Penyerangan yang terjadi di Jakarta pusat beberapa saat lalu yang menewaskan empat sipil dan empat ekstremis bisa jadi merupakan sebuah tanda datangnya kembali teror. Pun memastikan ISIS, sebagai pihak yang mengaku bertanggung jawab, telah bertransformasi sebagai ancaman teror di Indonesia, setelah kelompok-kelompok lain yang sebelumnya digagalkan.
Indonesia, sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, sebenarnya hanya memiliki jumlah jihadis yang sedikit bila dibandingkan dengan jumlah yang besar—di seluruh dunia. Beberapa faktor memengaruhi hal itu: stabilitas yang terjaga, pemerintahan yang demokratis, konflik internal yang rendah, masyarakat yang ramah dan toleransi terhadap hukum Islam. Juga satuan polisi anti teror yang bekerja efektif sejak tragedi Bom Bali 2002.
Bom Bali yang memakan lebih dari 200 korban jiwa, merupakan angka tertinggi yang diakibatkan teror di negeri itu. Pelakunya adalah anggota Jamaah Islamiyah (JI) yang dilatih di perbatasan Pakistan-Afghanistan dan dibiayai oleh Al-Qaeda. Sebuah gerakan yang membawa doktrin jihad global— yang seperti juga para ekstremis lokal, bermotif balas dendam atas kematian Muslim pada konflik Muslim-Kristen yang terjadi di dua daerah di Indonesia Timur, Maluku dan Poso. Kelompok-kelompok yang terlibat pada konflik sekitar 1999 dan 2000 itulah mula terbentuknya jaringan luas jihadis yang ada di Indonesia saat ini.
Dengan tertangkapnya pelaku Bom Bali dan berakhirnya konflik lokal, jaringan jihadis pun melemah dan terpecah. Tapi itu belum selesai. Anggota JI yang menganggap kekerasan sebagai sebuah usaha yang tidak efisien, memilih untuk memperkuat dan membangun basis mereka kembali dengan edukasi dalam indoktrinasi fahamnya. Kelompok ekstremis lain, yang juga pecahan dari JI, yang masih setia dengah jalur jihad, mengalami kesulitan untuk melatih anggotanya dan melakukan indoktrinasi. Walhasil, sejak 2010 hingga kemarin, lebih dari selusin teror yang terjadi nyaris hanya membunuh pelaku bom bunuh diri saja.
Lalu ISIS muncul. Menjadi potensi baru bagi ekstremis yang tersisa untuk dapat pergi ke Suriah, mendapatkan pelatihan, indoktrinasi ideologi, pengalaman perang dan kontak internasional. Ancaman yang sudah mengendur kembali menguat.
Serangan Kamis lalu dilaporkan diatur dan didanai oleh Bahrun Naim, seorang Indonesia lulusan ilmu komputer yang kini berada di Suriah. Agustus lalu, tiga pria tertangkap di Solo, yang telah merencanakan pengeboman sebuah pos polisi, gereja dan wihara di bawah instruksi Naim. Wihara menjadi target ditengarai sebagai respon atas pembantaian Muslim di Myanmar. Pada Desember lalu, empat anak buah Naim juga ditangkap atas dugaan rencana penyerangan terhadap salah satu anggota polisi dan institusi Syiah.
Hal itu membuktikan meski rencana teror telah disusun untuk sebuah aksi di akhir tahun, sebab ketidaksiapan pelaku dan kewasapadaan polisi, Indonesia pun tetap terselamatkan. Pada tahun 2015, jumlah korban akibat terorisme sebanyak 8 orang dan sepanjang 2014 sebanyak 4 orang. Karena, teroris kelompok Solo nyatanya tak mampu mencampur bahan kimia sehingga bom mampu meledak. Bisa dikatakan, pengeboman Kamis lalu adalah yang paling mematikan. Terlihat bila pelakunya telah menerima pelatihan dan persiapan yang lebih baik.
Kelemahan itulah yang membuat ekstremis macam Naim, yang kini berada di Timur tengah, akhirnya memutuskan untuk mengorganisir kembali ekstremis yang masih berada di Indonesia. Meski tidak menimbulkan korban jiwa seperti yang mereka harapkan, tapi pemberitaan di media tetap memberi sedikit harapan dari kegagalan mereka, pun bisa memancing teror susulan. Simpatisan ISIS yang lain pun bisa melakukan hal sejenis demi mendapat perhatian serupa. Terlebih dengan adanya persaingan di antara Bahrumsyah dan Abu Jandal, dua anggota ISIS yang kini berada di Suriah, dalam merebut simpati dan kepemimpinan dari para ekstremis di Indonesia.
Mengenai hal itu, maka dibutuhkan tindakan preventif yang lebih menekan. Hal ini dengan lebih mengetatkan undang-undang soal anti terorisme, yang selama ini masih cenderung lemah. Bahwa pemerintah belum sepenuhnya melarang perekrutan anggota ISIS dan kepergian ke Suriah, meski telah diketahui orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Selanjutnya, yang dibutuhkan adalah memberikan pengawasan pada mantan tahanan pasca mereka bebas, yang selama ini pemerintah cenderung lalai. Faktanya, kini ada lebih kurang 300 pro ISIS di penjara yang masih bisa mengakses smartphone dan berhubungan dengan kolega-koleganya di luar. Hal itu bisa dimanfaatkan oleh mereka untuk menyebarkan kembali ide-idenya. Sehingga, yang terjadi adalah mereka hanya menunggu masa bebas untuk beraksi kembali.
Pemerintah juga harus lebih tegas terhadap upaya mendeportasi mereka, yang kini lebih kurang 200 orang telah kembali dari Suriah, setelah dipulangkan oleh pemerintah Turki. 60 persen dari mereka adalah wanita dan anak-anak, dan kalaupun harus melalui upaya deradikalisai, mereka itulah target utamanya. Sebab, seperti yang kita ketahui, mereka telah menjual semua asetnya di Indonesia untuk pergi ke sana. Bila tak ada upaya pembinaan, dapat dipastikan mereka tak akan ragu untuk melakukan hal serupa sebelumnya. Sementara, Kementerian Sosial hanya mampu memberi tempat tinggal sementara. Tak ada upaya lebih dari itu. Sedangkan, untuk menanggulangi keikutsertaan mereka kembali, jejaring sosial dan harapan hidup yang baru mesti diberikan oleh pemerintah.
Terakhir, upaya untuk melawan kampanye ISIS di media sosial juga harus gencar dilakukan pemerintah. Dengan merekrut ahli-ahli komputer untuk melakukan itu. Sebab, selama ini itulah jalan yang dilakukan ISIS untuk menyebarkan ideologinya. Juga dengan melakukan pendekatan pada kalangan muda yang selalu menjadi target utama Naim dan anggota ISIS lain.
Sejauh ini, kombinasi antara pemerintah, kaum moderat, kepolisian dan inkompetensi ekstremis telah membuat angka korban jiwa akibat teror di Indonesia minim. Namun, adanya ancaman baru dari ISIS, sudah semestinya pemerintah lebih rajin untuk mengembangkan program-program dan kebijakan baru untuk menanggulangi mereka.
*Artikel ini diterjemahkan oleh Ahsan Ridhoi (Redaksi) dari opini Sidney Jones di The New York Times bertajuk Bittling ISIS in Jakarta. Sidney Jones adalah peneliti terorisme internasional dan direktur Institute for Policy Analysis of Conflict di Jakarta.