“Apakah di sana ada resitensi?” tanya seorang peserta launching dan bedah buku Just Indonesia: Free from Discrimination & Violence (Gender, Ecology, and Media). Acara ini diadakan oleh Program Studi Kajian Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana UGM bekerja sama dengan Universitas Muhammadiyah Surakarta dan DAAD Institute Jerman beberapa waktu yang lalu.
Pertanyaan tersebut diarahkan ke Mbak Rivi, dosen dari Universitas Halu Oleo Kendari yang menjadi salah satu narasumber. Mbak Rivi menyampaikan kajiannya terkait tradisi siri’ dan uang panai dalam budaya Bugis yang direpresentasikan dalam tiga film.
Siri’ secara sederhana diartikan sebagai harga diri. Dalam pernikahan Bugis, siri’ dinilai dari berbagai aspek, salah satunya besaran uang panai. Uniknya, uang panai terkait juga dengan tingkat pendidikan perempuan. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin besar pula uang panai yang harus diberikan.
Penanya menanyakan resistensi karena ‘uang panai’ sebenarnya ada di banyak tradisi. Namun di masa kini mulai banyak pasangan yang menjadikannya sebagai syarat kultural saja. Bahkan tak jarang ada pasangan yang saling membantu untuk mencukupi besaran uang panai yang disyaratkan oleh keluarganya. Cara itu menurutnya bentuk resistensi yang dilakukan untuk melawan hegemoni budaya yang mengekang.
Saya tidak akan membahas jawaban Mbak Rivi karena sudah disinggung dalam artikelnya di buku tersebut. Jika ingin mengeksplorasinya, belilah buku setebal 278 halaman ini.
Di sana pembaca akan menemukan 14 artikel yang membahas tiga tema besar, yaitu upaya perempuan melestarikan lingkungan (discriminated planet, guarding the planet), kisah tentang agensi anak dan penyandang disabilitas (agency & power of children and people with disabilities), dan representasi perempuan di media (media and the discriminated bodies). Yup, buku ini berbahasa Inggris.
Bahasa Inggris menjadikan buku ini punya dua sisi strategis yang plus dan minus. Kita bahas minusnya dulu. Buku ini menjadi lebih eksklusif karena mensyaratkan pembacanya memiliki kemampuan bahasa Inggris yang baik. Bahasa Inggrisnya memang tidak serumit itu. Namun tetap saja, sebagai sebuah buku kajian, buku ini menggunakan bahasa akademik yang punya target pasar terbatas.
Sisi positifnya bahasa Inggris membuat buku ini punya peluang untuk mengenalkan Indonesia dari suara-suara pinggiran yang tidak banyak beredar. Memang, mahasiswa diaspora banyak. Mungkin sebagian sudah pernah menerbitkan dalam bentuk artikel jurnal atau semacamnya. Namun mendapat 14 in 1 dalam sebuah buku bunga rampai tentu bukan pengalaman yang bisa dimiliki semua orang. Apalagi beberapa tulisan di dalamnya membawa narasi yang sangat khas di Indonesia, salah satunya tentang feminisme berbasis agama.
Saya ingin sedikit flashback. Dulu sekali, saya kurang sreg dengan feminisme. Musababnya, sebagian feminis yang saya baca memusuhi laki-laki dan menganggapnya sebagai biang kehancuran peradaban. Selain itu agama disebutnya sebagai ruang tumbuhnya budaya patriarti. Hingga satu waktu saya bertemu seseorang yang memberi penjelasan bahwa feminisme itu tidak tunggal.
Prinsip utama feminisme adalah emansipatoris, pembebasan. Kata ‘pembebasan’ ini diterjemahlan dengan banyak cara. Makanya muncul berbagai aliran feminisme, seperti liberal, radikal, dan lain sebagainya. Nah, Indonesia mengalami situasi unik karena agama dan feminisme bisa berjalan beriringan. Agama bukan elemen yang vis-a-vis dengan gerakan feminis, tetapi justru menjadi spirit yang memperkuat semangat pembebasan.
Saat saya tiba-tiba ditugaskan sebagai salah satu tim media Kongres Ulama Perempuan Indonesia pertama tahun 2017, saya masih skeptis dengan gerakan tersebut. Namun saya benar-benar terbelalak ketika di dalam forum ada banyak laki-laki yang juga terlibat dan lantang menyuarakan kesetaraan. Tidak hanya itu, pembahasan dalam kongres bukan lagi soal peran domestik atau kepemimpinan, tapi sudah merambah ke wilayah praktis seperti penghapusan kekerasan seksual dan pelestarian lingkungan.
Kata ‘ulama perempuan’ dibedakan dari ‘perempuan ulama’. Perempuan yang punya kapasitas sebagai ‘ulama’ disebut perempuan ulama. Sementara ‘ulama perempuan’ bukan berkonotasi biologis, namun lebih pada aspek ideologis. Setiap orang yang punya perspektif perempuan, artinya berjuang untuk keadilan dan kesetaraan khususnya pada isu-isu terkait perempuan yang selama ini didiskriminasi, bisa jadi bagian gerakan ini. Ulama juga tidak dimaknai personal, akan tetapi sebagai gerakan kolektif dari individu-individu yang memiliki kepedulian pada gerakan kesetaraan.
Sebelum kongres tersebut, saya masih melihat ulama dalam kaca mata tradisional yang mengajarkan cara beribadah, cara menghormati orang lain, atau cara bersabar ketika mendapat ujian. Namun persinggungan antara agama dan gerakan kesetaraan ternyata bisa melahirkan narasi-narasi progresif yang tidak pernah saya bayangkan selama bergulat dengan pelajaran agama, mulai TK hingga sarjana.
Gerakan feminisme berbabis agama ini masih belum bisa dipahami oleh banyak orang, terutama yang mengkaji feminisme dalam kerangka kajian mainstream. Apalagi bagi orang yang masih melihat semua serba hitam putih: agama dianggap sebagai simbol pengekangan, sementara feminisme pembebasan. Lha kok bisa ya ada dua entitas yang sangat berbeda dan bertentangan tapi menjadi collaborative power yang sangat mendobrak? Tulisan Mbak Dewi Candraningrum (hlm 17 – 32) memberi pengantar yang sangat apik terkait bagaimana feminisme berbasis agama di Indonesia bisa memberi warna dalam sejarah gerakan feminisme.
Aspek lokalitas sangat menentukan lahirnya gerakan feminisme berbasis agama di Indonesia. Hal ini tak lepas dari upaya dekonstruksi yang dilakukan oleh para tokoh era 1990-an awal yang menafsirkan ulang pemahaman misoginis terkait teks-teks keagamaan. Indonesia bisa mengalami fase yang seperti ini karena perjuangan yang sangat panjang dalam memaknai agama sebagai cara hidupnya. Saya jadi mafhum dengan istilah long revolution yang pernah dicetuskan oleh Reymond Williams. Revolusi ternyata memang tidak selalu dimaknai sebagai gerakan yang serba instan dan kilat.
Buku ini berpeluang menjadi salah satu jembatan antara long revolution feminisme di Indonesia dengan dunia internasional justru karena bahasa Inggrisnya. Sekarang tinggal bagaimana membuat buku ini dibaca oleh lebih banyak orang di lebih banyak negara.
Sebagai sebuah karya, buku ini tak lepas dari kekurangan, terutama aspek teknis seperti pengulangan beberapa data, tidak adanya gambar pendukung, dan detail-detail lainnya. Namun saya tidak akan membahasnya secara mendalam karena tugas pertama saya adalah meyakinkan bahwa buku ini penting dan perlu dibeli. Itu saja. Titik.