Dalam sejarah Islam sekitar tahun 9 Hijriyah Rasulullah menerima wahyu Q.S al-Taubah ayat 29 yang berbunyi:
قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
Perangilah orang orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar, yang telah diberikan Kitab, hingga mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.
Menurut riwayat yang dikutip oleh Al-Thabari, diriwayatkan dari Muhammad bin ‘Urwah dari Abu ‘Ashim dari ‘Isa dari Abi Najih dari Mujahid bahwa ayat tersebut diturunkan ketika Rasulullah Saw hendak pergi ke Tabuk untuk melakukan perang dengan pasukan Romawi. Namun pasukan Rasulullah batal berperang karena pasukan lawan tidak tiba di medan pertempuran yang telah ditentukan, yakni Tabuk. Sebagai gantinya Rasulullah didatangi beberapa pimpinan wilayah sekitar Tabuk yang sebelumnya tunduk pada Romawi yakni dari wilayah Ailah, Jarba’ dan Adruj untuk melakukan perjanjian damai dan bersedia membayar jizyah.
Pembayaran tersebut adalah bukti bahwa wilayah-wilayah tersebut secara politis tidak lagi tunduk kepada imperium Romawi, akan tetapi berada di bawah kekuasaan Islam. Peristiwa ini dicatat dalam literatur-literatur sirah nabawiyah sebagai pembayaran pertama yang diterima oleh Rasulullah dari kelompok non-muslim.
Ayat ini menandakan bahwa pada masa awal kehadiran Islam, Rasulullah saw selain sebagai pimpinan agama juga adalah pimpinan politik. Islam di masa itu tidak dapat dipungkiri adalah sebagai bagian dari imperium yang memiliki wilayah kekuasaaan vis a vis dengan Romawi yang Kristen dan Persia yang Zoroaster.
Jizyah sebagai salah satu konsep yang pernah diterapkan dalam Islam merupakan adopsi dari imperium-imperium sebelumnya. Wilayah-wilayah yang masuk dalam kekuasaan Islam pada saat itu telah lebih dulu membayar upeti kepada imperium Romawi. Sejak dimulainya ekspansi kemudian Islam melanjutkan kebijakan tersebut dengan perubahan konsep.
Jika sebelumnya upeti berupa pajak sebagai dominasi kekuasaan terhadap rakyat yang memberatkan, maka Islam di masa Rasul dan Khulafaur Rasyidin bersifat kewajiban yang kisarannya sukarela sesuai dengan kesepakatan. Kemudian pada perkembangannya jizyah semakin kabur dalam penerapannya dikarenakan makin banyaknya luas wilayah kekuasaan Islam dan para penduduk di wilayah Islam menjadi muallaf yang berdampak pemasukan Negara dari jizyah semakin berkurang. Lalu di masa Umar bin Abdul Aziz dimantapkanlah konsep jizyah sebagai pajak kepala dan ada pula kharraj sebagai pajak tanah.
Dengan uraian di atas penulis hendak memperlihatkan tiga hal. Pertama, kekuasaan di era Rasulullah adalah bersatunya agama dan politik. Maka wajar jika Islam menjadi bagian dari kekuasaan tersebut seperti halnya Romawi dan Persia. Kedua, orang-orang yang di luar agama memang menjadi warga negara kelas kedua. Ketiga, berangkat dari Q.S al-Taubah [9]: 29 di atas menunjukkan bahwa konsep jizyah atau upeti dari penduduk non-Muslim adalah kosekuensi dari berlakunya sistem politik yang memang terjadi pada masa itu.
Permasalahannya kemudian bagaimana kita memahami ayat al-Quran yang di satu sisi adalah doktrin abadi sebagai kitab suci, tetapi di sisi lain realitas manusia terus berubah dari zaman ke zaman? Masih relevankah konsep jizyah dan warga negara kelas kedua berdasarkan perbedaan keyakinan di era demokrasi seperti sekarang dimana semua warga negara setara tanpa melihat SARA?
Secara singkat, penulis mengajukan pemikiran Abdullah Saeed sebagai pakar studi Islam kontemporer yang cukup berpengaruh di kalangan akademisi kajian Al-Quran. Saeed menjelaskan bahwa ayat jizyah merupakan bagian dari nilai al-Quran yang bersifat temporal dan amat kontekstual. Dalam arti bahwa ayat ini tidak bisa diterapkan begitu saja karena perubahan situasi dan kondisi masyarakat. Kelompok ayat al-Quran ini Saeed namakan dengan kategori instructional value. Termasuk di dalamnya adalah ayat-ayat seputar perbudakan dan peperangan.
Kebalikan dengan ayat-ayat dalam kategori instructional value adalah obligatory value. Jika nilai instruksional bersifat temporal dan kontekstual, maka nilai kewajiban (obligatory) tidak bisa diganggu gugat penerapannya. Ayat-ayat yang termasuk di dalam obligatory value adalah ayat ayat tentang keimanan/akidah, ibadah dan halal-haram.
Seperti perbudakan yang semua orang sepakat bahwa meskipun terdapat dalam ayat al-Quran tetapi sudah tidak relevan, begitu pun dengan ayat jizyah yang memosisikan non-Muslim sebagai warga negara kelas kedua. Oleh karenanya perlu ditekankan disini bahwa tidak semua ayat-ayat al-Quran harus diterapkan secara rigid, tetapi perlu dicermati dan dilihat konteks dan relevansinya dengan realitas yang berkembang sekarang ditambah realitas masa lalu yang melingkupi turunnya wahyu al-Quran.