Tulisan Yudi Latif (Kompas, 19/03/2020) sangat menarik. Dengan judul “Hitam-Putih Korona”, dia memberikan asa positif dari merebaknya pandemi ini. Yudi seakan membawa pusaran filosofi yin-yang ke dalam kerangka pikirannya. Begitulah begawan intelektual yang telah matang. Tenang, mendalam, sembari masih sempat melontar wacana ‘kritik’ atas para petani ‘udang di balik batu’ di tambak politik.
Bagi saya, tulisan Yudi Latif mengajak kita untuk berpikir dan bersikap secara seimbang. Kewaspadaan akan menjadi lebih komplit bila disertai dengan penyelarasan pengetahuan bahwa ada fakta meta-sains yaitu pola dan rahasia takdir.
Ekstrim sains menganggap, bahwa setiap permasalahan hidup bisa dijangkau, diprediksi dan akhirnya ditundukkan dengan penelitian saintifis. Tak butuh pertimbangan religius. Karena agama justru menghambat, kuno, bahkan memunggungi keilmuan mereka. Akhirnya berwaspada virus dengan ‘tuhan’ media, instruksi pemerintah, hand sanitizer, masker.
Ekstrim teologis, meyakini bahwa semua permasalahan hidup cukup diselesaikan dengan ‘ritual
keagamaan’ formal. Selama seseorang memenuhi wajib ritualnya, segala urusan dunia akan diselesaikan oleh Tuhan. Atau minimal malaikat-malaikat utusan-Nya. Tanpa butuh mengilmui alam tempat dia tinggal. Jadi, walau status pandemi diaklamasi secara internasional, mereka tetap ngopi rutin. Tak obat- obatan, tak steril-sterilan. Memangnya makhluk tuhan hanya dia saja? Atau dia sudah merasa sebagai kesayangan (wali) Tuhan?
Kita tinggalkan mereka. Biar asyik dengan dunianya masing-masing. Saya lebih tertarik mengetengahkan metode keselarasan living iman dengan terang pengetahuan. Karena keimanan dan keilmuan sama bersumber dari Yang Satu, yaitu Allah pencipta-pengatur jagad raya.
Pengetahuan Meditatif
Lamat-lamat ketika masuk dalam kesadaran diri sendiri. Akan ditemui beragam pikiran yang carup, campur, membaur, dan mengabur. Pandemi membawa implikasi ‘banjir bandang’ in-out informasi yang sebegitu menampar. Di dalam kepala saling bertunggang langgang antara informasi, kebutuhan, iklan, nafsu dan politik. Pengetahuan yang masuk jadi salang tunjang tak keruan.
Saat kondisi sedemikian, kita butuh bermeditasi. “Ah, terlalu lama”. “Lamban”. Tidak juga. Sedikitnya kita butuh menjaga pikiran tetap jernih dan waras. Serta hati dan perasaan tetap landai. Tak panik, tak kagetan. Kemudian yang terpenting tidak ikut menyebar informasi keliru (hoax) dan pengetahuan palsu.
Meditasi adalah menyatukan pikiran dan perasaan untuk mendapatkan ‘keaslian’ kondisi. Meditasi bukan milik para yogis atau pendeta-pendeta kelana dalam kisah Kembalinya Pendekar Rajawali, Pedang Langit dan Golok Pembunuh Naga dan cerita-cerita kependekaran yang lain. Bukan itu. Meditasi adalah perwujudan dari ketak-memadaiannya keriuhan yang berisik untuk menemukan diri yang otentik. Termasuk pengetahuan yang otentik.
Dalam tradisi Islam, meditasi dikenal dengan tafakkur. Merenungkan secara rasional keterkaitan fakta hidup dengan ayat-ayat Allah. Ayat Allah ini terdapat di tiga wilayah teks: teks tertulis, teks semesta,
teks hati (nurani). Teks tertulis adalah kitab suci Al-Qur’an, teks semesta adalah fakta hukum alam dan prinsip budaya, serta teks hati adalah dorongan intutif (asali) manusia untuk menerima kebenaran.
Demi keselarasan antara wahyu, alam dan gerak amaliyah, manusia membutuhkan meditasi atau uzlah diri. Tidak harus di gua Hira atau gua Langse yang masyhur dengan sejarah wangsit ilahiyah, tapi cukup di rumah saja. Persis anjuran saat ini. Dengan penambahan kesadaran penuh bahwa manusia tak serapuh yang diberitakan.
Petuah Kematian: Jangan Konyol!
Pandemi adalah simbol mendekatnya kematian. Kematian yang sedianya bersembunyi di tabir misteri, muncuk blak-blakan. Masuk ke rumah-rumah, melalui pintu depan maupun belakang. Masuk lewat media sosial, android genggam, Youtube, internet, koran, sampai obrolan-obrolan banyolan.
Tidak ada yang janggal bila manusia menolak kematian. Karena bertahan hidup adalah tuntutan alam. Semua makhluk menolak mati. Bahkan semut, kadal, ikan, cicak, semua menolak mati. Terlebih mati konyol.
Sebagai awam, kita tak pernah tahu—kalau perlu tak mau tahu—isu apa yang akan datang. Tetapi ada satu hal yang paling kita tahu, dan selalu ingin tahu, ialah bagaimana kita dapat terus bertahan hidup. Menjaga nyawa dari ancaman kematian.
Masyarakat kita, Indonesia, adalah mayoritas muslim. Sedang muslim manapun mengukuhi rukun iman yang sama. Di butir terakhir rukun iman tersebut, “qodho’-qodar” Tuhan adalah kepastian. Dalam konteks qodho’-qodar ini, kematian adalah kepastian yang tak tersilapkan. Tak bisa ditunda dan tak bisa diminta. Keimanan ini memberi kita nuansa sumeleh bahwa sekencang apapun kita ingin hidup; ingin kerabat dekat kita hidup, bila ajal telah tiba, maka terjadilah.
Dalam diskursus keilmuan, ada otoritas dan wilayah khusus yang hanya boleh dimasuki oleh ahlinya. Kita tidak perlu terlampau risau oleh vaksin dan langkah efektif terkait COVID-19. Sudah ada ahlinya. Sekuat apapun kehendak kita untuk berlaku layaknya pakar medis, tidak akan menutup fakta bahwa tak semua orang punya kemampuan untuk itu.
Langkah terbaik yang mungkin kita ambil adalah jangan sampai mati konyol. Anekdot mati konyol ini bisa dimisalkan dengan orang yang tahu bila rel kereta adalah jalur terlarang saat kereta api melintas. Sesiapa yang hanya modal PD (Percaya Deh) bahwa hidup di tangan Tuhan, lalu menyebrang menghadang kereta yang sedang melaju kencang adalah contoh mati konyol. Sama halnya dengan orang yang menyetorkan tangannya pada moncong king cobra dengan dalih ular juga makhluk Tuhan adalah sama konyolnya.
COVID-19 adalah pandemi. Dunia sedang risau karena virus ini masih ‘tanda tanya’. Belum ada kepastian serum dan kesembuhan bagi yang terjangkiti. Di saat yang sama penularannya terkategori cepat melesat. Dengan situasi seperti ini, tak waspada terhadap informasi dan resep medis otoritaif, kemudian dengan jumawa menantang ‘makhluk Tuhan’ yang satu ini, hanya dengan iman tanpa pengetahuan memadai, adalah contoh orang konyol.
Mati dengan membawa iman tentu akan melenggang ke surga. Namun bila kemudian di surga menjadi bahan tertawaan warga surga yang lain, khususnya para ulama yang menjadi agen ilmu-Nya Tuhan, saya tak dapat membayangkan. Tentu semua adalah pilihan masing-masing orang untuk menuju kematian yang dimpikan. Tetapi sepertinya, “mati konyol” bukan pilihan yang bagus.