Felix Siauw dan ideologi khilafah tidak pernah seolah jadi kesatuan yang lekat, tulisan ini mencoba mengulik narasi lewat perbincangan di Youtube bareng tiga anak Ahmad Dhani
Aktivitas politik Ahmad Dhani yang mulai mendekat ke kelompok Islamis dalam beberapa tahun terakhir, sepertinya berlanjut pada kehidupan pribadinya. Istri dan Anak-anaknya, khususnya Al, El, dan Dul, mulai diperkenalkan dengan model kehidupan “agamis” atau diskursus keagamaan. Dimotori oleh Ust. Fatih Karim, Felix Siauw, dan Derry Sulaiman, pelajaran sejarah Islam diberikan kepada keluarga terdekatnya.
Menariknya, setiap sesi pelajaran tersebut direkam dan diunggah ke Youtube oleh Cinta Quran TV. Akun tersebut yang selalu menayangkan aktivitas dakwah Ust. Fatih Karim. Dalam sebulan terakhir, akun tersebut sangat rajin mengunggah konten “Rumah Ahmad Dhani”. Penamaan tersebut dari saya, karena mereka membuat beberapa serial pelajaran sejarah Islam di rumah Ahmad Dhani tersebut.
Serial tersebut dimulai dari seri berjudul “Ahmad Dhani Ajak Al El Dul Belajar Sejarah | Raja Heraclius Ingin Masuk Islam – Ust. Felix Siauw #1” dan ditutup dengan seri berjudul “LUAR BIASA !!! Inilah Rahasia Muhammad Alfatih dan Pasukannya.” Seluruh materi disampaikan oleh Felix Siauw merupakan hasil penelitiannya, karena kecintaannya atas sosok Sultan Mehmed II.
Garis besar materi sejarah Islam yang disampaikan Felix Siauw adalah sejarah penaklukkan. Bagaimana Islam menjadi besar lewat berbicara perpindahan dari perang ke perang, perebutan kekuasaan hingga perluasan wilayah. Namun, saya melihat materi ini disusun bukan hanya berisi sejarah Islam, di dalamnya juga terdapat penanaman ideologi hingga motivasi.
baca juga: perbincangan Felix Siauw dan tiga putra Ahmad Dhani
Logika kejayaan Islam dibangun dengan berbagai narasi dalam sejarah yang disimbolkan sebagai kejayaan atas musuh-musuh Islam. Misalnya, sejak surat Rasulullah kepada Heraclius yang bisa memukaunya hingga diceritakan bahwa dia ingin masuk Islam. Lalu diteruskan dengan cerita perang Khandaq, yang pada saat itu Rasulullah menyampaikan hadis yang bagi Felix sangat luar biasa.
Hadis tersebut tentang pembukaan (baca: penaklukan) Konstantinopel. Felix tidak saja menggambarkan soal hadis tersebut, namun juga menjelaskan kondisi geo-politik yang terjadi masa itu. Dia tidak saja menjelaskan posisi penting kota tersebut, namun bagaimana penaklukan kota tersebut berarti penting sebagai simbol kekuasaan Islam.
Di tiga video awal, Felix sangat fokus membangun imaji tentang kekhilafahan yang disampaikan dengan mempesona dan bahasa yang mudah dicerna bagi siapapun. Puncaknya, ketika dia menjadikan penaklukan Konstantinopel sebagai simbol kejayaan Islam yang harusnya diulang kembali dan diteruskan dengan menaklukan kota Roma.
Salah satu kemampuan Felix paling memukau adalah menyederhanakan bahasa. Dia tidak menggunakan kata “Ideologi”, namun diganti dengan “pandangan keimanan”. Sebuah pandangan yang menurut Felix yang dapat melihat di luar realitas yang dapat dijangkau oleh organ mata. Bisa dibayangkan bagaimana dia mampu menyelipkan ideologi Tahriri, penegakan kekhilafahan global, sebagai obat mujarab segala permasalahan umat Islam.
Mari kita renungkan sejenak apa yang ditulis oleh Bagus Takwin, akademisi Universitas Indonesia, dalam kata pengantar buku Louis Althusser edisi Indonesia “Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies”. Bagus menulis, “Kepercayaan tentang harapan hanya satu contoh dari gejala yang mengindikasikan peran penting kepercayaan dalam hidup manusia. Berbagai gejala lain yang melibatkan kepercayaan seperti mitos, iman, bahkan ilmu pengetahuan, menunjukkan ‘kemujaraban’ yang serupa: kepercayaan menjelma kenyataan; ide menjelma fakta.”
Bagus kemudian menjelaskan Althusser, sejalan dengan Jacques Lacan, keduanya adalah filsuf asal Perancis, percaya bahwa masyarakat, lewat struktur keluarga, sudah memberikan kerangka-kerangka yang membatasi ruang pandang individu mengenali dunia. Bagi Althusser, dunia seorang manusia sejak semula adalah dunia terbingkai struktur yang tertanam dalam dirinya. Kemudian tumbuhlah dia menjadi manusia yang digerakkan struktur, makin menjauh dari dirinya, tak disadari dan tak terhindari.
Lewat penjelasan Bagus tentang pemikiran Althusser di atas, kita bisa paham mengapa penanaman ideologi Tahriri menjadi arus besar dalam materi agama yang disampaikan oleh Felix pada keluarga Ahmad Dhani. Lewat pemanfaatan media sosial, Felix Siauw dan Dhani sepertinya sengaja menjadikan unggahan video tersebut sebagai medium penanaman ideologi.
Di video terakhir, Felix sangat menekankan penanaman pandangan keimanan sebagai panduan dalam pergerakan untuk menuju kejayaan Islam (baca: kekuasaan kekhilafahan). Penjelasan Felix Siauw sebenarnya berpotensi mempersempit makna Islam sendiri sebagai rahmat bagi sekalian alam, hanya jadi sekadar penegakkan kekhilafahan belaka.
Eksploitasi sejarah Ottoman di masa lalu untuk kepentingan politik, seperti yang dilakukan Felix, sebenarnya juga dilakukan oleh pemerintahan Erdogan.
Umut Uzer dalam artikel, “Glorification of the Past as a Political Tool: Ottoman history in contemporary Turkish politics” menuliskan bahwa telah terjadi transformasi radikal pasca Mustafa Kemal Ataturk, yang dipelopori oleh Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), yakni partainya Erdogan, sejak tahun 2002. Erdogan dan AKP melakukan penciptaan identitas negara baru yang ditopang dengan Islam dan wacana dinasti Ottoman atau lebih tepatnya interpretasi ulang sejarah dinasti Ottoman.
Arkian, penanaman ideologi yang dilakukan oleh Felix lewat medium media sosial jelas sekali menyasar anak muda atau generasi milenial. Oleh sebab itu, kehadiran narasi bukanlah solusi tunggal dalam menghadapi persoalan ideologi tahriri, namun juga mulai menghadirkan ekosistem digital yang ramah dan nyaman untuk anak muda adalah langkah yang mulai kita tempuh.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin
*Analisis ini hasil kerjasama Islami.co dengan RumahKitaB