Beberapa waktu lalu, saya berselancar di lini masa Twitter. Biar terbawa hanyut saja sekalian sebelum tidur. Tetapi mungkin memang saya sedang diberi wangsit untuk melihat tweet mbah Sujiwo Tejo di linimasa.
Pagi. Kitab Suciku adalah Hati Nuraniku. Kalau menurut kitab suci tertulis A, tp menurut hati nuraniku B, aku mengikuti B, dan yakin bahwa kitab suci tetulis sejatinya jg bilang B tp tafsir2 dan perbedaan nuansa bahasa bebagai zaman membuatnya terkesan A.
— Jack Separo Gendeng (@sudjiwotedjo) 19 Desember 2017
“Pagi. Kitab Suciku adalah Hati Nuraniku. Kalau menurut kitab suci tertulis A, tp menurut hati nuraniku B, aku mengikuti B, dan yakin bahwa kitab suci tertulis sejatinya B tp tafsir2 dan perbedaan nuansa bahasa bebagai zaman membuatnya terkesan A.”
Itu adalah tweet pada tanggal 20 Desember 2017, sudah cukup lama memang. Tweetnya seperti yang ada di gambar tersebut, namun karena menurut saya isinya memberikan momen eureka kepada saya, saya screenshoot saja dan simpan di galeri.
Lantas muncul pertanyaan: Apa dasar si mbah tahu bahwa jangan-jangan kitab tertulis juga bilang yang sama dengan nuraninya? Apa ini namanya bukan beragama dengan angan-angan? Lah lalu kenapa ada kitab suci, kalau akhirnya hidup bisa semau nurani kita? Dan pertanyaan lain-lainya yang membuat saya jadi ngantuk.
Tetapi kemudian saya menyadari betapa pentingnya menggunakan akal dan nurani yang Tuhan berikan ini ketika membaca ayat-ayatNya. Itu dikarenakan beberapa peristiwa yang membuat saya menuliskannya di sini.
Pertama, seorang kawan bertanya tentang pekerjaannya di Bank yang menurut sebagian pendapat merupakan tempat riba. Ia merasa ragu-ragu dan khawatir tentang posisinya sebagai suami dan ayah yang harus memberi makan anak-istrinya dengan uang yang meragukan. Ia khawatir menjadi pelaku riba. Sembari mengutipkan hadis “Allah melaknat orang yang memakan riba, yang memberi makan dengannya, kedua saksinya, dan penulisnya, lalu beliau bersabda, “mereka semua itu adalah sama.” Ia bertanya kepada saya apakah dirinya salah dan apa yang harus dia lakukan.
Saya sebagai orang yang sangat simpel inginnya bilang kepada dia, “Sekarepmu lur! Hidup itu hidupmu. Kalau ngerasa takut ya berhenti, tapi kalau lebih takut anak istri kelaparan, ya mending jangan berhenti.” Tapi rasanya saya tidak mungkin juga berkata begitu, saya mesti sabar dan penuh kasih sayang supaya bisa dianggap sebagai ustaz yang pengertian.
Akhirnya saya bertanya balik kepada dia, “Apa kamu merasa sedang melakukan riba?” kemudian dia menjelaskan berbagai detail pekerjaannya panjang lebar. Ia meminta saya memahami job desk pekerjaannya, dan bagaimana ia harus menghitung-hitung uang yang keluar masuk bank. Tetapi saya tidak beralih, saya hanya bertanya lagi kepadanya, “apa kamu merasa sedang melakukan riba?”
Dia diam agak lama setelah itu, kemudian dia bilang, “Ya engga sih..tapi kan…” saya menyetop dia bicara dengan menempelkan telunjuk saya di bibirnya, eh di bibir saya. Kemudian saya bilang, “Ya wis, itu saja sudah patokannya. Pakai saja perasaanmu, kalau dengan berbagai pikiran kamu tidak bisa menarik kesimpulan, tajamkan perasaanmu, kalau kamu merasa kerjamu tidak merugikan orang dan kamu tidak sedang melakukan kezaliman, ya sudah.”
“Tapi bagaimana hadis yang tadi?”
“Kalau kamu memang merasa tersindir hadis tadi, keluar kerja saja sudah.”
Kemudian dia diam.
Saya merasa slogan kembali ke Quran dan hadis sebagai pedoman hidup itu kok tidak diiringi menggunakan akal dan hati ketika membacanya. Kitab suci itu jadi seperti kitab larangan, bukan petunjuk, oh lupa, kitab suci memang hanya menjadi petunjuk untuk mereka yang mau berpikir. Tapi intinya, kita ini dikasih akal ya sebaiknya dipakai, jangan diawet-awet, toh hidup juga sebentar saja.
Tentang akal ini juga mengingatkan saya pada peristiwa ke dua, di mana ini terjadi beberapa tahun lalu ketika saya masih duduk di bangku kuliah bersama kawan-kawan. Kemudian salah seorang kawan saya bertanya pada pak dosen, “Pak, katanya segala hal tentang alam semesta ini ada keterangannya di dalam Al Quran, tetapi kok tidak ada tata cara membuat cireng, membuat bakso, dan semacamnya?” saya tidak tahu bagaimana awalnya dan kenapa kawan saya itu bertanya begitu, tetapi pokoknya tidak ada yang marah di ruangan itu, dan kami semua tertawa.
Pak dosen tersenyum sedikit kemudian membuka kacamatanya dan duduk di kursi. “Sebetulnya tata cara membuat cireng atau martabak itu ada di dalam Al Quran.” Dia memulai, kami semua diam. Meskipun saya bukan hafiz atau hafiz cilik RCTI, tetapi saya yakin bahwa saya tidak pernah menemukan kata martabak di dalam Quran. Kemudian kawan saya bertanya, “Yang mana ayatnya pak?” sepertinya kali ini ia betulan bertanya.
Dosen saya menjawab, “Ayatnya ya itu, afala tatafakkarun? Sudah dikasih akal, bikin cireng saja nanya! Mikir dong!” pak dosen kembali memakai kacamatanya dan berdiri lagi menghadap papan tulis. Kami pun cekikikan.
Wal hasil, dari dua peristiwa itu saya merasa kita betul-betul harus memakai akal dan hati dalam memahami baik Quran maupun hadis. Menajamkan nurani agar tidak menelan ayat-ayat Tuhan sesukanya. Maka suatu hari Cak Nun pernah bilang di Youtube, “Alat utama untuk menjadi manusia di bumi ini bukan Quran, bukan Hadis, tapi akal! Karena baik Quran maupun Hadis, keduanya perlu ditafsir, atau ditadabburi dengan akal dan nurani kita.”