Sejak kapan Prabowo dianggap mewakili umat Islam di Indonesia dan kapan munculnya sentimen Jokowi anti-islam menguat? Sebelum ke sana kita harus mafhum bahwa tidak ada pemilu dalam Alquran. Yang ada, sependek pengetahuan saya adalah para “pemegang kuasa” (ulul amr). Umat Islam disuruh oleh Alquran agar taat kepada pemimpin laiknya patuh kepada Nabi dan Allah, tentu saja. Oleh sebab itu, pengingkaran bahkan pembangkangan kelewat batas kepada pemimpin yang sah bisa berakibat fatal.
Dalam citarasa paling modern, para “pemegang kuasa” itu bisa dimaknai sebagai yang disepakati lewat Pemilu. Indonesia 2019 akan melangsungkan hajatan pilihan “pemegang kuasa”. Ada dua kandidat Pasangan Calon (Paslon) yang berkompetisi: Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi.
Jelas, kedua Paslon bukanlah orang sembarangan. Sebab “pemegang kuasa” yang kita andaikan bukanlah “pemegang kuasa” kekanak-kanakan. Masalahnya, realitas pertarungan politik untuk menjadi penguasa sangatlah rumit. Seringkali landasan filosofis yang ditawarkan oleh Alquran tertutup begitu saja oleh slogan-slogan kepentingan golongan, lebih-lebih yang seringkali mengatasnamakan umat Islam.
Padahal, yang dituju oleh Alquran adalah lebih dari itu. Ya, para “pemegang kuasa” adalah orang-orang yang dalam Q.S. Al-Nisa’ ayat 58 diidentifikasi sebagai orang yang akan memikul tangunggjawab “agar menunaikan segala amanat kepada yang berhak… memberi hukum di antara khalayak secara adil”.
Syu’bah Asa dalam Tafsir Ayat Sosial Politik menyebut ada satu alternatif terjemahan yang memungkinkan pemaknaan bukan “memberi hukum”, melainkan “memerintah”. Pasalnya, keduanya berasal dari akar kata yang sama “hakama”. Itu juga kelihatan dari persepsi Sayyidina Ali mengenai ayat ini, ketika beliau menganggap keduanya adalah satu kesatuan.
Kata menantu Rasul ini, bila “pemegang kuasa” melaksanakan segala amanat dan bersifat adil, maka menjadi wajib bagi kita untuk mendengar, patuh, dan menyambut bila dipanggil.
Pada titik ini, prinsip keadilan yang menyeluruh merupakan harga mati yang musti dibayar oleh para “pemegang kuasa”, tidak peduli siapapun itu. Persoalannya, apakah kedua Paslon kita memiliki komitmen, atau sekurang-kurangnya niatan untuk itu? Kita tidak tahu pasti.
Yang jelas, Alquran sudah memberi kisi-kisinya. Karenanya, upaya mencitrakan salah satu Paslon sebagai representasi umat Islam saya kira justru akan mengkerdilkan Islam itu sendiri. Sebab, sangatlah naif mengidealkan pemimpin islami, sedang pada saat yang sama di balik jubah keislamannya justru terselubung kepentingan kedirian, bukan berlandaskan kemaslahatan menyeluruh.
Sebaliknya, mencitrakan salah satu Paslon sebagai anti-Islam juga malah memperumit keadaan si penuduh sendiri. Pasalnya, tafsir Islam hari ini sangatlah luas dan kompleks. Beda dengan zaman Nabi atau Sahabat. Di zaman Nabi, orang Islam adalah orang yang berserah sepenuhnya kepada Tuhan dalam segenap aktivitasnya. Sehingga, ketika menerima risalah Salat, membayar zakat, menyantuni yang papa, dan menegakan kemanusiaan yang adil dan beradab mereka akan melaksanakan kesemuanya dengan kesadaran penghambaan yang totalitas.
Sementara, selepas Kanjeng Nabi berpulang ke haribaan, pandangan tentang kebenaran Islam mulai muncul dalam tafsir yang beragam. Masing-masing pihak mengaku bahwa Islamnya yang paling sesuai dengan Nabi. Yang paling awal dan cukup terkenal adalah soal pertentangan kaum Khawarij yang menggugat polemik Sayyidina Ali dengan Muawiyah. Merasa paling benar, mereka pun menganggap bahwa dua sahabat besar itu telah kafir karena tidak sesuai dengan tafsir Islamnya. Karena kafir maka halal darahnya.
Diakui tidak diakui, yang demikian itu merupakan titik ironi dari tafsir Islam yang berkecamuk di tengah kontestasi politik. Lalu, ketika sekarang Jokowi dituding sebagai anti-Islam, Islam yang mana? Islamku-kah? Islam Anda-kah? Atau, jangan-jangan pandangan kita tentang Islam memang keliru sejak dalam pikiran sehingga apapun yang dilakukan Presiden seolah merugikan kepentingan umat.
Lagi pula, sejak kapan Prabowo mewakili kepentingan Umat Islam? Apakah dengan sekadar menghadiri sebuah aksi yang mengatasnamakan umat Islam, lalu sekonyong-konyong yang bersangkutan menjadi wakil Tuhan dalam menegakan kalimat Tauhid, gitu?
Bukankah akan lebih bermartabat jika keduanya tidak mewakili golongan apapun kecuali sedang berlomba-lomba dalam kebaikan untuk Indonesia yang adil dan beradab?
Maka, berhentilah berlagak heroik dengan seolah-olah membela Islam. Sebab, Islam terlampau besar untuk kita bela. Apalagi membawa-bawa Islam untuk kepentingan politik kekuasaan.
Sesungguhnya tanpa dibela sekalipun, Islam sudah punya mekanisme untuk membela dirinya sendiri. Tapi, siapa yang akan menjamin? Tentu, sebagai orang beriman saya meyakini kalau Tuhan tidak akan nihil dari intervensi menjaga kedaulatan Islam sebagaimana Dia menjamin validitas Alquran.