Shayma Ismaeel tersenyum dengan jari simbol ‘peace’ di depan para demonstran anti-Islam. Sementara teman-temannya yang sama-sama mengikuti konferensi Islam melakukan protes balik dengan berbagai cara, Shayma hanya ingin meluapkan kebahagiaannya. Senyum dan dua jari simbol perdamaian.
Kejadian itu terjadi Ahad lalu, 21/04/2019. Di gedung yang sedang dipakai konferensi Islam yang diselenggarakan oleh Islamic Circle of North America (ICNA). Berbekal wajah garang dan poster yang menyudutkan agama Islam, para demonstran juga merapal banyak kata-kata yang mereduksi eksistensi Muslim. Sampai-sampai para fanatik itu mengatakan”she and her friends were going to hell”.
Penolakan terhadap eksistensi muslim di Amerika bukan hal baru. Tragedi 9/11 seolah menjadi luka lama yang menjauhkan persaudaraan agama-agama di sana. Kejadian itu lalu berujung pada peristiwa-peristiwa bombastis militer Amerika dalam misi menangkap Osama bin Laden yang disinyalir sebagai dalang peristiwa tersebut.
Luka lama itu kemudian berlanjut sampai intervensi Presiden Donald Trump terhadap kebijakan luar negeri AS yang ingin membatasi imigram muslim dari negara-negara yang berbasis Islam. Dalam skema politik global, pasca 9/11 dan kini di era Trump, Amerika kemudian terlihat sangat vokal dalam misi pengamputasian hak-hak umat muslim.
Dalam konteks lokal, imigran dibatasi sekaligus diawasi hak sipilnya. Sedangkan dalam konteks global penguasaan minyak menjadi martir dalam penegakan demokrasi—yang menurut Yuval Noah Harari—dilakukan meskipun dengan peperangan.
Di usia yang masih belia, Shayma (24) muslimah Afrika-Amerika itu melawan. Protes Islamophobia yang masif di Amerika dan Eropa, seakan-akan sudah banyak ia dapati dan lawan, karena itu membuatnya mencari model perlawanan lain: ”love in the face of bigotry”. Perlawanan ini secara tidak langsung menggiring citra baru perlawanan inkulsif. Islam yang berarti keadamaian terepresentasikan oleh Shayma yang meskipun pada saat itu ia dihadapkan oleh demonstran anti-Islam persis di depan mukanya. Saya menangkap maksud Shayma salah satunya adalah ia sangat ingin mengakhiri peradilan tak mengenakkan ini.
Ia mencoba mendefinisikan jika fanatisme tidak akan mengubah apapun. Kasus yang banyak terjadi dalam fanatisme agama adalah lahirnya sikap yang mereduksi dan mendekonstruksi kemanusiaan dan keberagaman. Apalagi di Amerika, ini semakin paradoks. Di rahim yang mengandung demokrasi dan yang menjunjung tinggi pluralisme agama, fanatisme masih laten dipelihara.
Shayma tak habis pikir, pasca tragedi penembakan 50 Muslim di Masjid Christcruch bulan lalu. Tekstur keberagamaan berubah. Semestinya umat muslim mendapat simpati lebih, mengingat mereka yang menjadi korban.
Opini lain mengatakan, apabila demonstrasi anti-Islam ini menyeruak pasca tragedi Sri Lanka yang menewaskan 359 orang. Yang oleh mereka, lalu digebyah-uyah kepada kaum muslim secara global. Mereka mengagamaisasikan terrorism, mengidentifikasi semua terorirsme sebagai Islam dan itu jelas tidak adil dan bahkan keliru.
Sekali lagi, yang kemudian menarik perbincangan adalah ekspresi yang disampaikan oleh Shayma. Ia tersenyum. Tidak merasa paling benar dan mengakui eksistensi keislamannya yang semakin tidak aman. Namun, ia tetap bahagia dan bangga terhadap Islam, agama yang ia anut dan tetap akan terus menyebarkan cinta di muka kefanatikan. “and continue to spread love in the face of bigotry.”
Uswah yang Shayma berikan tidak bermaksud melawan. Seperti memprotes balik dengan cibiran yang serupa. Ia justru berpesan jika kita bisa mencintai agama kita;Islam, tidak peduli seberapa besar arus yang membencinya.
Shayma bukan menertawakan, melainkan berbagi kebahagian. Senyum, sebagai wahana ekspresi politis memiliki kegunaannya sendiri. Minimal, ia akan menyatukan bahasa rakyat banyak dan mengidentifikasi masalah-masalah yang dikeluhkan dan diresahkan.
Proud of You, Shayma.