ِAda beberapa hal yang sangat prinsipil saat kita melaksanakan shalat, di antaranya yakni wudhu dan najis.
Kedua hal ini menjadi syarat utama terselenggaranya shalat. Maka dengan demikian, tanpa mengurus dan memperhatikan keduanya (wudhu dan najis), bicara shalat juga akan sia-sia.
Kita punya banyak pulau yang dijuluki “Pulau 1000 Masjid”, seperti Lombok, Madura, dan Tidore, tapi apa iya di masjid-masjid tersebut ada standar kesucian menurut fikih yang sama?
Terus terang saja, meskipun arsitekur sebuah masjid atau mushala itu mentereng, namun kerap kali tempat pipisnya tidak sesuai SOP bab taharah (bersuci), sehingga memungkinkan mudah menyebarkan percikan najis dari air kencing (padahal syarat salat haruslah suci dari hadas dan semuanya).
Mengapa demikian? Mungkin (lagi-lagi mungkin) arsitek dan pengawasnya tidak begitu paham atau cuek terhadap fikih dan hanya melulu mementingkan semata-mata efektivitas dan keelokan disain. Padahal masalah jaminan kesucian secara fikih berada di atas level ini.
Lantas, bagaimana dengan toilet atau kamar kecil yang kita temukan di stasiun, terminal, dan bandar udara, yang umumnya lebih ‘sederhana’ (minimalis) secara disain daripada yang ada di pemukiman penduduk atau masjid di dekat jalan raya?
Intinya, pertanyaan tetap sama: Mungkinkah kita dapat bersuci secara benar jika toiletnya tidak punya standar penjamin kesucian menurut fikih? Jika bersuci tidak benar, bagaimana keabsahan salatnya? Begitulah urutan soal dan persoalannya.
Memang benar, tidak ada masalah bagi orang yang mau, tapi masa iya begitu? Ini sama dengan ungkapan umum ‘kan tinggal tayamum saja kalau kita sedang naik kendaraan’ yang disampaikan ketika air berlimpah begitu ruahnya; masjid dibangun di mana-mana; kesempatan berhenti pun leluasa.
Belum lagi soal, bolehkah kita bertayamum dengan debu yang tidak berwujud debu? Hanya serpihan terepung yang menempel di ruang-ruang kedap udara dan berpendingin itu?
Singkatnya, dalam pengamatan sementara, perjalanan kerap kali membuat orang lupa untuk shalat, atau setidaknya malas menunaikannya.
Indikasi ke arah itu dapat ditengarai dari ‘rabat’ yang diberikan Tuhan untuk tidak berpuasa ataupun menjamak salat karena alasan safar/perjalanan. Kadang, ada juga yang menjawab santai dengan, semisal, “Ah, Tuhan tahu, kok, kalau kita tidak sempat dan bukan kita melupakan-Nya” ketika diajak salat. Ya, Tuhan tahu, tapi saya—atau kita—tidak tahu, apakah jawaban itu tulus atau ngeles semata.
Lagi, shalat menjadi masalah apabila kita bepergian ke wilayah di mana muslim menjadi minoritasnya, seperti di negara-negara tertentu di Eropa, atau di Cina, misalnya.
Saya pernah tinggal beberapa hari di Jerman dan terus terang merasakan betapa ribetnya pelaksanaan salat ini. Jangan dulu buruk sangka! Mari, bayangkan: bagaimana jika Anda berada di lokasi acara yang toilet-toiletnya kering dan tanpa air (memang adanya toilet kering, bukan karena kran PDAM-nya macet)? Saya harus pulang ke hotel hanya untuk ganti baju dan ambil wudu, padahal jaraknya harus dua kali ganti kereta api dengan durasi waktu sekitar 40 menit plus jalan kaki.
Masalah utamanya adalah soal wudhu dan thaharah (bersuci). Nah, masih ada masalah lainnya: bagaimana kita harus tahu kapan azan dari alarm, belum lagi kesenjangan waktu di bulan yang berbeda, seperti siang yang sangat panjang dan akibatnya malam jadi pendek sekali di bulan Juni. Contoh di Trondheim, Norwegia: maghrib jatuh pukul 23.45 dan subuh pukul 02.00. Soal salat mungkin bisa, tapi bagaimana dengan puasa selama nyaris 22 jam?
Jika kita perhatikan waktu salat, anggaplah ini berdasarkan utak-atik-gatuk, rupanya memang selalu beriringan dengan penanda waktu. Makanya, ulama sepakat boleh qasar (meringkas shalat karena alasan tertentu, seperti karena safar/perjalanan) tetapi tidak seluruhnya setuju dengan menjamaknya, alias menggabungkan dua jenis shalat dalam sekali waktu; seperti shalat duhur dan asar di waktu asar (ta’khir) atau di waktu duhur (taqdim). Maka dari itu, salat menjadi ritual agar kita selalu ingat setiap saat kepada sang Pencipta.
Sekurang-kurangnya, dalam setiap perubahan waktu itulah kita kita setoran presensi kepada-Nya: Subuh menandai waktu pagi; Duhur menandai waktu siang; Asar menandai waktu sore; maghrib menandai waktu petang; isya menjadi penanda waktu malam.
Di antara kedua waktu yang rentangnya panjang (pagi ke siang dan malam ke pagi), diberi bonus shalat sunnah yang terkenal hebat pahalanya, yakni shalat duha dan shalat tahajud. Para ulama tasawuf lantas juga menganjurkan zikir khafi (zikir samar, dalam hati) dengan maksud agar zikir kita tidak terputus sama sekali, sepanjang waktu.
Tentu saja, saya bicara salat ini hanya untuk siapa pun yang merasa risih jika tidak salat. Jika Anda santai saja menghadapinya, maka tulisan ini tentu tidak penting lagi dibaca, boleh jadi malah dianggap ‘lebay’ dan dianggap hanya cocok jadi pegangan para “lebai” (takmir masjid).
Apa yang saya tulis hanyalah karena percaya bahwa salat merupakan wujud kita sebagai hamba, juga seperti janji-Nya, dapat menahan kita dari berbuat fahsya’ dan mungkar, itu saja.
Oleh: M. Faizi