Shalat merupakan salah satu praktik ubudiyah yang telah ditetapkan tata caranya dan ketentuannya dalam syariat. Sebagian di antaranya, ketentuan ini disertai dengan waktu, dan sebagian lain tidak ditetapkan dengan waktu.
Meskipun demikian, kedua model ubudiyah sholat ini memiliki tujuan dan esensi yang sama, yaitu sebagaimana sarana mendekat kepada Allah SWT dan bukan lainnya. Hal ini tercermin dalam beberapa ayat yang secara jelas menyatakan beberapa faedah dan fungsi tersebut, antara lain: sebagai sarana penenang (Q.S. Al-Taubah [9]: 103), sarana mengingat Allah (Q.S. Thaha [20]: 14), sarana untuk mendekat (Q.S. Al-Zumar [39]: 3).
Dengan melihat beberapa fungsi tersebut, maka tidak heran bila kemudian syariat pun menetapkan tata cara pelaksanaannya, termasuk di antaranya harus menggunakan pakaian yang suci, tempatnya suci, bahkan dalam wilayah tertentu disunnahkan memakai perhiasan / baju terbaik saat melakukannya (Q.S. al-A’raf [7]: 31).
Tidak hanya berhenti di situ, hikmah disyariatkannya shalat qashar dan shalat khauf, hakikatnya juga tidak meninggalkan fungsi pokok dari shalat tersebut. Kita bisa menangkap maksud pesan ini sebagaimana penjelasan dari al-Qur’an Surat Al-Nisa [4] ayat 103-104. Allah SWT berfirman:
فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ ۚ فَإِذَا اطْمَأْنَنتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ ۚ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا. وَلَا تَهِنُوا فِي ابْتِغَاءِ الْقَوْمِ ۖ إِن تَكُونُوا تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ ۖ وَتَرْجُونَ مِنَ اللَّهِ مَا لَا يَرْجُونَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
Artinya:
“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari pada Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Al-Nisa [4]: 103-104)
Di dalam ayat ini, perintah yang hendaknya senantiasa dipegang oleh seorang hamba, ketika hendak menunaikan shalat, adalah mengupayakan tercapainya kondisi ithma’nantum (merasa aman/tenang). Kondisi aman dan tenang saat hendak sholat ini, mencakup banyak aspek. Pertama, aman dari gangguan musuh. Contoh dari praktik ini adalah shalat khauf. Itulah sebabnya, di dalam syariat, agar tercapai kondisi ini, di atur mengenai tiga tata cara berbeda melaksanakan sholat khauf, yaitu: 1) saat musuh berada di arah kiblat, 2) saat musuh berada di arah selain kiblat, dan 3) saat perang sedang berkecamuk.
Ketiga kondisi yang melingkupi ini, menjadikan tata cara shalat khauf menjadi berbeda-beda pula. Sekali lagi, perbedaan tersebut, hakikatnya adalah berusaha menciptakan rasa aman/tenang terlebih dulu, sebelum menunaikannya.
Dengan rasa tenang dan aman itu, esensi shalat sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT tidak menjadi ternistakan, sebagaimana hal ini tercermin dalam awal ayat Surat An-Nisa [4] ayat 104 di atas, yaitu wa la tahinu fi ibtighai al-qaumi (janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Seolah ayat ini mengandung pemahaman: “akibat dari serangan musuh terhadapmu, janganlah kamu menjadikan kewajiban sholatmu menjadi terhinakan sehingga engkau melalaikan sholatmu sehingga engkau menunaikannya di tempat yang dihinakan!” Alhasil, ayat ini secara tidak langsung adalah memuat perintah agar mengupayakan terciptanya situasi tenang / aman (thuma’ninah).
Kedua, aman dari kondisi yang menyakiti jasmani. Contoh dari praktik ini adalah diperbolehkannya menjama’ shalat bagi orang yang tinggal di perkampungan saat terjadi mathar (hujan) dan terhalang dari mendatangi jamaah/masjid.
ولا جناح عليكم إن كان بكم أذى من مطر أو كنتم مرضى أن تضعوا أسلحتكم
Artinya:
“Tidak dosa bagi kalian jika kondisi kalian tersakiti karena hujan atau sakit untuk menaruh senjata kalian.” (Q.S. Al-Nisa [4]: 102).
Diksi adza (tersakiti) dalam ayat ini, bermakna kondisi yang menyebabkan tidak tenang ketika melaksanakan shalat, sehingga menghilangkan esensi keharusan menciptakan situasi thuma’ninah (aman dan tenang secara situasional). Sebagaimana kondisi ini juga tercipta akibat rundungan rasa sakit karena sakit yang diderita oleh seorang hamba sehingga menyebabkan lahirnya masyaqqah (kesulitan) karena harus menahan sakit.
Oleh karena itu tidak heran, bila kemudian syariat juga menetapkan beberapa tata cara melaksanakan sholat saat seorang hamba dirundung sakit, yaitu dengan cara duduk, berbaring sambil miring ke kanan, berbaring sambil telentang, atau dengan mengikuti isyarat. Semua ini disyariatkan untuk tujuan menciptakan kondisi thuma’ninah (tenang/aman secara situasional).
Sebagai bentuk penekanan terhadap tuntunan menciptakan kondisi tenang ini, bahkan syariat pun sampai menyampaikan larangan mendhalimi diri sendiri ketika hendak sholat. Allah SWT berfirman:
فلا تظلموا فيهن أنفسكم
Artinya:
“Janganlah kalian mendhalimi diri sendiri di dalam al-asyhuri al-hurum!” (Q.S. al-Taubah [9]: 36).
Larangan mendzalimi diri sendiri dalam asyhuri al-hurum di sini bermakna umum. Dengan kata lain, ia tidak hanya terbatas pada aspek menjaga kehormatan bulan-bulan yang mulia, melainkan juga dalam situasi yang lain dan praktik ibadah yang lain yang diperintahkan keharusan menciptakan ketenangan/aman. Buktinya adalah, dalam beberapa teks disebutkan agar saat hendak melakukan shalat, hendaknya seorang hamba melakukan siwak.
Tujuan utama dari bersiwak adalah menghilangkan bau mulut yang bisa menyakiti tetangga kanan kiri barisan shaf shalat. Menyakiti tetangga kanan kiri shaf, adalah bagian dari kedzaliman, itulah sebabnya seorang hamba diperintah bersiwak. Jadi, bukan sebab shalat seorang hamba sebagai tidak sah karena bau mulutnya menyengat, melainkan unsur kedzaliman dan menciptakan rasa tenang itu yang harus diutamakan.
Itulah sebabnya, bila ada seorang yang nekad menerjang larangan syariat di atas, sehingga ia melakukan hal kebalikan dari apa yang diperintahkan, maka orang tersebut dapat disebut sebagai pihak yang telah melakukan tindakan menselisihi naskah anjuran yang utama (khilaful ula). Misalnya, shalat di bawah guyuran hujan.
Tindakan seperti ini adalah menyerupai kaum yang menselisihi pendapat yang utama, sehingga hukumnya bisa makruh, atau bahkan haram karena terciptanya ghuluw (berlebih-lebihan) dalam melaksanakan ajaran agama, kendati shalatnya tetap sah. Ibarat seorang laki-laki yang menunaikan jual beli, saat kumandang adzan jum’at telah dikumandangkan. Jual belinya sah, namun haram karena ada perintah meninggalkannya saat terdengar seruan adzan Jum’at.