Secara mengejutkan, pemerintah Kerajaan Arab Saudi mengubah beberapa aturan dalam pelaksanaan umrah, khususnya untuk perempuan. Dalam keterangan tertulis, mulai saat ini perempuan yang akan berangkat umrah diperkenankan untuk tidak didampingi mahramnya.
Hal ini tentu bertentangan dengan beberapa fatwa ulama Saudi sendiri, salah satunya fatwa ulama terkemuka Arab Saudi, Abdullah bin Baz. Menurut mufti kerajaan Saudi itu, haram bagi perempuan yang keluar rumah yang tidak didampingi oleh Mahramnya.
Bagi Bin Baz, keharaman perempuan yang bepergian tanpa mahram bukan dibatasi pada zaman tertentu, melainkan berlaku pada seluruh zaman. Hal ini karena seluruh ucapan nabi adalah wahyu dari Allah SWT. sehingga wahyu dari Allah tidak akan terbatas masa dan zaman, serta berlaku selamanya. Selain itu hukumnya tetap satu dan tidak bisa diubah-ubah berdasarkan kondisi zaman.
Menurut Bin Baz, walaupun zaman sekarang sudah modern, terdapat alat transportasi yang bermacam-macam, hukum perempuan yang bepergian tanpa mahram tetap satu, yaitu haram berlandaskan hadis riwayat Muslim berikut,
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ مُسْلِمَةٍ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ لَيْلَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا رَجُلٌ ذُو حُرْمَةٍ مِنْهَا.
Artinya:
“Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak halal bagi perempuan muslim untuk melakukan perjalanan sejauh perjalanan semalaman kecuali ia bersama laki-laki yang menjadi mahramnya.”
Hadis ini sahih karena diriwayatkan oleh Muslim. Selain itu, hadis ini juga memiliki riwayat lain dengan jumlah hari yang berbeda. Misalnya dalam riwayat al-Bukhari, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan al-Dailami, disebutkan sehari semalam (yaum wa lailah).
Dalam riwayat lain juga menggunakan redaksi yaum saja atau lailah saja, sebagaimana dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim. Sedangkan dalam riwayat lain yang disampaikan al-Muwatha’, al-Tirmidzi, dan Abu Dawud menggunakan redaksi tiga hari (tsalatsan).
Dalam segi jarak perjalanan, yaitu sejauh mana seorang perempuan yang melakukan perjalanan harus ditemani mahramnya, para ulama juga berbeda pendapat. Dalam riwayat Abu Dawud dan Muslim dijelaskan kata barid. Para ulama berbeda pendapat mengenai kata ini. Ada yang menyebut bermakna empat farsakh, (Farsakh dalam istilah fikih adalah ukuran yang setara dengan tiga mil Hasyimīyah, atau setara dengan 12 ribu Dzira’. Dalam hitungan Meter, satu farsakh sama dengan 5541 meter ). Ada juga yang menyebut hanya dua farsakh.
Al-Baihaqi menyikapi berbagai perbedaan periwayatan ini secara berbeda. Perbedaan riwayat antara berapa lama perjalanan tersebut, sehari, sehari-semalam, atau tiga hari yang ada dalam beberapa riwayat hadis, menurut al-Baihāqi bukanlah sebuah batasan, melainkan perbedaan situasi dan kondisi orang yang bertanya atau menjadi mukhattab nabi. Sehingga al-Baihāqi menyimpulkan, jauh atau dekat, lama atau sebentar, perempuan yang melakukan perjalanan tetap harus disertai mahram.
Dari hadis di atas, Abu Hanīfah berpendapat bahwa seorang perempuan yang akan pergi haji harus disertai dengan mahram, kecuali jarak antara tempat si perempuan tersebut dengan Mekkah tidak mencapai tiga marhalah, maka ia tidak perlu didampingi mahram. Pendapat Abu Hanīfah ini didukung oleh para ulama lain setelahnya, seperti Hasan al-Baṣrī dan al-Nakhā’ī.
Pendapat Abu Hanifah dan beberapa ulama ini berbeda dengan al-Syāfi`ī yang menyebut bahwa makna mahram dalam hadis di atas bisa juga dimaknai dengan setiap hal yang bisa mendatangkan rasa aman (al-amn).
Bagi Imam al-Syafi`i dan beberapa ulama lain seperti Atha’, Sa’id bin Jubair, Ibnu Sirin, Malik, dan al-Auza’i menyebut bahwa perempuan yang keluar rumah, dalam konteks haji, tidak disyaratkan untuk didampingi mahram, melainkan disyaratkan untuk adanya keamanan.
Mahram memang dianggap salah satu hal yang bisa mendatangkan keamanan tersebut, namun mahram bukan satu-satunya. Menurut al-Syafi`i, selain mahram, ada juga hal-hal lain yang bisa mendatangkan keamanan, seperti suami dan perempuan lain yang tsiqqah.
Secara umum bisa dipahami bahwa yang dimaksud tsiqqah dalam konteks ini adalah perempuan yang dapat dipercaya dan juga dapat membantu dan menjaga keamanan. Sehingga jika bersama perempuan tersebut, maka diyakini akan selamat dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Pendapat al-Syafi’ī tentang adanya perempuan yang akan melakukan perjalanan ini bisa dikontekstualisasikan pada masa sekarang. Dalam konteks modern seperti sekarang, keamanan tidak hanya bisa didapatkan dari mahram, suami atau perempuan yang tsiqqah, tetapi juga bisa melalui sistem transportasi, aturan yang telah ditetapkan, kelembagaan, dan juga penguasaan tentang kondisi perjalanan atau tempat yang akan dituju.
Saat ini sistem transportasi di darat, seperti kereta, trans, MRT, pesawat, dibuat senyaman dan seaman mungkin. Semua dilengkapi dengan CCTV dan petugas keamanan yang memadai. Sehingga orang yang naik transportasi tersebut merasa terjaga dan aman. Walaupun ada beberapa kejadian yang dilakukan oleh oknum tertentu yang masih berbuat nekat dengan melakukan perbuatan asusila atau kriminal di alat transportasi, yang bahkan tidak akan juga bisa dicegah kalaupun sudah didampingi mahram.
Namun saat terjadi sesuatu kepada seorang perempuan, pihak keamanan atau petugas terkait akan lebih cepat mengurusnya. Pada masa sekarang juga ada beberapa lembaga yang secara khusus membidani perlindungan untuk perempuan, seperti Komnas Perempuan dan beberapa lembaga swadaya masyarakat (Non Government Organisation/ NGO).
Hal ini tentu berbeda dengan masa lampau, ketika transportasi tidak seaman sekarang, jalanan masih berbahaya dan lain sebagainya. Bahkan saat terjadi sesuatu dengan perempuan pada masa dulu, tidak akan semudah mengusut zaman sekarang.
Dari beberapa penjelasan di atas, kira-kira, masih wajibkan perempuan keluar rumah didampingi mahramnya? Jika ‘mahram’ hanya dimaknai secara istilah, mungkin sudah tidak relevan lagi. Namun jika dimaknai sebagai tujuan keamanan perjalanan sang perempuan, maka ‘mahram’ bisa digantikan dengan unsur-unsur yang telah disebutkan di atas. (AN)
Wallahu a’lam.