Kemajuan teknologi di bidang informasi (IT) tak bisa dimungkiri telah memberi banyak kemudahan dan kenyamanan bagi manusia, khususnya dalam berkomunikasi dan berbagi informasi. Olehnya itu, tidak mengherankan, jika di satu sisi, perubahan begitu cepat terjadi dalam kehidupan kita dewasa ini.
Hal itu tak hanya terlihat pada gaya hidup manusia yang makin modern, tapi juga interaksi sosial serta cara pandang mereka terhadap sesuatu. Kemudahan dalam mengakses informasi tentu saja menjadi salah satu penyebab dari semua itu. Meski demikian, kita juga tidak bisa menafikan bahwasanya kemajuan IT ini menuai banyak sorotan berbagai kalangan, khususnya dalam hal penggunaannya.
Maraknya informasi hoaks, ujaran kebencian dan fitnah berseliweran di beberapa situs jejaring sosial beberapa tahun terakhir, membuktikan bahwasanya penggunaan teknologi modern itu tak hanya sebatas untuk menyampaikan pendapat, gagasan dan bertukar pikiran, tapi juga, oleh beberapa oknum atau kelompok dimanfaatkan untuk menyebar kebencian dan informasi sesat terhadap khalayak.
Akibatnya, medsos tak ubahnya seperti rimba raya yang tak bertuan, penuh sesak dengan makian, kebencian dan hinaan. Meski dalam interaksinya berjarak, namun ia tak mengenal status, batas usia dan profesi. Bahkan remaja berusia dini sekalipun tak merasa canggung berinteraksi secara kritis dengan orang lebih tua darinya.
Meski perilaku seperti ini masih terbilang wajar, namun yang menjadi persoalan, jika interaksi tersebut disertai makian dan ujaran kebencian hanya karena persoalan beda pilihan dan cara pandang. Hal ini seringkali terjadi, bahkan tak jarang menimpa mereka yang sudah sepuh sekalipun.
Fenomena ini semakin memperjelas bahwasanya medsos tak hanya menggerus adab kesantunan kita dalam berinteraksi, tetapi juga bisa menjadikan penggunanya menjadi tidak waras. Ketidakwarasan itu terlihat pada pola komunikasi yang tak lagi mementingkan adab, serta solusi dari permasalahan yang sedang didiskusikan.
Ketidakwarasan itu semakin tampak saat istilah “cebong”, “kampret”, “dungu” serta istilah-istilah lain yang digunakan untuk menyebut orang-orang yang berbeda pandangan dengan kita. Padahal dengan menggunakan istilah itu, sebenarnya mereka tidak hanya merendahkan diri sendiri dan orang lain, tapi juga merendahkan hasil ciptaan Tuhan, sebagaimana firman Allah SWT SWT “Sungguh kami telah memuliakan anak cucu Adam.” (Qs: al-Isra: 70).
Dalam ayat lain, Allah SWT Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki mencela kumpulan yang lain, boleh jadi yang dicela itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan mencela kumpulan lainnya, boleh jadi yang dicela itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (QS. Al Hujuraat:11).
Tampaknya kedua ayat ini tak memberi pengaruh, bahkan tak jarang ujaran kebencian yang disertai hinaan itu terlontar dari mulut orang-orang yang mengaku paham agama. Mereka sudah lupa diri disebabkan oleh arogansi dan kebencian yang berlebihan. Fenomena lupa diri ini semakin terasa jelang Pilpres.
Lewat media sosial mereka tak hanya membangun mobilisasi dan dukungan politik, tapi juga menyebar kebencian berbau SARA, akibatnya narasi politik kita pun semakin tidak mendidik. Karena aktornya didominasi oleh orang-orang yang tidak waras dan lupa diri, maka media sosial kita pun tak ubahnya seperti pentas seni yang mengerikan, penuh sesak dengan kebencian dan masalah yang tak kunjung menuai solusi.
Ketika ketidakwarasan mendominasi media sosial, maka yang dominan muncul adalah masalah, sebab salah satu tabiat orang-orang yang tidak waras adalah mereka lebih suka berpikir masalah daripada solusi. Makanya itu, orang-orang waras tidak boleh tinggal diam melihat fenomena ini, karena perilaku seperti ini tak berpotensi menciptakan kegaduhan, tapi juga kebencian antar sesama dan berpotensi menciptakan disintegrasi bangsa.
Suaib A. Prawono, Pegiat Perdamaian/Presidium GUSDURian Sulawesi.