Melampaui “Khilafah” dan “NKRI Harga Mati”

Melampaui “Khilafah” dan “NKRI Harga Mati”

Melampaui “Khilafah” dan “NKRI Harga Mati”

Ruang publik politis kita akhir-akhir ini terlalu sesak oleh dua jargon ini: khilafah dan NKRI harga mati. Seolah jika kedua hal itu tidak terlaksana, hidup kita akan binasa. Namun mengapa keduanya dikatakan terlalu sesak?

Pada dasarnya tidak ada masalah dengan konsep khilafah. Ia adalah imajinasi politik yang telah lama berkembang dalam sejarah pemikiran Islam. Namun jika yang dimaksud khilafah di sini adalah gagasan yang mau diwujudkan oleh Hizbut Tahrir, maka jelas sekali ini adalah sebuah fenomena yang baru muncul di pertengahan abad ke-20. Ia ingin menghancurkan tatanan negara-bangsa modern Westphalian dan kemudian mengubahnya menjadi tatanan kosmopolitanisme Islam.

Jelas sekali gagasan khilafah bersifat ilusi, tetapi masalah terbesarnya adalah karena ia anti-keragaman. Ia mau menghilangkan perbedaan dan kemudian membangun tatanan baru yang seragam. Dengan kata lain, khilafah Hizbut Tahrir adalah bentuk kontemporer dari ide totalitarian.

Sementara itu, pada dasarnya tidak ada masalah dengan NKRI harga mati kalau yang dimaksud adalah sebuah konsensus kebangsaan yang telah final. Namun jika pengertiannya diturunkan ke dalam seperangkat metode tertentu, maka di situlah permasalahan dimulai. Dan inilah yang terjadi hari ini: seolah-seolah hanya ada satu cara dalam mempertahankan kedaulatan NKRI.

Satu cara tersebut adalah pendekatan keamanan. Ini sulit dihindari karena pengalaman dan imajinasi politis kita memang hanya itu. Seakan-akan hanya dengan pendekatan keamananlah NKRI harga mati bisa dipertahankan.

Akan tetapi, kabar terburuknya adalah baik khilafah maupun NKRI harga mati adalah jargon-jargon yang suka dimain-mainkan oleh elite ekonomi dan politik–para oligarki. Mereka menggunakan keduanya, bahkan kadang secara bersamaan, hanya untuk mempertahakan kedudukan dan hak istimewa yang dimilikinya saat ini. Apakah para pendukung kedua jargon itu di tingkat akar rumput hancur babak belur, bagi mereka bukan lagi urusan.

*) Amin Mudzakkir, staf peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)