Melihat Wajah Kecemasan Moral Umat Lewat Sinetron Para Pencari Tuhan

Melihat Wajah Kecemasan Moral Umat Lewat Sinetron Para Pencari Tuhan

Melihat Wajah Kecemasan Moral Umat Lewat Sinetron Para Pencari Tuhan

Saya menonton sinetron komedi religi ini sejak tayang jilid pertamanya dan sempat terlewat empat jilid beberapa tahun yang lalu. Dan selama Ramadan kali ini saya kembali rutin menontonnya, sekarang sudah sampai jilid ke-14 sejak pertama kali tayang tahun 2007. Sinetron ini amat panjang umur.

Banyak wajah yang berganti, tapi beberapa tokoh utamanya masih tetap. Bang Jeck (diperankan Deddy Mizwar), tokoh utama yang jadi marbot masjid kini meniti karir dakwahnya di sinetron. Pak Jalal (diperankan komedian Jarwo Kuwat) yang tetap menjadi seorang haji kaya raya dan dermawan, tapi ehem.. sombong. Dua sahabat “in crime”, Asrul dan Udin tetap saja berantem meski miskin.

Jika dulu Bang Jeck hanya menjadi marbot masjid kecil yang setara dengan musholla komplek. Kini, mereka sudah memiliki masjid yang amat megah. Cerita pembangunan masjid ini muncul pada dua jilid sebelumnya. Pendiri dari masjid megah ini tak lain dan tak bukan adalah Pak Haji Jalaluddin yang kaya raya, saleh dan ganteng. Seperti julukan yang diberikan Bang Jeck kepadanya.

Sejak awal, cerita yang diangkat sinetron ini terkait dengan problematika keislaman yang terjadi di kota. Tokoh-tokoh yang dibangun kebanyakan adalah orang-orang muslim pinggiran, miskin dan lemah. Situasi yang tak menguntungkan tersebut dipandang dengan kacamata sebagai seorang muslim. Keputusasaan ekonomi itu tumbunh di lingkungan yang penuh dengan kecemasan moral seorang muslim: masjid sepi, maksiat di mana-mana dan umat yang lupa beribadah kepada Tuhannya.

Maka dari itu, masuk akal jika sinetron ini diberi judul Para Pencari Tuhan (PPT). Sepanjang sinetron, kaampanye Bang Jeck adalah mengajak warga sekitar untuk memakmurkan masjid. Para preman bertato yang mulanya digambarkan penuh maksiat, ditampilkan mulai bertaubat dan menemukan Tuhannya. Latar cerita demikian ini menjadi ide dasar sinetron yang panjang umur sampai 14 episode ini.

Memberantas Riba dan Kecemasan Moral Umat

Pada jilid ke-14 ini, PPT mengambil tagline di judulnya: “Ingat Mati, Bro!!.” Ia masih konsisten membawakan kecemasan moral yang menganggap situasi umat kita saat ini sedang berada dalam garis kritis: umat yang selalu mengejar kebahagiaan dunia, sehingga lupa dengan Tuhannya.

Pesan tentang kecemasan moral ini sangat begitu kentara dalam cerita pendirian lembaga Baitul Mal Wa Ta’mil (BMT) di masjid. Pendirian lembaga amal masjid tersebut berangkat dari banyaknya warga muslim sekitar masjid yang hidup terjerumus dalam riba. Maksudnya gimana? Mereka pinjam uang kepada rentenir dengan kredit berbunga.

Setiap bulan mereka harus membayar cicilan plus dengan tambahan bunga sekian persen, yang mana di sana ditampilkan bunganya sangat besar. Bunga inilah yang dianggap sebagai riba yang harus diberantas. Dan menariknya, upaya BMT untuk memberantas riba ini bukan karena rasa kasihan atas situasi warga yang sengsara karena terlilit hutang.

Sosok Ustaz David yang diperankan penyanyi Syakir Daulay menyampaikan motifnya dengan lugas: kasihan warga karena akan menanggung dosa dari riba di akhirat.  Bukan karena kasihan dengan ketertindasan dan eksploitasi bunga pinjaman. Tapi karena kecemasan moral, dosa karena riba.

Situasi kecemasan moral yang mengeliminasi rasa kemanusiaan yang universal pada sinetron ini tampaknya berkorelasi dengan situasi dunia nyata kehidupan muslim perkotaan di sekitar kita.

Adapun cara pandangnya adalah “syariat.” Bukanlah cara pandang level “hakikat” dan “ma’rifat”, yang memandang agenda dakwah Islam bukan lagi dalam tataran ibadah ritualistik, tapi lebih kepada substansi dari ajaran Islam. Yang dalam konteks ini bukan hanya semata menyelamatkan dosa dari riba. Tapi lebih dari itu, yakni untuk menyelamatkan kaum yang tertindas. Yakni warga sekitar yang dimiskinkan secara struktural oleh sistem bunga perbankan.

Gambaran tentang kecemasan moral pada sinetron ini layak dikritisi bukan hanya karena cara pandang keislamannya yang ritualistik semata. Tapi, sinetron ini juga tidak menampilkan setting sosial yang merepresentasikan dunia nyata. Di sinetron ini, sejauh yang saya ikuti, semuanya adalah beragama Islam. Bukankah tetangga kita juga beragam ya.

Tapi problem ini sebenarnya juga berakar dari ide dasar cerita sinetron ini yang memiliki kegalauan soal “lemahnya umat Islam.” Jadi, berbagai kekurangan terkait representasi keberagaman adalah dampak lanjutan dari asal-usul tersebut.

Meski sinetron ini masih banyak bolong-bolongnya yang layak dikritik. Tapi sinetron ini tetap menyenangkan untuk ditonton, setidak-tidaknya bagi saya. Saya tetap akan menanti-nanti dengan penuh hadap rilisnya episode baru setiap harinya sampai akhir Ramadan.

Saya masih akan menanti bagaimana perkembangan perseteruan Bang Jeck dengan Pak jalal terkait rencana kepergian Bang Jeck dari masjid demi karirnya sebagai artis. Saya akan masih menanti perkembangan kisah cinta antara Ustaz David dengan anaknya Pak Jalal, dan antara Puteri dengan Mas Viral. Saya masih akan menunggu humornya Si Udin dengan Asrul yang terus bersitegang dalam kemiskinannya.

Sinetron ini, meski memiliki banyak kekurangan, tapi tetap saja menghibur. Berbagai kekurangan yang saya kritik di atas, saya anggap sebagai gambaran kenyataan kehidupan keislaman sehari-hari yang paradoks. Di satu sisi penuh cinta, tawa, kesederhanaan, keluguan, keimanan dan di sisi yang lain masih menyisakan prasangka, kekanak-kanakan dan fanatisme.

Wallahua’lam.