Bertahun-tahun saya mengamati masalah ini, bertahun-tahun pula saya melihat perubahan yang cukup berarti. Dulu banyak orang NU percaya PKI masih hidup, tetapi sekarang sudah tidak lagi. Secara perlahan mereka membaca bahwa PKI memang sudah dihancurkan pada 1965.
Akan tetapi, sebagian kalangan NU hingga kini tidak mau menerima perlakuan PKI kepada mereka sebelum 1965. Kalau setelah 1965 PKI adalah korban, maka sebelum tahun itu yang jadi korban adalah mereka. Perasaan ini masih kuat tertanam dalam ingatan.
Oleh karena itu, reaksi keras muncul ketika belakangan muncul wacana permintaan maaf negara kepada korban 1965. Jika para aktivis HAM umumnya menganggap bahwa korban adalah PKI semata, maka sebagian kalangan NU berpendapat hal itu seharusnya disampaikan kepada mereka juga. Sekali lagi, definisi korban tidak hanya mencakup mereka yang terkena dampak setelah 1965, teteapi juga sebelumnya.
Perdebatan mengenai siapa korban 1965 bukan hanya soal fakta yang bisa ditelurusi secara rasional melalui penelitian sejarah, tetapi juga melibatkan soal psikologis yang telah bercampur sedemikian rupa dengan pelembagaan nilai-nilai tertentu sekian lama. Masalahnya menjadi tidak mudah didekati hanya dengan pendekatan HAM yang jelas dan terpilah, tetapi juga pendekatan kultural yang pelan-pelan. Di sini kemampuan mendayung di antara dua karang sangat dibutuhkan.
Pemerintahan Jokowi pada mulanya diharapkan mampu menyelesaikan dilema tersebut dengan cepat, mengingat beliau adalah seorang yang tidak terlalu terbebani dosa rezim sebelumnya. Namun negara di era demokrasi bukan hanya Jokowi, melainkan sejumlah lembaga dan aktor-aktor personal yang saling bersaing memperebutkan secuil akses kekuasaan. Sekarang terbukti penyelesaian cepat hanya mungkin terjadi di era rezim otoriter di mana keputusan presiden bisa langsung diikuti oleh pejabat hingga di desa dan kelurahan.
Dalam situasi dilematis ini, kalangan NU pada umumnya tidak lagi terpengaruh berita hoax bahwa Jokowi adalah keturunan PKI. Mereka juga cukup percaya kebangkitan PKI hanya gosip murahan yang dihembuskan oleh para peternak politik. Bagi saya, hal ini adalah pencapaian yang harus dijaga.
Jangan lupa untuk melihat masalah PKI hari ini dalam kerangka penguatan Islamisme. Setelah berhasil menjatuhkan Ahok melalui serangkaian demo Islam yang rasis, mereka akan terus mempertahankan kesan bahwa seolah-olah Indonesia di bawah Jokowi berada dalam genggaman Cina. Secara terbuka atau tertutup mereka juga menyerang NU yang dianggap lemah dan toleran terhadap masalah ini. Usaha kelompok Islamis (yang juga didukung oleh sebagian aktivis HAM) akan semakin lengkap jika gugatannya terhadap Perppu Ormas di MK diterima.
Masalah PKI di Indonesia sangat kompleks. Mungkin solusinya tidak seperti cara Jerman dalam mengatasi masalah genosida yang serupa. Yang pasti pemerintahan Jokowi harus terus diingatkan untuk memberi kesempatan yang sama kepada klaim-klaim yang saling berkompetisi. Kalau kaum Islamis diperkenankan untuk demo di depan Monas, maka perkenan yang sama harus diberikan juga kepada mereka yang mau mendiskusikan masalah PKI dan hal-hal lain di sekitar 1965.
Jakarta, 17 September 2017
*) Amin Mudzakkir, peneliti LIPI