Kisah Perempuan dan Bani Qainuqa dijadikan dalil oleh seorang ustadz atas kebolehan membunuh orang. Ia menyebut bahwa hal ini bagian dari dakwah yang tegas.
Seorang ustadz selebtwit mengajarkan cara dakwah Rasul melalui aku Twitternya. Ia menyebutkan bahwa Rasul berdakwah dengan dua cara, kelembutan dan ketegasan. Sekilas memang tidak ada masalah dengan dua kata ini. Namun ketika disebutkan contoh ketegasan Rasul yang selalu berkaitan dengan kebolehan membunuh orang lain, sepertinya ada yang masalah dengan ustadz ini. Entah karena niat dan cara pandangnya sudah bermasalah dari awal atau memang dia tidak mampu mengakses sumber-sumber otoritatif terkait keislaman. Padahal ia sendiri meminta kepada orang lain untuk tidak setengah-setengah membaca sejarah nabi, lah, kok, dia malah setengah-setengah juga ngutip sirah. (Saat artikel ini diunggah, akun Twitter @islamidotco dan penulis (@alvinnurch) telah diblokir olehnya, Ed.)
Baca juga: Larangan Membunuh dalam Islam
Suatu hari Rasul pernah bersabda kepada para sahabat, terkhusus pada sahabat yang jarang sekali melakukan shalat Jamaah. Rasul bersabda bahwa beliau akan membakar rumah orang yang tidak melakukan shalat Jamaah dengan kayu bakar.
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيَؤُمَّ النَّاسَ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ
Demi Tuhan yang nyawaku ada ditangan-Nya, sungguh aku ingin meminta seseorang mengumpulkan kayu bakar. Lalu meminta orang untuk shalat dan mengumandangkan adzan, serta meminta orang lain untuk mengimami shalat. Kemudian aku keluar dari masjid (berkeliling mencari orang-orang yang tidak melakukan shalat Jamaah) dan (akan) aku bakar rumah mereka. (H.R al-Bukhari)
Saat membaca hadis ini kita melihat bagaimana ketegasan nabi saat mengajarkan keutamaan shalat Jamaah. Namun bukan berarti kita bebas membakar rumah orang lain yang tidak shalat Jamaah berlandaskan hadis ini. Rasulullah SAW, walaupun pernah bersabda demikian, tidak pernah sekalipun membakar rumah orang lain yang meninggalkan shalat Jamaah. Siapapun orang yang belajar hadis dari berbagai kitab ulama pasti tidak pernah menemukan kejadian rumah dibakar oleh nabi, hatta rumah orang munafik seperti Abdullah bin Ubay bin Salul.
Oleh karena itu, para ulama tidak memahami hadis ini sebagai dalil hukuman bagi orang yang meninggalkan shalat Jamaah tanpa udzur, melainkan sebagai peringatan dari Nabi untuk tidak melalaikan shalat Jamaah, mengingat pahalanya yang cukup besar. Bahkan dalam memahami hadis ini, para ulama cukup memberikan hukum bahwa shalat Jamaah adalah fardu ain, atau sunnah muakkad menurut pendapat ulama lain. (Baca selengkapnya dalam karya Umdatul Qari Syarh Sahih al-Bukhari, j. 5, h. 160).
Hadis di atas bisa disebut sebagai salah satu contoh ketegasan rasul untuk mengajak para sahabat giat melakukan shalat Jamaah. Namun bukan berarti ketegasan di atas bisa dimaknai sebagai kebolehan melakukan kekerasan. Karena pada kenyataannya, Rasul sendiri sama sekali tidak pernah membakar rumah orang. Padahal pada masa itu ada orang-orang munafik yang juga tidak melakukan shalat Jamaah. Artinya, ketegasan tidak selalu berarti kekerasan, bahkan pembunuhan.
Baca juga: Kritik Terhadap Pemahaman Hadis “Membunuh Orang Kafir”
Lalu bagaimana dengan kisah yang disebutkan ustadz selebtwit bahwa Rasul membunuh orang-orang Bani Qainuqa gara-gara membuka jilbab seorang perempuan muslim?
Setiap ustadz atau siapapun yang memberikan contoh kekerasan dan kebolehan membunuh orang lain dengan dasar Al-Quran, hadis, atau sirah Nabawi, kita perlu mengecek langsung dalam sumber aslinya. Pada dasarnya Islam selalu mengajarkan kedamaian dan keramahan, bukan kekerasan dan kemarahan. Maka jika ada ustadz atau siapapun yang mengajarkan nilai-nilai yang berlawanan dengan nilai dasar Islam di atas dan mengatasnamakan teks agama, maka kita perlu kritis, bahkan jika perlu menguji kembali kredibilitas sang ustadz.
Bisa jadi ia hanya mendengar dari orang lain dan tidak membaca teksnya secara langsung, atau jika membaca, ia mispresepsi atau tidak memiliki peranti keilmuan yang memadai agar mendapatkan pemahaman yang lebih holistik. Sebab dalam membaca hadis dan sirah Nabawi, kita perlu mengkaji kaitan hadis tersebut dengan kondisi sosial, termasuk politik pada masa itu, yang dalam kajian hadis disebut asbabul wurud.
Dalam al-Rahiq al-Makhtum karya Sofiyurrohman al-Mubarakfuri disebutkan bahwa memang benar ada kejadian seorang perempuan muslimah yang ditarik dan terbuka bajunya oleh orang Yahudi Bani Qainuqa. Namun demikian, ada tiga hal yang perlu diluruskan. Pertama, yang terjadi adalah orang Yahudi itu bukan membuka jilbab sang perempuan melainkan ia mengikat ujung baju sang perempuan, sehingga saat berdiri, bajunya tersingkap. Dari hal pertama ini saja kisah sang ustadz dengan sumber sirah-nya sudah sangat berbeda.
Kedua, yang menghukum mati (membunuh) orang yang menyingkap jilbab itu bukanlah nabi, melainkan orang lain. Mendengar seorang Yahudi dibunuh oleh seorang muslim, terjadilah perseteruan yang berujung pada chaos dan pembunuhan berantai antara muslim dan orang-orang Yahudi.
Jika dikutip secara utuh teks yang disebutkan oleh Al-Mubarakfuri, maka akan kelihatan kronologi kejadian di pasar Bani Qainuqa tersebut. Berikut ini penulis kutip kronologi utuh kejadian perempuan dan Yahudi Bani Qainuqa tersebut dalam Al-Rahiq al-Makhtum halaman 218, cetakan Darul Wafa, Kairo, 2010:
روي ابن هشام عن أبي عون : أن امرأة من العرب قدمت بجَلَبٍ لها، فباعته في سوق بني قينقاع، وجلست إلى صائغ، فجعلوا يريدونها على كشف وجهها، فأبت، فَعَمَد الصائغ إلى طرف ثوبها فعقده إلى ظهرها ـ وهي غافلة ـ فلما قامت انكشفت سوأتها فضحكوا بها فصاحت، فوثب رجل من المسلمين على الصائغ فقتله ـ وكان يهودياً ـ فشدت اليهود على المسلم فقتلوه، فاستصرخ أهل المسلم المسلمين على اليهود، فوقع الشر بينهم وبين بني قينقاع .
Diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam dari Abi Aun: Sesungguhnya ada seorang perempuan Arab yang datang berjualan ke pasar Bani Qainuqa dengan menggunakan baju panjang. Perempuan itu kemudian duduk di samping seorang tukang perhiasan. Beberapa orang kemudian membujuk perempuan itu agar mau membuka penutup wajahnya. Namun perempuan itu menolak. Tukang perhiasan yang ada di sampingnya kemudian mengikat ujung kain baju perempuan itu ke punggungnya. Saat itu perempuan itu tidak tahu menahu. Ketika ia berdiri, bajunya terbuka dan beberapa orang yang ada di sana tertawa. Perempuan itu pun berteriak. Melihat kejadian itu, seorang laki-laki muslim melabrak tukang perhiasan itu dan membunuhnya. Ternyata tukang perhiasan tersebut adalah seorang Yahudi. Orang-orang Yahudi pun membunuh laki-laki muslim tersebut. Laki-laki muslim itu berteriak minta tolong kepada orang muslim lain. Dan terjadilah peristiwa mengerikan antara muslim dan Bani Qainuqa.
Ketiga, Rasulullah SAW memang akhirnya menghukum Bani Qainuqa, namun Rasul tidak memberi hukuman mati melainkan mengusir mereka dari Madinah.
Keempat, Hukuman yang diberikan Rasul SAW kepada Bani Qainuqa bukan semata karena kejadian di pasar Bani Qainuqa, melainkan karena beberapa rentetan kejadian yang dianggap sebagai bentuk pembangkangan dan pelanggaran atas perjanjian yang telah disepakati bersama, yaitu piagam Madinah. Al-Mubarakfuri pun memasukkan kisah ini sebagai bagian dari sub bab tentang Pelanggaran Bani Qainuqa atas Perjanjian yang Telah Disepakati (Banu Qainuqa Yanqudluna al-‘Ahd).
Peristiwa Bani Qainuqa ini juga bisa disebut sebagai hukuman Rasul yang diberikan kepada orang atau kelompok yang telah melanggar dasar dan konsensus negara yang telah disepakati bersama, atau biasa disebut bughat (pemberontakan atas pemerintahan yang sah). Peristiwa tersebut bukan lagi masuk dalam ranah agama, melainkan sudah masuk dalam ranah politik. Rasul SAW juga berkepentingan untuk menjaga negara Madinah dari instabilitas politik demi keamanan dan keberlangsungan negara.
Baca juga: Mengapa Orang dengan Mudahnya Ingin Membunuh Jokowi?
Oleh karena itu, sekali lagi, penting sekali bersikap kritis atas sebuah kisah kekerasan yang mengatasnamakan Islam dan Nabi Muhammad SAW. Sebab akhir-akhir ini banyak sekali ustadz-ustadz baru yang muncul dan tidak kita ketahui jejak keilmuan dan kredibilitasnya. Kita perlu berhati-hati dengan narasi-narasi kekerasan atas nama agama yang digaungkan oleh ustadz-ustadz baru. Terakhir kali ada ustadz (Gus) yang ternyata gelas Gus-nya bukan karena ia anak ulama atau menguasai ilmu agama, melainkan karena bermain debus. Ya salam. (AN)
Wallahu a’lam.