Meluruskan Pemahaman Amar Ma’ruf Nahi Munkar yang Sering Disalahpahami (Bag-3 Habis)

Meluruskan Pemahaman Amar Ma’ruf Nahi Munkar yang Sering Disalahpahami (Bag-3 Habis)

Meluruskan Pemahaman Amar Ma’ruf Nahi Munkar yang Sering Disalahpahami (Bag-3 Habis)

Ibnu Taymiyyah seperti telah dijelaskan dalam artikel sebelumnya menolak cara-cara kekerasan dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Tak hanya itu, Ibnu Taymiyyah yang merupakan salah seorang ulama yang menjadi rujukan gerakan-gerakan ekstremis radikalis ini malah menyaratkan dalam pelaksanaan amar ma’ruf dan nahi munkar ini adanya pertimbangan kemaslahatan bersama yang jika dilakukan tidak akan menimbulkan mudarat yang lebih besar dari kemungkarannya.

Pandangan ini tentu jauh dari kata kekerasan dan kebencian. Ini tentu prakteknya berbeda sekali dengan yang kita lihat pada gerakan-gerakan ekstremis yang menjadikan Ibnu Taymiyyah sebagai rujukan dalam pemikiran-pemikiran mereka. Kenapa Islam yang merupakan agama pembawa kedamaian malah dibawa oleh pengikutnya ke arah tindakan-tindakan anarkis dan teroris?

Mungkin jawaban yang sering dikemukakan ialah karena ingin mengubah kemungkaran.

Padahal mengubah kemungkaran, dan ini menurut kami sudah semacam kesepakatan di kalangan ahli fikih, ialah tugasnya “Imam” atau Negara, bukan tugas individu ataupun ormas. Para ahli fikih beralasan bahwa tiap individu atau organisasi memiliki cara pandang sendiri terkait apa itu kemungkaran. Boleh jadi menurut kelompok tertentu suatu perbuatan dianggap kemungkaran namun bagi kelompok lain bukan.

Bisa jadi bagi suatu organisasi keagamaan memandang suatu amalan sebagai mubah sementara organisasi keagamaan lainnya memandangnya sebagai wajib. Karena itu  mengubah kemungkaran tidak boleh  dilakukan oleh individu atau kelompok tertentu. Kalau tugas mengubah kemungkaran ini diserahkan ke individu atau ormas tertentu bisa kacau Negara.

Misalnya Syiah ingin mengubah pandangan yang menurut mereka “munkar” dalam akidah Ahlu Sunnah dan kalau juga sebaliknya, Sunni ingin mengubah pandangan yang menurut mereka “munkar” dalam akidah Syiah. Kalau ini terus dilakukan, tentunya umat Islam akan terus menerus mengalami perang saudara. Memang “Kalau-kalau” di sini bukan sekedar kalau, tapi sudah menjadi kenyataan sejarah sendiri dari sejak perang Siffin sampai sekarang, sejak 14 abad yang lalu.

Konflik yang tiada henti antara sunni dan syiah sampai saat ini ialah terletak pada soal kehendak ingin mengubah apa yang menurut masing-masing sekte Islam ini sebagai “kemunkaran”. Karenanya, salah satu motif kelompok Jihadis Suriah (ISIS misalnya) dalam membangkang terhadap pemerintahan al-Assad ialah karena mereka melihat apa yang dalam pandangan mereka sebagai “kemungkaran” Syiah yang dianut Assad. Di sinilah untuk mengubah kemungkaran tersebut, jihad melawan sesama muslim terjadi. Ini tentu menimbulkan kekacauan, bukan malah sebaliknya.

Baiklah untuk melihat bagaimana praktek amar ma’ruf nahi munkar ini diterapkan, Ibnu Qayyim al-Jawziyyah dalam karyanya I’lam al-Muwaqqi’in menegaskan kembali pandangan gurunya, Ibnu Taymiyyah yang berbasis maslahat:

إنكار المنكر أربع درجات : الأولى: أن يزول ويخلُفُه ضدُّه. الثانية: أن يقل وإن لم يزل بجملته. الثالثة: أن يخلُفَه ما هو مثُلُه. الرابعة: أن يخلفه ما هو شر منه. فالدرجتان الأوليَاَنِ مشروعتان، والثالثة موضع اجتهاد، والرابعة محرمة

“Ada empat tingkatan dalam mengubah kemungkaran: pertama, kemungkaran harus lenyap dan digantikan dengan kebalikannya, yakni yang ma’ruf; kedua, kemungkaran harus diminimalisir, meski  sebagian besarnya masih tetap ada; ketiga, kemunkaran harus diganti dengan kemungkaran serupa; keempat, kemungkaran harus diganti dengan yang lebih mungkar lagi. Dua tingkatan pertama sesuai dengan syariat. Yang ketiga masih dalam ranah ijtihad. Sedangkan yang keempat, diharamkan.”

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah kemudian menambahkan:

فإذا رأيت أهل الفجور والفسوق يلعبون بالشطرنج كان إنكارك عليهم من عدم الفقه والبصيرة إلا إذا نقلتهم منه إلى ما هو أحبّ إلى الله ورسوله كَرَمْي النشَّاب وسباق الخيل ونحو ذلك. وإذا رأيت الفساق قد اجتمعوا على لهو ولعب أو سماع مُكاءَ وتَصْدِية (صفير) فإن نقلتهم عنه إلى طاعة الله فهو المراد، وإلا كان تركهم على ذلك خيراً من أن تفرغهم لما هو أعظم من ذلك، فكان ما هم فيه شاغلاً لهم عن ذلك، وكما إذا كان الرجل مشتغلاً بكُتُب المجون ونحوها وخِفْتَ من نقله عنها انتقاله إلى كتب البدع والضلال والسحر فَدَعْهُ وكتبه الأولى

 “Jika engkau melihat orang fasik bermain catur lalu engkau berusaha untuk menegur, teguran engkau ke mereka itu ialah berasal dari ketidakpahaman soal fikih. Kecuali, jika engkau bisa mengalihkan mereka ke kegiatan yang lebih disukai oleh Allah dan Rasulnya seperti berlatih memanah, balapan kuda dan seterusnya. Jika engkau melihat orang fasik sedang kumpul berfoya-foya dan lain-lain, dan bisa mengalihkan mereka kepada ketundukan kepada Allah, ini tentu yang dimaksud dalam agama. Jika tidak bisa mengalihkan mereka, membiarkan mereka tetap berbuat seperti itu ialah lebih baik daripada akan berdampak kepada mudarat yang lebih besar. Tindak tanduk seperti itu memang merupakan sudah kebiasaan mereka jadi biarkan saja. Ini sama seperti halnya jika ada seorang laki-laki yang sibuk membaca buku cerita-cerita yang tak berguna dan lain-lain dan engkau khawatir jika mencoba menegurnya, dia malah beralih membaca buku-buku bi’dah, kesesatan dan sihir. Jadi biarkan saja dia seperti itu.”

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah kemudian menambahkan lagi:

فإذا كان إنكار المنكر يستلزم ما هو أنكر منه وأبغض إلى الله ورسوله فإنه لا يسوغ إنكاره، وإن كان الله يبغضه وأهله. وهذا كالإنكار على الملوك والوُلاَة بالخروج عليهم؛ فإنه أساس كل شر وفتنة إلى آخر الدهر. وقد استأذن رسولَ الله في قتال الأمراء الذين يؤخرون الصلاة عن وقتها، وقالوا: أفلا نقاتلهم؟ فقال: لا، ما أقاموا الصلاة». وقال: «مَنْ رأى من أميره ما يكرهه فليصبر ولا ينزعَنَّ يداً من طاعته»

“Jika menegur adanya kemungkaran akan mendatangkan hal yang lebih mungkar dan lebih dibenci lagi oleh Allah, janganlah engkau lakukan, meski di mata Allah kemungkaran seperti itu dan para pelakunya paling dibencinya. Ini ibarat usaha mengubah kemungkaran yang dilakukan oleh raja dan gubernurnya dengan cara memberontak kepada mereka. Pemberontakan kepada pemerintah ialah sumber kejahatan dan malapetakan sampai hari kiamat nanti. Ada sahabat yang meminta izin Nabi untuk memerangi para pemimpin yang mengakhirkan shalat dari waktunya, dan para sahabat itu menawarkan: haruskah kita perangi mereka ya Rasulallah? Rasul menjawab: tidak, selagi mereka mendirikan shalat.” Dan nabi kemudian bersabda: “barangsiapa yang melihat pemimpinnya melakukan perbuatan yang dibenci, bersabarlah dan jangan sampai dia melepaskan ketaatan kepadanya.”

Ibnu Qayyim sama seperti para ahli fikih lainnya memiliki pandangan yang seolah ingin mempertahankan dan melegitimasi status quo. Pandangan seperti bukan tanpa alasan. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah membandingkan kondisi adanya negara yang menjamin stabilitas keamanan dan kondisi ketiadaan negara yang berdampak kepada kekacauan.

Atas dasar ini, para ahli fikih mempertimbangkan salah satu di antara dua mudarat yang lebih ringan sesuai dengan kaidah yang ada dalam kitab-kitab Qawaid Fiqhiyyah: yakni, memilih bersikap apatis ketika melihat kemunkaran yang dilakukan pemerintah daripada memberontak yang berujung pada kekacauan. Fatwa ketidakbolehan memberontak dengan slogan amar ma’ruf nahi munkar ini berkaca pada kekacauan-kekacauan akibat usaha untuk menggulingkan pemerintahan dari sejak era Utsman bin Affan sampai masa Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dan bisa juga sampai sekarang yang terjadi di Suriah, Mesir, Irak, Libia dan Yaman.

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam I’lam al-Muwaqqi’in ini menegaskan demikian:

“jika kita melihat sejarah terjadinya fitnah kubra dan fitnah sughra (perpecahan yang terjadi di tubuh umat Islam), semua itu disebabkan oleh pengabaian terhadap kaidah ini, dan ketidakmampuan untuk bersabar dalam melihat kemungkaran, lalu akhirnya mereka berusaha segera untuk menghapusnya dan pada ujungnya berdampak kepada mudarat yang lebih besar lagi. Kita lihat bagaimana Nabi SAW telah melihat banyak kemungkaran besar di Mekah saat itu. Beliau hanya memilih diam saja karena tidak mampu mengubahnya. Namun tatkala Allah menaklukkan dan membebaskan Mekah, dan Mekah kemudian menjadi Darul Islam, Nabi berniat untuk mengubah Ka’bah dan mengembalikannya sesuai dengan yang dulu dibangun nabi Ibrahim (qawa’id Ibrahim). Namun hal ini enggan dilakukannya padahal beliau mampu melakukannya saat itu. Sebab, beliau khawatir akan terjadi mudarat lebih besar yang disebabkan karena keengganan Quraisyh sendiri dengan rencana tersebut, apalagi mereka baru masuk Islam dan tidak lama setelah kekafiran. Karena alasan seperti ini pula, Nabi tidak membolehkan mengubah kemungkaran yang dilakukan pemerintah dengan menggunakan tangan.”

Inilah ulasan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah tentang amar ma’ruf nahi munkar. Jadi prinsip menyuruh kebaikan dan mencegah kemungkaran merupakan prinsip yang sangat Islami. Kendati sangat Islami, pemahaman dan penerapannya sangat terikat dengan implikasi dan konsekwensinya. Dalam pelaksanaan prinsip ini, tidak cukup dengan mengamalkan hadis “sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya”, tapi juga harus mempertimbangkan implikasi dan konsekwensinya karena prinsip ini tidak hanya berkaitan dengan relasi hamba dengan Allah namun juga relasi hamba dengan manusia lainnya. Atas dasar ini, pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar harus mempertimbangkan konsekwensi, implikasi dan kemaslahatan bersama agar tidak terjadi kemungkaran yang lebih besar. Inilah kekeliruan yang sering dilakukan oleh beberapa kelompok ekstremis yang menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar.