Pertemuan saya dan Masjid Hidayatullah berlangsung secara tidak sengaja. Ketika saya tengah mencari makan siang di bilangan Karet Semanggi, Jakarta, penampakan menara masjid ini mendadak menyita perhatian saya. Sekelebat mata, meskipun tanpa warna merah menyala, bentuk atap di menara masjid mengingatkan saya pada arsitektur khas kelenteng.
Pemandangan yang hanya sekejap itu mengusik rasa ingin tahu saya. Sebab saat itu saya sadar saya tak sedang pelesir ke pecinan. Saya berada tak jauh dari persimpangan Jalan Sudirman dan Jalan Prof. Satrio. Persis di tengah hiruk-pikuk keramaian ibu kota dan dikelilingi oleh lautan gedung pencakar langit. Masa iya, ada masjid bercorak Tionghoa di sini?
Baca Juga: Begini Cara Ibrahim bin Adham Berhijrah
Pertanyaan itu membawa saya menelisik lebih jauh. Penampakan masjid dari arah luar tak dapat terlihat dengan jelas. Fasad masjid tertutup deretan tenda PKL penjaja makanan yang berjajar memenuhi pagar masjid. Praktis, masjid bercat putih-kuning gading ini hanya bisa dilihat dari arah gerbang utama yang bertuliskan “Masjid Hidayatullah”.
Lokasi masjid di sisi aliran Kali Krukut menguatkan dugaan akan adanya pengaruh Tionghoa pada masjid ini. Menurut fengsui, aliran sungai dianggap sebagai simbol mengalirnya rejeki. Sebab itulah masyarakat Tionghoa, terutama para pedagang, kerap mendirikan tempat ibadah di dekat sungai. Apalagi tak jauh dari masjid ini juga terdapat Vihara Amurva Bhakti alias Vihara Hok Tek Tjeng Sin.
Seusai makan, saya memutuskan untuk berkunjung ke dalam masjid. Begitu memasuki pelataran masjid, saya langsung mendongakkan kepala untuk mencermati bagian atapnya. Benar saja dugaan saya, Masjid Hidayatullah memang merupakan masjid yang dibangun dengan corak Tionghoa. Saya menemukan masjid ini memiliki model atap jurai dilengkapi ujung bubungan melengkung, dengan bentuk yang disederhanakan.
Bentuk atap jurai sangat lazim dipakai masyarakat Tionghoa sebagai identitas bangunan tempat ibadah atau rumah orang-orang yang terpandang di masa lampau. Sedangkan ujung bubungan yang melengkung ke atas dipercaya berguna untuk menghindarkan hal-hal buruk dari langit agar tidak masuk ke dalam bangunan.
Secara lebih detail, atap masjid ini juga bersusun dalam tiga tingkat. Dalam tradisi Tionghoa, atap bertumpang tiga dapat menunjukkan kesakralan bangunan ini sebagai tempat ibadah. Semakin banyak tingkat di atapnya, semakin sakral lah bangunan tersebut. Mengingat fungsinya sebagai masjid, atap tumpang di Masjid Hidayatullah dapat pula dimaknai sebagai tiga tingkatan keimanan seorang mukmin, yakni Islam, iman, dan ihsan.
Setelah berada di dalam, baru lah saya menyadari kalau masjid ini terdiri dari dua bangunan yang terpisah. Menariknya, bangunan yang baru ditambahkan tahun 1999 sengaja dibangun dengan gaya yang serupa dengan bangunan lama. Dengan demikian, kedua bangunan sepintas tampak identik. Kekhasan corak arsitektur masjid ini pun tetap terjaga.
Memasuki bangunan lama yang sekurangnya sudah berumur 2,5 abad, tampaklah mihrab di bagian depan. Bangunan lama memang dimanfaatkan sebagai ruang shalat utama. Sedangkan bangunan baru difungsikan untuk ruang shalat tambahan, toilet, tempat wudhu, dan kantor pengurus masjid.
Semilir angin di ruang shalat utama sempat membikin saya lena kalau saya masih berada di tengah hutan beton Jakarta. Saya mengapresiasi kualitas penghawaan yang baik meskipun tanpa pendingin udara. Di sini lah tampak campuran budaya Tionghoa dengan budaya lainnya. Bukaan pintu dan jendela lebar khas Betawi berhasil membuat sirkulasi udara di dalam masjid terasa sejuk. Terlebih di halaman samping masjid pun banyak pepohonan rindang yang menaungi.
Ada pula pengaruh Jawa jika menilik dari bentuk soko guru yang digunakan sebagai pilar utama masjid. Lantas interior di ruang salat utama ini ramai oleh perpaduan aneka budaya. Lampu gantung khas Jawa. Ornamen dekoratif falam motif gambar khas Tionghoa dan Jawa. Tak lupa, hadir pula hiasan kaligrafi dalam bahasa Arab. Bisa dikatakan, pengaruh Tionghoa menyatu dengan apik dengan budaya Jawa, Arab, dan Betawi di masjid bersahaja ini.
Baca juga: Warisan Mbah Sholeh Darat dan Kisah Ibrahim bin Ad Ham
Sembari menyandarkan punggung ke dinding masjid, saya membayangkan situasi yang dahulu kala mungkin terjadi. Ratusan tahun silam, orang-orang dari bermacam suku bahu membahu mendirikan masjid ini di tengah hutan karet yang sunyi. Barangkali orang-orang yang sama juga saling bantu untuk membangun vihara yang hanya berjarak sepelemparan batu dari masjid.
Kemudian masjid ini melalui perjalanan sejarahnya dari masa ke masa. Ia menjadi saksi bisu pertumbuhan sebuah kawasan sepi di bantaran kali menjadi salah satu area bisnis paling sibuk di Jakarta. Masjid ini berawal dari tempat persinggahan sederhana para pedagang muslim di masa lampau. Hingga saat ini keberadaannya bisa dianggap sebagai oasis spiritual bagi para pekerja yang penat didera rutinitas.
Alhasil, eksistensi masjid ini sendiri telah menjadi bukti hubungan baik antara kebudayaan Islam dan Tionghoa selama beratus tahun. Sesuai namanya, mungkin inilah petunjuk Allah agar Masjid Hidayatullah tetap dapat menjadi ruang perjumpaan serta simbol persahabatan bagi beragam budaya yang ada di ibukota. (AN)