Masjid dan Gerakan Sosial, Apa Bisa Lebih dari Sekadar Dekat Umat?

Masjid dan Gerakan Sosial, Apa Bisa Lebih dari Sekadar Dekat Umat?

Masjid dan Gerakan Sosial, Apa Bisa Lebih dari Sekadar Dekat Umat?

Pagi itu, udara Jakarta yang biasanya pengap terasa lebih sejuk saat saya melangkah ke Masjid Hasyim Asy’ari di Jl. Daan Mogot Jakarta Barat untuk kali pertama. Di hari spesial penuh berkah ini, bertepatan dengan 12 Rabiul Awal, hari kelahiran Baginda Nabi Muhammad SAW.

Ini bagian dari rencana memenuhi undangan Muhamad Syauqillah sudah sejak lama. Silaturahmi terasa begitu hidup, diskusi tentang pengelolaan masjid dan dampaknya bagi masyarakat.

Saya amati masjid ini aktif kegiatan pemuda dan majelis taklim perempuan. Masjid ini, seperti banyak masjid lainnya di seluruh Nusantara, menjadi lebih dari sekadar tempat ibadah—ia adalah pusat kehidupan, jantung kemanusiaan, tempat keimanan, keilmuan, dan persaudaraan bertemu.

Dalam sudut ruang Dewan Kemakmuran Masjid (DKM), diskusi hangat mengalir bersama Syauri, Syauqi, Bagus dan Ahmadi.

Kami berbicara tentang bagaimana masjid tidak hanya menjadi pusat peribadatan tetapi juga sebagai motor perubahan sosial di masyarakat. Setiap detil arsitektur masjid, mulai dari mihrab hingga mimbar, seakan menyuarakan pesan universal: bahwa masjid adalah tempat di mana umat disatukan, digerakkan untuk meraih kebaikan bersama.

Namun, perjalanan belum usai. Dari Masjid Hasyim Asy’ari, kami melanjutkan perjalanan ke Masjid Kramat Luar Batang—tempat yang begitu kental dengan sejarah.

Di sini, masjid menyatu dengan dinamika masyarakat, menghadirkan pengaruh jauh lebih besar daripada sekadar tempat ibadah. Masjid ini menyimpan kisah Waliyullah yang dimakamkan berabad-abad silam. Meskipun jasadnya telah lama dikebumikan, keberkahan dan pengaruhnya masih hidup, menghidupkan kembali hati generasi demi generasi yang datang berziarah.

Suasana masjid yang tenang terasa kontras dengan hiruk-pikuk kota di luar. Di dalam, di bawah bayang-bayang kubah, pemimpin DKM Masjid Kramat Luar Batang, Daeng Mansyur, berbicara berpesan, “Kalau kita percaya api memberikan panas, kenapa kita ragu tentang kepastian hukum yang digariskan Tuhan?” katanya.

Mengutip hikmah Imam Ghazali dari Ihya Ulumuddin, mereka yang memakmurkan masjid akan mendapatkan kemudahan di dunia dan akhirat.

Sebuah pesan sederhana namun penuh makna: masjid bukan hanya rumah bagi Allah, tetapi juga pusat dari gerakan sosial yang bisa mengubah tatanan masyarakat. Masjid memudahkan kesulitan hidup masyarakat.

Masjid Kramat Luar Batang, dengan segala kesakralannya, adalah simbol integrasi antara agama dan kehidupan sosial.

Di sinilah masyarakat menemukan kedamaian, ilmu, dan persaudaraan, sekaligus mencerminkan dinamika sosial yang berlangsung di luar dindingnya. Masjid tua ini bukan hanya sekadar bangunan usang, tetapi jantung yang terus memompa darah kehidupan spiritual ke dalam masyarakat sekitarnya.

Menyadari pentingnya peran masjid sebagai pusat gerakan sosial, kita harus bertanya pada diri sendiri: sejauh mana kita telah memaksimalkan potensi masjid dalam membangun kembali tatanan yang lebih baik?

Di sinilah masjid seharusnya memainkan peran sentral—menjadi tempat di mana gagasan bertemu, perubahan dimulai, dan gerakan kemasyarakatan dilahirkan.

Tak dapat dipungkiri, masjid dan rumah ibadah semua agama umumnya adalah salah satu institusi paling kuat yang pernah ada di bumi.

Dalam sejarah, ia telah menjadi tempat perencanaan transformasi sosial, pusat pendidikan, hingga rumah bagi mereka yang membutuhkan.

Di zaman ini, dengan tantangan yang lebih kompleks, masjid harus lebih dari sekadar tempat menunaikan shalat. Ia harus menjadi pusat pemberdayaan umat—tempat di mana kesadaran sosial dibangun, aksi kemanusiaan dimulai, dan gerakan sosial disemai.

Pada akhirnya, masjid adalah jantung kemanusiaan yang tak pernah berhenti berdetak. Dari sini kami sepakat, di bawah kubah masjid, perubahan sosial selalu dimulai dengan iman, ilmu, dan persaudaraan.