Radikalisme merangsek ke masjid-masjid tanpa kita sadari. Sabtu (17/11), Staf Khusus Kepala Badan Intelijen Negara, Arief Tugiman, dalam diskusi “Peran Ormas Islam dalam NKRI” di Kantor Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) Jakarta menyampaikan, terdapat 11 masjid kementerian, 11 masjid lembaga, dan 21 masjid BUMN terindikasi terpapar radikalisme. Lebih lanjut, ia merinci bahwa 7 masjid terpapar radikalisme dalam kategori rendah, 17 masjid terpapar radikalisme pada kategori sedang, dan 17 masjid sisanya terpapar radikalisme tingkat tinggi.
Selain itu, menurut pendataan BIN ada sekitar 500 masjid di seluruh Indonesia yang terindikasi terpapar paham radikal. Di sisi lain, ada sekitar 39 persen mahasiswa di 15 propinsi di Indonesia tertarik paham radikal. Ternyata, ada data lain bahwa 19,4% Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak setuju dengan Pancasila dan lebih percaya dengan ideologi khilafah. Data tersebut dirilis oleh Lembaga Alvara Strategi Indonesia. Meski termasuk data lama, data tersebut tetap harus diperhatikan. Hal ini dikarenakan berbagai sikap yang menunjukkan ketidaksetujuan terhadap Pancasila serta terindikasi radikalisme atas nama agama bisa berpotensi mengancam stabilitas negara.
Radikalisme atas nama agama bukan termasuk fenomena baru, terutama dalam konteks Indonesia. Fenomena ini bahkan sudah ada sejak pasca kemerdekaan Indonesia, dengan munculnya Negara Islam Indonesia oleh Tentara Islam Indonesia. Meski sudah ditumpas, pemikiran semacam ini tidak akan pernah bisa mati. Mereka bermetamorfosis dalam bentuk dan pola gerakan yang lain untuk melancarkan pemikirannya. Terlebih lagi ketika situasi politik global menunjukkan semakin stagnannya kondisi umat Islam dunia, terutama semakin banyak negara Islam yang menjadi korban hegemoni Barat. Ditambah lagi dengan kondisi dalam negeri yang dirasa belum menunjukkan perbaikan secara signifikan. Faktor-faktor ini membuat kefrustasian sebagian umat Islam semakin meningkat sehingga memicu pemikiran dan pergerakan anti Pancasila dan radikalisme atas nama agama dalam Indonesia semakin subur.
Mengenai masjid yang terpapar radikalisme atas nama agama ini, sejatinya sudah harus dicarikan solusinya. Kelemahan internal yang ada adalah pengurus masjid kurang memperhatikan mengenai dinamika pemikiran dan kajian keagamaan yang ada di dalam masjid. Selain itu, sebagian pengurus masjid juga mengikuti tren kajian keagamaan saat ini, tanpa bisa menimbang mengenai kualitas dan arah pemikiran ustadz-ustadz yang membawakan kajian. Atau, pengurus masjid justru bisa jadi terkena pengaruh pemikiran radikal atas nama agama.
Di sisi lain, kekuatan eksternal semakin meningkat, berupa semakin gencarnya kalangan radikalis yang memetakan dan mengincar tempat ibadah sebagai tempat untuk menyebarkan pemikirannya.
Jika menilik data, para radikalis sudah bisa dianggap berhasil dalam hal ini, karena sudah dapat mengambil alih arah gerakan masjid, baik milik pemerintah, organisasi keislaman, maupun masyarakat. Beberapa masjid milik warga Nahdlatul ‘Ulama berhasil disusupi dan kemudian digunakan untuk menebar pemikiran radikal. Oleh karena itu, muncul reformasi dalam tubuh Nahdlatul ‘Ulama untuk semakin menggalakkan pemasangan papan nama masjid milik Nahdlatul ‘Ulama dan mereformasi pengurus masjid melalui Lembaga Takmir Masjid dan Lembaga Dakwah.
Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan juga pernah menemukan masjid Muhammadiyah yang terkena infiltrasi gerakan radikalisme sehingga kajiannya dan khotbahnya mengarah pada menganggap kelompok lain sesat. Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan mengeluhkan masjid Muhammadiyah di Sendang Ayu yang awalnya tenang menjadi bergejolak karena kajiannya mengarah pada sikap menyalahkan kalangan lain. Keluhan tersebut lantas ditulis dalam “Sendang Ayu: Pergulatan Muhammadiyah di Kaki Bukit Barisan” yang dimuat di Suara Muhammadiyah 2 Januari 2006. Farid Setiawan, mantan Ketua Umum Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah DIY, juga pernah menulis “Ahmad Dahlan Menangis” yang berisi desakan kepada Muhammadiyah agar semakin merapatkan barisan sehingga masjid-masjid tidak dimasuki oleh virus kebencian dan radikalisme.
Keberhasilan kaum radikalis ini hendaknya semakin menggugah semangat masyarakat untuk bergerak menghalau setiap pemikiran yang mengarah pada perpecahan. Setiap masyarakat hendaknya paham bahwa kualitas agama pada diri penceramah bukan terletak pada seberapa terkenalnya dia, tetapi terletak pada kejelasan rekam jejaknya yang tidak memunculkan kontroversi dan arah kajian yang disampaikan untuk menciptakan persatuan dan kesatuan.
Selain itu, asertivitas masyarakat untuk menghadang pemikiran radikalisme atas nama agama sangat dibutuhkan. Jika dalam forum kajian (bukan khotbah) ada penceramah yang mengarah pada menganggap kelompok lain telah salah, bahkan mengarah pada kebencian terhadap Pancasila dan NKRI, maka masyarakat sudah saatnya untuk berani memberikan perspektif lain yang tak kalah kuat. Pemilihan khotib Jumat pun harus dilakukan secara selektif. Cara Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan yang memberikan pemahaman kepada warga Muhammadiyah Sendang Ayu tentang cara menghadapi perbedaan dan membangun asertivitas warga Muhammadiyah untuk menolak penceramah radikal patut dicontoh.
Fungsi kontrol yang dimiliki oleh masyarakat bukan hanya berlaku terhadap penceramah, tetapi juga terhadap pengurus masjid. Hal ini dikarenakan untuk mencegah pengurus masjid yang lengah dalam penentuan ceramah dan materi kajian. Di sisi lain, pengurus masjid hendaknya bersikap adil, artinya bukan hanya memprioritaskan penceramah dengan pola pikir tertentu saja, tetapi juga memberikan ruang terhadap penceramah lain yang memiliki perspektif lain.
Pemerintah pun juga jangan sampai tertinggal dalam berperan. Pemerintah tidak boleh kecolongan lagi. Masjid-masjid milik pemerintah yang sudah terpapar radikalisme harus segera direformasi. Sedangkan, masjid-masjid yang belum terpapar, semakin dijaga agar tidak tersusupi pemikiran radikal atas nama agama. Pemerintah harus mengembalikan fungsi masjid sebagai tempat ibadah yang menyatukan dan menuntut ilmu yang mencerahkan, bukan malah menebarkan kebencian sehingga menyulut perselisihan dan perpecahan. Pemerintah juga sudah saatnya menindak tegas secara hukum para PNS yang terindikasi anti Pancasila serta membangun suatu sistem untuk menjaga kualitas dari komitmen PNS terhadap Pancasila dan NKRI.