Melihat Sisi Lain Kelompok Fundamentalisme Agama

Melihat Sisi Lain Kelompok Fundamentalisme Agama

Kelompok fundamentalisme agama identik dengan citra kekerasan. Namun di sisi lain, mereka kompromis dan pintar mengambil hati masyarakat.

Melihat Sisi Lain Kelompok Fundamentalisme Agama

Istilah fundamentalisme pada awalnya digunakan hanya untuk menyebut penganut agama Katolik yang menolak modernitas dan mempertahankan ajaran ortodoksi agamanya. Kini, istilah itu juga digunakan untuk penganut agama-agama lainnya yang memiliki semangat yang sama. Oleh karenanya, ada fundamentalisme Islam, Hindu, dan Budha.

Sejalan dengan itu, penggunaan istilah fundamentalisme menimbulkan citra tertentu, misalnya ekstremisme, fanatisme, atau bahkan terorisme dalam mewujudkan atau mempertahankan keyakinan keagamaan. Karena sampai batas tertentu, ada kesan bahwa kelompok seperti itu menganggap orang lain sebagai musuh.

Salah satu pandangan mengatakan bahwa fundamentalisme lahir dari kegagalan suatu kelompok dalam mengikuti arus globalisasi. Di satu sisi, fundamentalisme bisa berarti salah satu dampak negatif dari lahirnya modernitas. Kemodernan memang menawarkan banyak kemudahan bagi manusia, namun di sisi lain, juga menimbulkan ketidakpuasan bagi mereka yang gagal mengikuti iramanya. Misalnya, ketidakpuasan terhadap sistem pemerintahan manusia hasil produk modernitas, yaitu demokrasi, yang mendapat banyak penentangan dari para fundamentalis.

Salah satu dampak lain dari modernitas adalah tuntutan terhadap manusia untuk pandai dalam bergaul, karena pluralitas akan semakin intens di masa ini. Bagi mereka, modernitas semacam ini justru menjadi penyebab persoalan.

Dalam konteks Islam, bagi sebagian kaum Muslim, sepertinya penganut fundamentalisme agama ini masih meyakini bahwa contoh kegemilangan Islam dalam mengelola pemerintahan di masa lalu dapat diajukan sebagai solusi. Kesimpulannya adalah kalau dahulu umat Islam pernah berjaya dengan dasar agama Islam, maka di masa kini dan yang akan datang juga akan berjaya juga jika ajaran Islam diterapkan secara total. Sementara, rahasia kegemilangan Islam di masa lampau itu tidak dikemukakan secara ilmiah. Yang selama ini disuarakan hanyalah bahwa dasar kegemilangan itu adalah ajaran Islam, dan tuntunan Nabi dari Allah kepada umatnya.

Untuk merealisasikan mimpi-mimpi itu, kaum fundamentalis bisa berbuat apapun termasuk tindakan kekerasan bahkan teror. Jalur ini diambil karena mereka tidak sabar untuk memperbaiki keadaan dengan usaha pelan-pelan seperti pendidikan dan penyadaran.

Bahayanya, mereka kadang tidak peduli akan akibat destruktif dari perbuatannya. Misalnya, Front Pembela Islam (FPI) Jakarta yang melakukan perusakan tempat hiburan malam yang menurut mereka merupakan tempat kemaksiatan. Di tempat lain, ada lagi tindakan pembakaran rumah pelacuran sebagaimana yang terjadi di Kebumen beberapa tahun lalu. Di Purworejo, ditemukan massa yang melakukan pembakaran rumah mesum dan gedung bioskop bahkan melempari tempat ibadah tertentu.

Jika demikian, tidak salah rasanya jika kita sedikit mempertanyakan tentang bagaimana dampak para fundamentalis Islam ini bagi kelangsungan kehidupan pluralisme di Indonesia? Di sisi lain, Indonesia adalah negeri plural yang masih muda usianya. Sikap dalam kehidupan juga terhitung belum matang.

Mengapa dikatakan demikian? Karena hidup berdampingan dengan keberagaman seharusnya memunculkan sifat empati dan pengertian serta tetap memperhatikan kebaikan orang dan kelompok lain walaupun dengan caranya masing-masing. Ironisnya, masyarakat Indonesia kebanyakan masih tergoda untuk melihat perbedaan agama sebagai sesuatu yang mengancam dan melihat umat agama lain sebagai sumber banyak kesulitan.

Berlanjut ke dampak fundamentalisme agama. Dalam jangka pendek, para fundamentalis mampu mempengaruhi sesama dengan narasi-narasi kebencian yang mereka propagandakan. Contohnya adalah ketika ketika Amerika dan sekutunya menyerbu Irak. Terlepas dari motif-motif yang diisukan, karena mayoritas warga Amerika beragama Kristen, dan presiden George W. Bush menggunakan idiom-idiom Kristen dalam berbagai orasinya, dan sementara mayoritas warga Irak beragama Islam, maka ada narasi yang dibangun bahwa serbuan itu adalah serbuan Tentara Salib atas bumi Islam.

Narasi tersebut dapat memberikan rangsangan, letupan-letupan kejengkelan, dan ketidakpuasan terhadap suatu keadaan. Puncaknya adalah dengan dominannya narasi Tentara Salib tersebut.

Artinya, hadirnya fundamentalisme mampu memperbesar nyala kebencian yang sebenarnya sudah ada dalam dada sebagian umat beragama kepada umat lain dan membutuhkan momentum untuk mempropagandakan narasi itu.

Meski demikian, ada sisi lain dari kelompok fundamentalisme agama yang perlu saya kemukakan di sini. Pertama, kelompok fundamentalisme agama cenderung bisa mengambil hati masyarakat awam dalam memecahkan problem masyarakat yang belum terafiliasi secara tradisi atau ormas keagamaan yang mapan. Ditambah lagi, ketika kelompok besar yang sudah eksis, justru absen di tengah kebutuhan masyarakat.

Misalnya, ketika terjadi konflik di Ambon. Ada orang Kristen yang membunuh umat Islam hampir satu pulau di Toledo. Di saat itu, tidak ada reaksi segera dari  NU, mengingat bisa jadi kebanyakan penduduk yang dibantai adalah orang NU juga. Absennya kehadiran ormas besar ini menciptakan ruang bagi para fundamentalis untuk merebut hati para korban konflik tersebut. Atau FPI, misalnya, konon menjadi salah satu ormas yang paling tanggap terhadap bencana alam.

Dari kelompok fundamentalis, muncul “kelompok kecil” yang merasa bertanggung jawab atas kehidupan orang Islam. Selain membantu melawan dengan pedang, kelompok kecil ini kemudian juga membawa obat-obatan.  Para korban konflik yang mayoritas Muslim tersebut sedikit demi sedikit akan menaruh simpati kepada para fundamentalis dan pada akhirnya akan mudah menerima propaganda mereka.

Inilah yang kemudian menjadi salah satu dampak jangka panjang bagi masyarakat awam yang belum terpengaruh. Pengurus ormas besar, dalam kasus ini, setidaknya harus lebih peka dan peduli dengan isu-isu sosial sebelum para fundamentalis mengakuisisi dan semakin menyebarkan pemahamannya kepada orang awam.

Menarik memang melihat “kelompok-kelompok kecil” ini sangat peduli kepada masalah-masalah yang dialami umat dan segera mengambil tindakan. Terkadang NU dan Muhammadiyah, misalnya, terlambat merespon isu karena besarnya struktur organisasi yang mereka urus. Terhadap masalah-masalah kemasyarakatan yang mungkin terabaikan oleh ormas besar, kelompok fundamentalis akan menyelesaikannya dengan cara-cara mereka sendiri walaupun tidak disenangi oleh orang lain.

Kedua, dengan berjalannya waktu, saya berpendapat fundamentalisme akan mengalami moderasi internal secara alamiah karena telah terbiasa berdialog dengan keadaan. Sekolot apapun kebijakan sebuah organisasi, ketika ia dipaksa terus berinteraksi dengan keadaan dalam waktu yang lama, ia bisa kompromis demi eksistensi organisasi tersebut. Maka kadang kelompok fundamentalis bisa sangat licin meski “kolot” dan “kaku”.

Ketika Wahhabi masih berada di Nejd, Arab Saudi, doktrinnya sangat keras dan sangat antipati terhadap modernitas. Akan tetapi, setelah bertemu dan berkolaborasi dengan politik Muhammad bin Saud dan berhasil membentuk negara Saudi dengan ibukota Riyadh, dan menguasai Jeddah sebagai kota industri di mana berbagai macam kepentingan terjadi, termasuk perdagangan, sedikit demi sedikit Wahhabi menjadi moderat.

Kedua dampak tersebut tidak serta merta memprediksi bahwa fundamentalisme akan lenyap. Sebaliknya, ia akan tetap eksis di mana-mana. Setiap kelompok fundamentalis mengusung misi tersendiri, termasuk kaum Islam fundamentalis yang menginginkan tata dunia yang lebih baik.  Mereka memiliki asas-asas untuk mencapai keinginan itu, dan mereka sangat setia dengan hal itu.

Tidak jarang asas-asas itu diwujudkan dengan jalan mereka sendiri yang mereka anggap terbaik bagi umat. Bahkan jalan kekerasan juga bisa diambil karena ketidaksabaran dan faktor-faktor provokasi yang mereka dapatkan dari fenomena yang muncul.

Maka kesimpulannya adalah bahwa memang fundamentalisme mengandung hal-hal yang negatif, seperti kecenderungan menggunakan kekerasan dalam mencapai tujuan. Namun, di sisi lain, ada potret positif yang dapat dipetik. Di antaranya adalah cara mereka tanggap dengan problem sosial, sebagai cara mengambil hati masyarakat.

Pada akhirnya, kesantunan dan apresiasi untuk membawa orang menjauhi penggunaan kekerasan dapat dilahirkan dengan menimbang fundamentalisme secara lebih proporsional, yaitu dengan menilai dua timbangan positif dan negatif dari dampak yang ditimbulkan. Dua pandangan tersebut bisa membuat orang lebih terbuka dan mudah menerima pluralitas.

Wallahu a’lam bisshowab. [rf]