Mawas-Diri dan Muhasabah Seorang Muslim

Mawas-Diri dan Muhasabah Seorang Muslim

Jika semakin banyak individu mau belajar dan sekaligus mau bermuhasabah, maka apa yang kita bayangkan sebagai ukhuwah yang erat sedikit demi sedikit akan tercapai.

Mawas-Diri dan Muhasabah Seorang Muslim
Malam adalah waktu dahsyat untuk lebih mengenal diri kita (Hexa R/Islamidotco)

Barangkali ini adalah zaman ketika makin banyak orang lebih suka berbicara keburukan orang lain ketimbang menghisab keburukan diri sendiri,  lebih suka mendengar untuk membantah demi memuaskan hasratnya untuk dianggap benar dan paham agama dan paling berhak masuk surga. Internet, dan terutama melalui blog atau media sosial, mempercepat tumbuhnya tunas-tunas perpecahan ini.  Internet menghadirkan “kecepatan” penyebaran yang mengagumkan. Ini bukan hal buruk jika dikelola dengan baik; namun, entah sadar atau tidak, kecepatan diam-diam menjadi semacam obsesi.

Banyak orang ingin buru-buru dalam berbagai hal, seperti ingin cepat kaya, cepat sukses, dan sebagainya – dan sayangnya, obsesi ini dibawa pula ke dalam ranah agama. Orang ingin cepat paham agama, ingin cepat menjadi benar dan alim. Tetapi ketergesa-gesaan selalu membuat banyak hal luput dari perhatian.Sebagaimana kita buru-buru mengerjakan sesuatu, yang biasanya justru akan berantakan, demikian pula buru-buru ingin benar dan paham agama membuat kita lupa bahwa menjadi “baik” dan “alim” bukanlah soal yang bisa kita lakukan dalam waktu singkat.

Agama bukan hanya soal berapa banyak kita hafal dalil,  bukan hanya seberapa luas pengetahuan penafsiran kita; tetapi agama juga tentang seberapa luas kebaikan akhlak kita, baik itu akhlak kepada diri sendiri, orang lain, alam maupun kepada Tuhan.

Ayat-ayat Allah diturunkan kepada kita itu untuk pelajaran dan perenungan bagi diri kita agar menjadi hamba sesuai dengan yang dikehendaki-Nya. Ayat-ayat itu bukan sebagai alat untuk mendamprat, menghina dan menistakan pihak lain. Kita sering lupa bahwa penilaian kita atas orang lain selalu dipengaruhi, sekaligus dibatasi, oleh seberapa luas pemahaman kita, seberapa bersih hati kita.

Orang-orang arif pernah mengatakan, adalah lebih mudah mengajari orang lain daripada mengajari diri sendiri. Mengajari diri sendiri berarti melatih mengendalikan hawa nafsu yang menjadi bagian integral dari diri sendiri. Dan kita tahu betul bahwa hawa-nafsu adalah sesuatu yang sulit ditaklukkan. Hawa-nafsu begitu samar dan halus; ia bisa meminjam kebaikan untuk memuaskan dirinya sendiri, bahkan untuk tujuan yang jahat dan buruk.

Sudah berapa banyak orang yang menggunakan, mengeksploitasi, dan bahkan menjual ayat-ayat Tuhan demi ambisi nafsu-syahwat kekuasaan, uang, dan kemasyhuran?

Ketika orang lebih suka memandang keburukan, lalu menghakimi dan menghujat orang lain ketimbang diri sendiri, maka ia cenderung akan memaksakan pendapatnya tentang agama sebagai satu-satunya pendapat yang paling benar. Pendapat orang lain yang tidak sejalan akan selalu dipandang salah, bahkan sesat. Ini seolah-olah mereka menganggap pemahaman mereka sendiri sudah setara dengan pemahaman kanjeng Nabi. Demikian kira-kira contoh bagaimana hawa-nafsu begitu lihai menjebak diri kita melalui ilmu kita, hingga kita sampai pada level kesombongan tanpa sadar.

Syekh Al-Muhasibi, tokoh sufi yang amat tekun bermuhasabah, mawas-diri secara kognitif dan spiritual. pernah mengatakan seperti ini: “Semakin banyak orang saling bersaksi tentang kekafiran dan kesesatan orang lain sampai pada tindakan menghalalkan darah kelompok yang tidak sejalan dengan mereka, padahal sebelumnya mereka bersaudara dalam urusan Allah dan saling bersepakat.”

Ada “keanehan” jika orang mau bermuhasabah. Pada awalnya orang meneliti dan merenungi dirinya sendiri, menyaksikan berbagai keburukan dari yang paling jelas, dan perlahan-lahan melihat begitu banyak tipuan hawa-nafsu dan syahwat yang terselip dalam amal apapun. Maka makin takutlah ia kepada Allah, dan makin merasa sangat butuh pertolongan-Nya. Ia merasa hina, dan tawadhu’nya menjadi makin murni.

Pada saat yang sama setiap kali ia berusaha keras bertaubat atas segala dosa yang dilihat dalam dirinya sendiri, ia sekaligus perlahan-lahan melihat rahmat dan kasih-sayang-Nya, yang tiada batas. Jika istiqomah, dalam analisis terakhir, akan tumbuh sifat welas asihnya. Semakin mengenali dirinya, orang akan melihat bahwa dalam kemanusiaan ada rahasia kasih-sayang-Nya. Karena agama sesungguhnya adalah untuk memperbaiki akhlak, yakni agar manusia mengejawantahkan pantulan keagungan, kebaikan dan keindahan yang dipancarkan dari Nama-Nama-Nya.

Muhyiddin Ibn ‘Arabi pernah mengatakan“Cinta” adalah salah satu alasan utama dari penciptaan semesta. Wujudnya adalah kasih sayang-Nya yang tanpa batas. Meskipun dalam praktiknya kita sulit menjadi “manusia” sebagaimana yang Dia kehendaki, meski dalam kenyataan dunia ada begitu banyak kengerian, teror dan kekejaman, dan segala daya-daya kegelapan yang senantiasa membayang kehidupan, manusia tidak diperbolehkan putus asa, sebab Allah berfirman: “dan janganlah berputus asa dari Rahmat Allah” — Mungkin ini karena bani Adam adalah adalah wadah paling baik dari tajalli-Nya, sebab dikatakan “Manusia diciptakan sesuai dengan citra ar-Rahman,” dan “Aku adalah rahasia insan, dan insan adalah Rahasia-Ku.” Maka agama sesungguhnya mengajarkan agar kita menjadi manusia — memanusiakan manusia. Memanusiakan manusia lain adalah sama artinya memanusiakan diri sendiri.

Jika demikian, dan ini disadari dan dihayati serta diamalkan dalam laku keseharian, maka perbedaan-perbedaan apapun, entah ras, agama, kedudukan dan sebagainya, yang adalah keniscayaan, sebenarnya tak perlu menjadi soal, bukan halangan untuk menghormati dan saling berkasih-sayang sesama manusia. Seperti dikatakan Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan: “Jika sulit mencari alasan untuk menghormati pemeluk agama lain, maka alasan bahwa manusia adalah ciptaan Allah SWT adalah sudah cukup.” 

Imam Ali karamallahu wajhah berkata, “Dia yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan.”  Sikap welas asih muncul karena diri sudah tak merasa lebih baik ketimbang orang lain, karena menyaksikan setiap manusia punya masalah dan setiap orang, entah apapun agama dan keyakinannya, diam-diam punya kerinduan untuk “pulang” ke sisi-Nya dalam keadaan baik.

Umat terdiri dari individu; jika semakin banyak individu mau belajar dan sekaligus mau bermuhasabah, maka apa yang kita bayangkan sebagai ukhuwah yang erat sedikit demi sedikit akan tercapai, menjadi ummat yang diharapkan mewujudkan salah satu tujuan ajaran kanjeng nabi, “rahmatan lil-alamin.”

Tetapi, sebaliknya, jika kita gagal mengakui diri bisa salah, enggan bermuhasabah,  hanya memaksakan tafsirnya sendiri yang boleh jadi disusupi banyak keinginan pribadin dan hawa-nafsu, maka kita akan menjadi golongan yang membatasi rahmat Allah – seolah-olah Rahmat Allah hanya turun pada golongan mereka sendiri. Demikianlah akibat dari memperalat kebenaran wahyu demi nafsu-syahwatnya sendiri.

Sebenarnya, Allah sendiri telah memperingatkan, “”Andaikata kebenaran (haqq) itu mengikuti hawa-nafsu, maka binasalah langit dan bumi” [Q.S. al-Mu’minun: 71].

Syekh al-Muhasibi ratusan tahun lalu memberi nasihat tentang akhlak batin yang terkait erat dengan hawa-nafsu kita –  sebuah nasihat yang masih sangat relevan hingga saat ini:

Dan bagaimana engkau bisa menghina seorang Muslim sedangkan engkau tidak mengetahui kesudahan hidupnya dan kesudahan hidupmu sendiri, juga tidak mengetahui rumah yang mana di antara surga dan neraka tempat engkau kembali?

Maka jika engkau menasihati dirimu, sesungguhnya dirimu itu lebih berhak untuk mendapatkan penghinaan. Bukankah engkau lebih mengetahui tentang keburukan-keburukan jiwamu dan kekejian jiwamu daripada orang lain? Maka jika engkau mengira bahwa dirimu mampu mengetahui rahasia orang lain seperti halnya rahasiamu, sesungguhnya engkau telah mengaku-aku perkara yang amat besar, karena sesungguhnya engkau tidak mengetahui rahasia orang lain seperti halnya rahasiamu kecuali dengan merendahkan dirimu dan tidak menganggap dirimu suci [dan paling benar].

Sesungguhnya terlarang bagimu untuk menganggap utama dirimu, juga terlarang untuk menganggap dirimu [paling] suci. Sebab, siapa tahu, barangkali engkau pada hari kiamat kelak berada di bawah telapak kaki orang-orang yang telah engkau remehkan, engkau caci maki dan engkau hina-hina di dunia. Renungkanlah apa yang engkau dengar, kemudian mintalah bantuan kepada Allah untuk melenyapkan kesombongan dari hatimu. Semoga Allah melindungi kita dari hal demikian.[]