Kematian sudah pasti datangnya. Tak perlu diharap-harap, juga tak bisa dihalang-halangi. Ajal pasti menjemput. Toh, banyak juga yang punya cita-cita mati. Tak percaya, pasanglah telinga dan dengarkan cerita orang-orang di sekeliling. Tentu sudah tak asing, kisah tentang orang yang bercita-cita mati di Makkah.
Kenapa Makkah? Sudahlah, tak perlu ditanya. Yang pasti, begitu banyak orang yang kepingin matinya tidak biasa-biasa, tapi bersyarat: mati kapan pun rela, asal di Makkah. Meski lanjut usia, tubuh telah renta, tak ada yang bisa mencegah mereka ke Makkah. “Bapak istirahat saja dulu, ya. Dokter bilang, kesehatan Bapak masih lemah. Tak perlu dipaksakan.” Begitulah si anak selalu mencoba membujuk si ayah agar mempertimbangkan kesehatan.
Tapi, si Ayah akan ngotot, “Ini sudah panggilan, Nak. Allah Mahabesar. Jika Dia sudah menghendaki, tak perlu ada yang dirisaukan. Kalaupun Dia menghendaki Ayah meninggal di sana, itu justru kesempatan emas yang ditunggu-tunggu semua orang.” Si Anak akan terdiam. Si Ayah tetap bersikukuh dengan niatnya, terbang ke negeri Arab, berdesak-desakan dengan jutaan jamaah.
Hingga suatu ketika, sebuah siaran televisi memberitakan adanya sejumlah jamaah dari Indonesia meninggal, persis saat menjalankan salah satu manasik. Si anak memperhatikan daftar nama-nama yang tampil di layar kaca. Tiba-tiba, tanpa ia sadari, mata membasah. Nama si ayah jelas tercantum di sana. Berkali-kali ia berusaha tak percaya. Tapi identitas itu terlalu jelas untuk diingkari. Nama di belakang bin, usia, daerah asal, nomor kloter, semua cocok dengan ciri-ciri si ayah. Si ayah telah mendapat kesempatan emas: meninggal di bumi Makkah.
Seperti sinetron. Tapi ini nyata. Keinginan untuk mati di Makkah sangat tidak aneh bagi seorang muslim. Makkah selalu hidup di angan-angan seorang muslim sebagai pusat segala kesucian, sebuah kiblat. Saat menjalankan shalat lima waktu, sebuah momen suci sehari-hari, kita menghadap ke sana. Alas kita sujud hampir selalu bergambar Masjidil Haram dan Ka’bah: dua hal yang saat ini hanya ada di Makkah.
Makkah menjadi pusat kesetiaan ditambatkan. Kita sering mendengar nasihat, misalnya, sejauh apa pun memburu ilmu pengetahuan, di negeri mana pun, Makkah haruslah tetap nomor satu. “Otak Jerman, hati Makkah.”
Dan, tanpa sepenuhnya kita sadari, kita pun tak bisa membayangkan–buntutnya tak bisa menerima–adanya pusat kesucian selain Makkah. Ketika orang, atau suatu kelompok, sengaja bersembahyang tidak menghadap ke arah Makkah, kita akan segera menilainya sesat. Tanpa terlalu peduli dengan pengalaman batin mereka.
Kita juga reaksioner manakala ada sekelompok orang menunaikan haji ke tempat lain, bukan ke Makkah, semisal orang muslim Kajang, Sulawesi Selatan, yang menjalankan ritual mirip haji ke Gunung Bawakaraeng. Kita tak hanya menyebut mereka sesat, tapi juga tolol. Sesat, karena mempercayai ada pusat kesucian yang selevel Makkah. Tolol, karena meyakini mitos-mitos warisan leluhur tentang gunung dan lembah yang penuh kisah-kisah gaib.
Pusat selain Makkah, di pikiran seorang muslim, adalah mustahil. Meskipun, sebenarnya, kita hanya tahu Makkah yang sudah menjadi kiblat. Kita tak pernah tahu bagaimana Makkah berubah, sebelum dan sesudah Nabi Muhammad lahir, pra dan pasca-kerasulan. Makkah yang, sebetulnya, lebih sebagai kota pusat perdagangan ketimbang sebagai kota pusat kesucian dan peribadatan.
Abad 5 Masehi, yang menurut para ahli sejarah merupakan akhir pemerintahan Romania, adalah masa dibukanya jalur perdagangan darat lewat Hijaz. Jalur darat jadi alternatif, sebab pelayaran di Laut Merah mulai surut. Makkah merupakan salah satu kota penting di kawasan Hijaz. Rute ini menghubungkan dua kawasan bisnis terkenal: Syam dan Yaman. Dengan demikian, Makkah menjadi kota transit perjalanan para pebisnis zaman itu. Kalau boleh diibaratkan, Makkah itu mirip-mirip Singapura sekarang. Bedanya, Makkah kota transit jalur darat, Singapura jalur laut (sekaligus udara).
Al-Quran sendiri sedikit menyinggung soal aktivitas Kota Makkah ini. Bukalah Surah Quraisy. Disebutkan, orang Quraisy Makkah biasa melakukan perjalanan dagang. Jika musim panas, mereka ke Syam. Saat musim dingin, mereka menuju Yaman. Atas nikmat semacam ini, yakni bahwa baik musim dingin maupun panas, penduduk Makkah tetap punya peluang bisnis, hendaknya mereka menyembah Tuhan “…yang memberi makan mereka dan memberi rasa aman” (alladzî ath’amahum min jû’in wa âmanahum min khauf).
Seperti itulah Makkah sebelum Nabi lahir, bahkan masih tetap demikian hingga masa-masa awal kerasulan. Makkah bukan pusat kesucian. Ah, tapi bukankah ada Ka’bah yang sudah berdiri sejak masa Nabi Ibrahim? Benar, cuma Ka’bah ternyata tak segera membuat Makkah jadi kiblat. Ka’bah bukan sesuatu yang luar biasa bagi orang Arab. Di kawasan Arab saat itu, konon, ada 20-an lebih Ka’bah.
Dan, di masa-masa awal kerasulan, umat Islam bersembahyang tidak menghadap Makkah, tapi Baitul Maqdis di Palestina. Makkah baru jadi kiblat di kemudian hari. Dalam sebuah hadis riwayat Muslim, dikisahkan, suatu ketika para Sahabat menjalankan shalat subuh di Masjid Quba’. Mereka menghadap Baitul Maqdis. Tiba-tiba datang seseorang, “Nabi telah menerima wahyu, beliau diperintahkan untuk menghadap Ka’bah.” Jamaah masih ruku’ waktu itu. Tapi mereka segera memutar tubuh ke arah Makkah.
Kisah ini nyaris tak terdengar sekarang, meskipun banyak hadis sahih mencatatnya. Pengajar agama kita lebih suka menceritakan Makkah sebagai Tanah Suci yang tak terungguli kesuciannya. “Makkah sudah tercatat dalam Al-Quran. Orang yang memasukinya akan merasa damai,” begitu para ustad kita mengajarkan, sembari mengutip al-Baqarah (2) ayat 96-97. Makkah disebut Al-Quran dua kali, satu di al-Baqarah tadi, dan kedua di al-Fath.
Sehari-hari, kita rutin mendengar ajaran tentang keajaiban Makkah. “Hajar Aswad diambil dari permata yaqut dari surga.” Ustad lain menyambut, “Ka’bah itu lurus dengan A’rsy Allah di langit.” Atau, “Shalat di Masjidil Haram, sadakah di Makkah, sama nilainya dengan 100.000 kali lipat amal yang sama di tempat lain.” Kutipan-kutipan tersebut pun tercatat di hadis-hadis berbobot sahih. Bedanya, yang ini jauh lebih sering diceritakan, terutama tentang pahala yang berlipat seratus ribu itu.
Si Ayah tadi bisa jadi telah mendengar kisah-kisah itu puluhan kali. Tapi, dia mungkin belum sempat mendengar sebuah kisah kecil yang juga masih hidup meski terseok. “Perasaan, ustad yang mengimami mushola ini belum pernah menginjak Makkah, ya?” Demikianlah selepas shalat berjamaah, dua orang sedang berbincang lirih. “Ustad memang belum pernah berangkat ke Makkah,” kata si kawan yang diajak dialog, “untuk haji maupun umroh. Tapi ustad biasa sembahyang di sana.”
Jamaah pertama bengong. Agaknya dia kesulitan membayangkan: tidak pernah ke Makkah, tapi kok sering sembahyang di sana. “Ustad termasuk waliyullah,” si kawan menerangkan. Lalu ia mengatakan si ustad dianugerahi Allah kemampuan berkeliling jagad dalam sehari, bahkan beberapa detik.
“Jadi, ustad menunaikan haji tidak seperti orang-orang. Harus bayar. Antre lagi.”