian memasang tali di leher anak B, lantas menuntunnya. Melihat prilaku anak B itu, Fath al-Maushuli menasihati, “Andai kamu ridla (rela) dengan rotimu sendiri, maka kamu tak akan menjadi anjing anak (A) ini”.

Kisah di atas termaktub dalam kitab Hilyah al-Awliya’ wa Thabaqah al-Ashfiya’ karya Abu Na’im Ahmad bin Abdillah Al-Ashfahani. Kisah ini diceritakan oleh Abu Musa Imran bin Musa al-Thararusi kepada Ibrahim bin Muhammad bin al-Hasan. Setelah menceritakan kisah kedua anak itu, Abu Musa berkata, “Begitulah dunia”.

Kisah di atas mengajarkan bahwa seseorang hendaknya selalu merasa cukup dengan apa yang ia miliki, tidak melihat kepunyaan orang lain. Pasalnya, setiap orang mememiliki jatah masing-masing, yang satu dengan lainnya pasti berbeda. Dan ini yang paling penting, dunia hanyalah titipan dan permainan belaka.

Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ وَاخْشَوْا يَوْمًا لَا يَجْزِي وَالِدٌ عَنْ وَلَدِهِ وَلَا مَوْلُودٌ هُوَ جَازٍ عَنْ وَالِدِهِ شَيْئًا إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ

“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutlah pada hari yang (ketika itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya, dan seorang anak tidak dapat menolong (pula) menolong bapaknya sedikit pun. Sungguh, janji Allah pasti benar, maka janganlah sekali-kali kamu terperdaya oleh kehidupan dunia, dan jangan sampai kamu terpedaya oleh penipu dalam (menaati) Allah.”  (QS. Luqman [31]: 33)

Dalam tafsir al-Muntakhab dijelaskan, ayat ini merupakan perintah untuk mengerjakan perintah dan menjauhi larangan Allah serta perintah untuk takut terhadap siksa di hari kiamat kelak. Oleh karenanya, jangan sampai kemewahan dunia jangan sampai mengalihkan fokus seseorang dari mempersiapkan kehidupan di akhirat kelak. Juga, jangan sampai tipu daya mengelabuhi kita.

Dari tafsir ini, kita bisa memahami bahwa intinya adalah jangan sampai kehidupan dunia sampai melupakan seseorang dari tujuan utama kehidupan Islami, yakni kehidupan akhirat.  Kehidupan dunia hendaknya “hanya” dijadikan sebagai sarana untuk meraih akhirat.

Tentang dunia, Fudhail bin Iyadl mengatakan, “Allah menjadikan seluruh keburukan dalam sebuah rumah dan menjadikan kuncinya berupa cinta dunia. Dia juga menjadikan semua kebaikan dalam sebuah rumah dan menjadikan kuncinya berupa zuhud terhadap dunia.”

Cinta dunia merupakan pintu masuk terhadap segala kerusakan. Oleh karenanya, berangkat dari apa yang dikatakn Fudhail di atas, satu-satunya solusi adalah dengan zuhud terhadap dunia. Apa zuhud itu?

Sufyan al-Tsauri mengatakan, “Zuhud bukanlah makan makanan kasar (tidak lezat) dan mengenakan pakaian yang kasar pula (tidak nyaman). Namun zuhud adalah memendekkan angan-angan dan menunggu (mempersiapkan) kematian”.

Walhasil, hidup di dunia memang memerlukan dunia. Kita tetap harus mencarinya dengan sekuat tenaga. Namun, kehidupan dunia hanyalah sementara. Tujuan utama manusia hidup sejatinya adalah untuk mempersiapkan kehidupan setelahnya. Wallahu a’lam.

 

Sumber:

Abdirrahman, Yasir. Mausu’ah al-Akhlaq wa al-Zuhd wa al-Raqaid. Kairo: Muassasah Iqra’, 2007.

Al-Ashfahani, Abu Na’im Ahmad bin Abdillah. Hilyah al-Awliya wa Thabaqat al-Asfiya’. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, n.d.

Al-Azhar, Tim Lajnah Ulama. al-Muntakhab fi Tafsir al-Qur’an al-Karim. Mesir: al-Majlis al-A’la, 1995.

Al-Thayyar, Ahmad bin Nashir. Hayah al-Salaf. Riyadl: Dar Ibn al-Jauzi, 1433.