Jika saya baca dan perhatikan argumen-argumen teman-teman NU menanggapi kasus pembakaran bendera HTI, mereka tidak asal menjawab, melainkan memiliki landasan dan argumentasi kuat dan kokoh, tidak asal jeplak atau sekadar ikut-ikutan nyinyir
Ada yang menanggapi berdasarkan argumentasi fikih; mulai dari bagaimana hukum membakar kalimat tauhid hingga hukum menulis kalimat tauhid di atas kain.
Jika selama ini HTI mengklaim bendera hitam bertulis kalimat tauhid itu bendera Rasulullah, teman-teman NU menelusuri kebenaran klaim itu dengan memeriksa sejumlah hadis yang menginformasikan tentang itu, meneliti kualitas hadisnya (riwayah maupun dirayah), juga sejarahnya. Hasilnya, seperti kita tahu, klaim mereka selama ini rapuh dan menipu.
Ternyata, mereka tidak menginginkan jawaban-jawaban tersebut. Bagi mereka bendera tauhid adalah identitas politiknya yang memiliki muatan ideologis. Mereka menolak “kebenaran” selain kebenarannya sendiri: “kebenaran yang dibuat sendiri, dipeluk dan diyakini sendiri.
Lantas, apakah masih perlu berdebat dengan mereka? Bukankah hati dan pikiran mereka sudah tidak lagi menerima cahaya kebenaran? Jika “pikiran” dilawan dengan “pikiran”, bukankah mereka sudah berhenti berpikir dan tidak menerima pikiran orang lain.
Inilah tugas sejarah. Jangan sampai peradaban manusia dibunuh dan dimusnahkan oleh mereka. Naudzu billah tsumma na’udzu billah...
Catatan: mereka tengah menggiring opini publik pada “bendera tauhid”. Mereka mulai pikun dan mengingkari benderanya sendiri. Tujuannya satu: menularkan kebodohan pada banyak orang.