Masjid Zaman Rasulullah Bukan untuk Kepentingan Politik

Masjid Zaman Rasulullah Bukan untuk Kepentingan Politik

Bagaimana Rasulullah menggunakan masjid? Apakah juga untuk kepentingan politik?

Masjid Zaman Rasulullah Bukan untuk Kepentingan Politik
Masjid Nabawi (gambar: http://www.richardwilding.com/)

Masjid di dalam Islam merupakan tempat yang sakral. Karena kesuciannya dianjurkan untuk selalu membersihkannya dan menghindarinya dari hal-hal kotor. Untuk persoalan transaksi mu’amalah seperti jual beli pun itu dilarang, apalagi kepentingan politik.

Di dalam al-Quran disebutkan bahwa ada anjuran untuk memakmurkan masjid, innama ya’muru masajid allah man amana billahi wal yaumil akhir. Makanya, di masjid-masjid sekitar, kita mengenal adanya takmir masjid, mereka yang menghidupkan kegiatan masjid berupa pengajian, diskusi dan sebagainya.

Namun, sangat disayangkan jika kita melihat ada beberapa aktivitas, kegiatan masjid dikarenakan adanya dibubuhi unsur-unsur politik dan hasrat kekuasaan, sehingga kerap kali dengan adanya unsur politik tersebut masyarakat terpolarisasi. Karena tujuan tersebut, kita lupa bahwa masjid pada masa Nabi Muhammad  dibangun karena beberapa alasan.

Setidaknya ada beberapa fungsi masjid pada masa Nabi. Pertama, sebagai tempat ibadah. Hal ini terlihat dalam sejarah Islam awal, di mana masjid yang dibangun pertama oleh Nabi adalah Masjid Quba. Masjid ini pun disebutkan dalam al-Quran (al-Taubah:108). Masjid ini dibangun dalam perjalanan Nabi Muhammad Saw menuju Madinah.

Kedua, untuk memberikan ketenangan kepada mereka yang akan solat. Ini terlihat dari sabda Nabi Muhammad Saw kepada Bilal ketika memintanya untuk mengumandangkan adzan, arihni ya bilal.

Ketiga, untuk menghendaki adanya mempersatukan dan menghindari perpecahan antar umat. Hal Ini tampak pada keberadaan masjid Nabawi yang oleh Nabi menerima berbagai kalangan. Nabi mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshor di Madinah. Bahkan pada satu waktu, Nabi Muhammad Saw menerima tamu orang kaum kristen dari Najran yang datang kepada Nabi untuk melakukan pembaptisan.

Dalam sejarah Islam, Madinah merupakan kota di mana Nabi Muhammad Saw hidup di dalam tiga komunitas beragama yang berbeda, yaitu kaum Muslimin, kaum Nasrani, dan Kaum Yahudi. Dari fakta ini, terlihat bahwa masjid menjadi pemersatu dan penguatan solidaritas sosial agar masyarakat tidak terpecah belah.

Keempat, peran masjid untuk pengembangan ilmu, pengajian dan pendidikan. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh KH. Ali Mustofa Yaqub, salah satu fungsi masjid pada zaman Nabi merupakan tempat untuk pengembangan budaya dan ilmu pengetahuan. Di masjid Madinah, kala itu, diketahui masjid dijadikan tempat penggemblengan para ahli suffah, di mana di sana ada asrama untuk belajar, berdiskusi, dan melakukan kajian. Kelompok suffah itu sendiri terdiri dari 200-300 orang untuk berkumpul, membentuk kajian ke-Islaman dan sebagainya.

Untuk fungsi yang terakhir ini, KH. Ali Mustofa Yaqub menerangkan bahwa konteks fungsi masjid sebagai asrama, tempat penggemblengan pendai itu terjadi pada masa nabi. Jadi jika digunakan sekarang untuk kepentingan pendidikan dan tempat asrama, rasanya kurang tepat.

Dari empat gambaran fungsi masjid di atas, lantas layakkah jika masjid dijadikan arena dan sarana untuk meraup keuntungan politis semata dan cenderung membuat polarisasi di masyarakat. Jika sudah demikian, kita patut bertanya, ke mana fungsi masjid sebagai tempat beribadah, pengajian, kajian ke-Islaman dan dakwah islam?