Kita semua pasti mengira bahwa orang Arab Jahiliyah adalah orang yang bodoh dan tidak mengerti peradaban, berdasarkan makna dari kata jahiliyah sendiri yang berarti bodoh. Hal ini dibantah oleh Said Aqil Husein al-Munawar, mantan menteri agama era Megawati ini menyebutkan bahwa jahiliyah bukan berarti bodoh secara peradaban, melainkan bodoh dalam hal akhlak dan perilaku.
Dalam hal pernikahan suami istri misalnya kita mengenal istilah thalaq (talak). Sebagaimana yang kita kenal sekarang, bahwa talak hanya ada sampai tiga talak. Namun hal ini tidak berlaku bagi orang Arab Jahiliyah. Mereka bebas menalak istri mereka kapan saja dan berapa kali saja, dan bebas merujuknya kapan saja.
Hal ini juga disinggung oleh Al-Quran dalam surat al-Baqarah ayat 228,
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ ۗ
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
Ibn Asyur dalam al-Taḥrīr wa al-Tanwīr menyebutkan dengan mengutip kaul Aisyah bahwa ayat di atas merupakan pembenahan dari Al-Quran atas talak laki-laki Arab Jahiliyah yang tidak terbatas. Bahkan berdasarkan penuturan Urwah, pada masa itu seorang laki-laki bebas mentalak istrinya hingga seratus kali dan merujuk serta menggaulinya kembali tanpa ada batasan.
Selain itu, masalah zina juga sangat umum terjadi di seantero bangsa Arab, bahkan tidak ada satu sukupun yang terbebas dari masalah ini. Kisah pertengkaran antara Saad bin Abi Waqash dengan Abd bin Zamʽah terkait anak yang dikandung Ummu Zamʽah, yaitu Abdurrahman bin Zam’ah merupakan salah satu bukti kebebasan berzina saat itu. Kisah ini bisa kita baca dengan jelas dalam Sunan Ibn Mājjah, karya Muhammad bin Yazid al-Qazwaini.
Dalam urusan terkait anak, mereka terkadang mengubur anak perempuan mereka karena takut aib, ada juga yang membunuh anak-anak mereka karena khawatir jatuh miskin dan fakir karena harus mengurusi banyak anak, bahkan berdasarkan penjelasan al-Mubarakfury dalam al-Rahiq al-Makhtum, ada sebagian orang yang sangat ingin memiliki anak laki-laki sebagai salah satu cara untuk menakut-nakuti musuh mereka.
Berkaitan dengan urusan keluarga, mereka sangat fanatik dengan kabilah-kabilah mereka. Hampir setiap kabilah memiliki aturan masing-masing yang telah ditetapkan oleh para tetuanya. Al-Mubarakfury juga bercerita bahwa mereka bahkan rela mati demi nama kabilah masing-masing. Ada sebuah pepatah Arab Jahiliyah yang terkenal, yaitu “Unṣur akhāka dzāliman aw madzlūman,” (bantulah saudaramu, baik dalam posisi sebagai orang yang menganiaya atau sebagai korban penganiayaan).
Sedangkan dalam urusan antar kabilah atau antar suku, berdasarkan penuturan al-Mubarakfury, mereka saling bermusuhan. Kekuatan dan ketinggian suatu kabilah dinilai dari peperangan, siapa yang menang dalam peperangan, kabilah itulah kabilah yang kuat dan menjadi kabilah berpengaruh.
Begitulah kondisi masyarakat Arab pra Islam, semua hidup tidak beraturan, bahkan al-Mubarakfuri menyebutnya sebagai hidup dengan cara binatang, yang kuat yang berkuasa, perempuan sudah tidak seperti manusia yang memiliki hak hidup. Mereka ibarat benda mati yang diperjualbelikan dan diwariskan. Sedangkan para penguasa tidak memberikan ketenangan dan kesejahteraan, malah mereka hanya membuat masyarakat semakin terpuruk dalam kesedihan.
Beberapa hal inilah yang menjadi sebab Allah SWT menurunkan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam hadisnya, “Aku diutus Allah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.“
Wallahu a’lam.