Memahami Al-Qur’an Tidak Cukup dengan Kecerdasan, Tapi Juga Butuh Ketulusan

Memahami Al-Qur’an Tidak Cukup dengan Kecerdasan, Tapi Juga Butuh Ketulusan

Memahami Al-Qur`an tidak semata-mata ditentukan oleh seberapa banyak pengetahuan dan kecerdasan yang dimiliki oleh seseorang, melainkan juga sejauh mana ketulusan orang tersebut dalam membaca dan mempelajari Al-Qur`an serta sejauh mana mereka mengamalkan berbagai pengetahuan yang telah didapatkannya.

Memahami Al-Qur’an Tidak Cukup dengan Kecerdasan, Tapi Juga Butuh Ketulusan
Al-Qur’an

Seluruh umat Islam bahagia dengan datangnya bulan Ramadhan, bulan di mana Allah SWT mengobral Rahmat dan Ampunan bagi orang beriman. Tak ayal, setiap muslim berlomba-lomba untuk mengerjakan amal saleh, mulai dari bersedekah, menghidupkan malam hari dengan membaca Al-Qur`an, hingga mengerjakan shalat-shalat sunnah, seperti tarawih, witir, tahajud, dan lainnya.

Membaca Al-Qur`an menjadi salah satu amal sholeh yang digemari. Kita pasti sering menjumpai teman atau kerabat kita yang berlomba-lomba mengkhatamkan Al-Qur`an, bahkan tak jarang mereka membuat target berapa kali ia harus mengkhatamkan Al-Qur`an di bulan Ramadhan. Di mushola atau masjid, digelar pula tadarus secara bergantian yang diikuti warga sekitar, mulai dari anak-anak hingga orang tua. Bahkan, di desa tempat tinggal penulis, setiap rukun tetangga (RT) memiliki majlis tadarus Al-Qur`an masing-masing.
Tingkatan Orang dalam Memahami Al-Qur`an

Al-Qur`an tidak hanya berisi tentang hukum-hukum yang mengatur hubungan hamba dengan Tuhannya (ibadah), melainkan juga terkandung nilai-nilai moral dan hikmah yang dapat dipetik dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai pedoman dalam hubungan sesama hamba (muamalah).

Namun, karena Al-Qur`an adalah sebuah teks yang pasif, berbagai nilai dan hikmah yang terkandung di dalamnya tidak dapat muncul kecuali dengan dipahami dan digali oleh manusia sebagai pembaca. Sehingga, untuk menggalinya, tidak dapat dilakukan hanya dengan membaca sekilas tanpa berusaha memahami maknanya.

Sahl bin Abdillah Al-Tustari (w. 283 H), salah seorang sufi besar di masa awal perkembangan tasawuf, dalam muqaddimah tafsirnya membagi orang-orang yang memahami Al-Qur`an menjadi tiga tingkatan. (Al-Tustari, Tafsir al-Qur`an al-‘Adzim, h. 77-78)

Pertama, mereka yang dikaruniai pemahaman Al-Qur`an, karena mengamalkan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang oleh Allah dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan mereka membaca Al-Qur`an bukan dalam rangka memperindah bacaan dengan suara yang merdu, melainkan sebagai upaya meraih karunia dari Allah berupa pemahaman terhadap segala perintah dan larangan-Nya. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam hadis Nabi SAW yang artinya:

“Barangsiapa yang mengamalkan apa yang diketahuinya, niscaya Allah SWT akan menganugerahkan kepadanya pengetahuan yang ia belum mengetahuinya.”

Kedua, mereka yang tidak hanya mengamalkan apa yang diketahuinya, melainkan juga senantiasa memohon pertolongan Allah serta bersabar dalam menjaga adab seorang hamba kepada Allah. Tingkatan ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan tingkatan sebelumnya. Hanya saja, mereka yang berada pada tingkatan ini, sekalipun mereka mampu untuk mengamalkan apa yang diketahuinya, mereka tetap memohon pertolongan kepada Allah dalam pengamalannya, ini merupakan bentuk tawadhu’ seorang hamba dalam rangka memuliakan Rabbnya.

Ketiga, mereka yang dikaruni pemahaman Al-Qur`an oleh Allah, yakni para khas dan wali. Di sini bukan berarti pemahaman yang ada pada dua tingkatan sebelumnya bukan sebuah karunia dari Allah, melainkan kekhususan pada tingkatan ini adalah pemahaman Al-Qur`an yang diperoleh para wali bukan merupakan hasil tadabbur, melainkan hasil dari riyadhah yang telah ditekuninya sehingga kemudian Allah melimpahkan pemahaman ke dalam hatinya tanpa melalui proses tadabbur.

Tingkatan ketiga inilah yang merupakan tingkatan tertinggi, hatinya bersih dari segala kecintaan terhadap dunia, sekalipun Allah mengaruniakan dunia, mereka akan “mengembalikan”nya. Artinya, dunia yang mereka dapatkan tidak membuat mereka terkesima terhadapnya, melainkan justru terhadap Zat yang Menciptakannya, yaitu Allah SWT. Bahkan surga pun bukan tujuan mereka, karena hanya ada satu tujuan: mendapatkan Ridha-Nya.

Demikianlah bagaimana seseorang mampu memahami Al-Qur`an. Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa pemahaman terhadap Al-Qur`an tidak semata-mata ditentukan oleh seberapa banyak pengetahuan dan kecerdasan yang dimiliki oleh seseorang, melainkan juga sejauh mana ketulusan orang tersebut dalam membaca dan mempelajari Al-Qur`an serta sejauh mana mereka mengamalkan berbagai pengetahuan yang telah didapatkannya. Wallahu a’lam.