Tulisan ini adalah komentar terhadap opini Zuly Qodir yang terbit di harian Kompas, 17 Januari 2022 lalu. Ia menyoal watak munafik para pendidik di kampus.
Mereka sibuk “memburu gelar” namun malas memburu ahlak yang baik. Bahkan yang diutamakan bagaimana mendapatkan ranking akademik melalui publikasi yang tak selalu terhubung dengan problem di kampus dan masyarakat, misalnya terkait dengan praktik kekerasan seksual.
Masalahnya, demikian opini ini menegaskan, prestasi dosen dan ranking perguruan tinggi ternyata tidak berbanding lurus dengan etika-moral dosennya. Ini dibuktikan dari terkuaknya kasus-kasus plagiarisme, ekploitasi dosen muda oleh dosen senior, penyalahgunaan wewenang jabatan, hingga praktik kekerasan dan pelecehan seksual dengan memanfaatkan relasi kuasa jabatan dan gender di lingkungan kampus. Kurangnya perhatian perguruan tinggi, bahkan negara pada kualitas etis, pada gilirannya telah berimbas kepada defisit akhlak-moral individu dan moral publik.
Bagi saya, opini itu mengherankan. Sebab, bukankah agama merupakan sumber ahlak mulia? Sementara ( sebelum Covid-19) gairah keagamaan di kampus-kampus justru tumbuh tak terbendung.
Kampus-kampus papan atas yang tidak berbendera agama berlomba melahirkan pengisi mimbar-mimbar agama atau diskusi keagamaan di ruang nyata dan maya. Seorang dosen dari Lampung mengirimi saya tautan, di kampusnya dosen malas riset, dan dosen pelaku kekerasan seksual tak kurang, tapi dosen yang menjadi juru dakwah agama tak kurang-kurang.
Jadi, apakah defisit ahlak moral di kampus itu akibat mereka begitu bernafsu dalam memburu karya akademis, atau justru ditinggalkannya tradisi akademis karena sibuk menjadi para pendakwah? Mereka bukan jadi peneliti masyarakat tapi jadi penyambung lidah Tuhan.
Tesis opini itu juga menyimpulkan bahwa terjadinya keretakan bahkan keterputusan antara karya akademis dengan ahlakul karimah aktif di masyarakat akibat tak terhubungnya antara karya akademis dengan realitas. Riset dan karya akademis yang dilahirkan di kampus tak memberi tekanan pada pembelaan bagi mereka yang dilemahkan secara struktur baik di kampus sendiri maupun di komunitas.
Lalu, bagaimana melawan dan mengatasi kejahatan akademik serupa ini? Dalam penelitian di sejumlah kampus Perguran Tinggi Islam negeri dan swasta, saya melihat ada pembelajaran sebagai percontohan untuk mengatasi probem kekerasan di kampus. Caranya, mempertemukan para akademisi dengan para aktivis penggerak masyarakat dalam mengatasi isu kekerasan terhadap perempuan.
Menguatnya isu-isu kekerasan seksual kepada perempuan dan anak, termasuk antara lain praktik kawin anak, tak melulu karena adanya laporan ke polisi. Peristiwa kekerasan dan kejahatan seksual itu telah melahirkan karya-karya akademis yang secara konkrit memberi kerangka teoretis, misalnya tentang gender based violence dari berbagai jenis kajian.
Bayangkan, kampus-kampus Perguruan Tinggi Islam sudah sejak awal tahun 90-an memperbincangkan hal-hal “ absurd” semisal tafsir tentang asal usul penciptaan manusia: benarkah perempuan (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk lelaki ( Adam)?
Kajian itu, bagaimanapun, telah mengantarkan kepada pertanyaan apakah tafsir semacam itu telah melahirkan pandangan bahwa derajat perempuan lebih rendah dari lelaki dan karenanya “layak” mengalami kekerasan.
Kajian serupa itu terus berkembang di sejumlah kampus dan melahirkan karya-karya akademis yang tak semata memburu “ karya akademis” dalam bentuk publikasi, tetapi memberi kerangka teoretis bagaimana kekerasan seksual dapat diatasi. Maka lahirlah kelembagaan penanggulangan kekerasan seperti Women Crisis Center (WCC) yang kemudian diadopsi negara baik berupa lembaga pelayanan terpadu (P2TP2A) maupun selter-selter perlindungan korban kekerasan berbasis komunitas.
Ketika ada pesantren yang ternyata disalah-fungsikan sebagai sarana pelampiasan nafsu bejat pengasuhnya, Muhammadiyah dan NU tak tinggal diam. Dalam Muktamar NU di Lampung di awal 2022 ini, isu kekerasan seksual dibahas secara mendalam dengan menelurkan sejumlah rekomendasi aksi termasuk diangkatnya 11 perempuan dalam jajaran Syuriyah, Tanfidziyah dan Badan-badan otonomnya. Ini sebetulnya sebuah aksi lanjutan dari hasil musyawarah keagamaan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) 2017 yang juga secara tegas menyatakan bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan dan pengingkaran pada nilai-nilai Tauhid dengan mempertuhankan diri sendiri.
Dalam upaya-upaya serupa itu niscaya peran para akademisi dari kampus-kampus Islam yang telah melahirkan sejumlah hasil penelitian turut memberi kerangka kokoh atas lahirnya rekomendasi sosial keagamaan untuk dipertimbangkan dalam melahirkan regulasi. Bahwa upaya itu belum efektif orang bisa bersetuju dan berdebat, tapi apakah itu berguna, tak ada yang meragukan. Lahirnya istilah KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga) yang telah menjadi bahasa awam bahkan dalam sinetron, merupakan bukti sederhana tentang pertemuan dua aras akademis dan praksis dalam mengatasi kekerasan.
Beberapa saat lalu, ketika politisi dan berbagai elemen masyarakat terlibat debat kusir soal Permenristek tentang pencegahan kekerasan seksual di kampus, di sejumlah Perguruan Tinggi Islam telah lahir peraturan anti kekerasan di kampus berupa SK Rektor sebagai jaminan kehidupan kampus tanpa kekerasan. Itu merupakan tindak lanjut dari SK Menteri Agama tentang Penghapusan Kekerasan Seksual di lingkungan kampus agama.
Saat ini, setidaknya ada 25 Perguruan Tinggi Islam negeri dan swasta yang telah memiliki SK Rektor yang berkomitmen pada kampus tanpa kekerasan seksual. Tujuh di antaranya bahkan telah memiliki Unit Layanan Terpadu atau Satgas/ Focal Point pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus yang berarti telah memiliki road map, mekanisme kerja, pendanaan dan staf yang terlatih.
Saya harus menyebutkan ini merupakan contoh paling konkrit yang memperlihatkan bekerjanya triangulasi aktor dalam mengatasi kekerasan terhadap perempuan dan anak: kelembagaan penanganan kekerasan yang menghubungkan kampus dengan sejumlah LSM /lembaga pemerintah yang bekerja dalam isu kekerasan, peran para akademisi dosen perempuan dan lelaki dalam mengembangkan riset-riset terkait isu kekerasan, serta lahirnya peraturan dan regulasi yang efektif. Apakah ini dicapai dengan mudah? sama sekali tidak. Bahkan sampai hari ini kita masih berkutat dengan kepentingan patriark di partai yang begitu takut kehilangan pendukung dan kenyamananya dengan mempersulit lahirnya UUPKS.
Inilah yang dapat menjawab gugatan opini Zuly Qodri dalam mengatasi problem kemunafikan di kampus. Kekerasan harus dilawan dengan kesadaran kritis dan aksi yang nyata! [AK]