Jagat dunia twitter dan instagram dibikin ramai oleh Marshanda. Aktris sekaligus penyanyi yang dulu digadang-gadang moncer ini tiba-tiba namanya trending begitu saja. Menyelinap minggu lalu di antara kegaduhan perang tagar corona. Awalnya, saya kira dia baru saja merilis album solo dengan lagu yang tak kalah sendu dari lagunya dekade yang lalu, “Kisah Sedih di Hari Minggu”.
Atau, saya curiga dia ikut mengcover lagu Aisyah sebagaimana yg dilakukan Via Vallen, Tasya Nurmala, Denny Cak Nan, Gerry Mahesa atau artis-artis lain yang mendadak “ngaisyah”. Tidak, ternyata bukan keduanya. Kali ini, statement yang dia sampaikan melalui aplikasi TikTok, dengan durasi waktu 15 sampai 40 detik saja lah yang membuatnya kembali mencuat.
Adalah aplikasi TikTok persoalannya.
“Pada tahun 2009 gue upload video gue nyanyi sambil joget dibilang gila sama hampir se-Indonesia. Tapi sekarang? Sedunia upload video mereka lagi nyanyi sambil joget-joget dan disebut apa? TikTok,” ujarnya sengit, menggugat ketidakadilan.
“So, gua dedikasiin akun TikTok gue, semua video di dalamnya, untuk kegilaan gue, yang amazing,” sambungnya bernada centil menantang.
Before (almost) everybody got on the dancing-on-TikTok bandwagon, there was Marshanda.#TeamMarshanda
— VVYND (@VVYND) April 4, 2020
Pernyataan ini direkam dan diunggah via TikTok untuk selanjutnya diunggah ulang di akun instagram pribadinya. Sontak saja kaum SJW ramai-ramai meresponnya, sebagian mendukung, tak sedikit menentangnya. Banyak pula yang berkomentar nyinyir “keren nih marshanda vs orang se-dunia”.
Kehadiran TikTok penuh kontroversi, khususnya di Indonesia. Tahun 2018, aplikasi hiburan yang disiapkan untuk merekam video singkat ini pernah ditolak dan diblokir oleh pemerintah melalui Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Adalah Bowo Alpenliebe pemuda penuh bakat yang dianggap menjadi penyebab pemblokiran ini. Kemampuan bocah 14 ini dalam menirukan berbagai jenis tari yang tersedia di aplikasi tersebut dianggap berpengaruh negatif bagi remaja seusianya. Dengan dalih aduan masyarakat, Kominfo lantas memblokir aplikasi TikTok ini secara total. Tak sedikit yang menentang kebijakan ini, terutama di kalangan artis.
“Apa-apa langsung main blokir. Buat menkominfo yang terhormat, aplikasi itu enggak pernah salah, usernya yang salah. Tik Tok mah enggak ada apa-apanya dibanding YouTube, Instagram, Twitter, Facebook, yang jauh lebih parah,” Tulis komika Kemal Pahlevi memalui Instagram pribadinya.
“Semua aja “ancaman” digital buat anak minta diurus negara. Orang Tua Pemalas”, dengan cara yang lebih satir, Ernest Prakosao menimbali di akun twitternya. Banyak benarnya memang, TikTok hanyalah aplikasi media daring layaknya IG, Facebook, atau lainnya. Hanya saja, TikTok memiliki fitur untuk tari, joget, atau gerakan seksi yang khas dan tidak ada di aplikasi lainnya.
Sekarang, TikTok tidak hanya telah dibuka dan bebas akses, tetapi juga digandrungi di Indonesia. Jika kita amati, aplikasi ini dijangkau dan dimanfaatkan oleh semua kelas. Dari anak muda, mahasiswa, petani, pengusaha, artis, bahkan pemerintah.
Pemanfaatannya pun beragam, meskipun mayoritas digunakan untuk merekam video yang cenderung selfish, lucu-lucuan, dan seolah hiburan belaka. Tetapi, ada juga yang dimanfaatkan secara serius dan formal. Masih hangat betul ramai di media tentang arahan presiden kepada BPIP untuk memanfaatkan TikTok untuk sosialisasi Pancasila.
Kita tinggalkan keriuhan media sosial yang tidak lebih hanya heboh-hebohan saja. Pernyataan Marshanda perlu dipikirkan secara serius. “TikTok” dan “kegilaan” adalah dua hal yang disebut simultan oleh Marshanda.
Penjelasan “gila” dalam Islam sendiri, tidak banyak mendapat perhatian khusus. Bahasa Arab tidak memiliki istilah tersendiri. “gila” cukup disebut dengan junun atau majnun yang keduanya berarti “kerasukan jin”. Jika jenis hamba secara umum ada dua; manusia dan jin, maka dalam konteks ini “gila” merupakan sebutan bagi manusia yang ditempa oleh kekuatan di luar dirinya yang kemudian disebut jin. Perdebatan di dalam tradisi kita mentok pada mereka yang gila tidak dikenai kewajiban-kewajiban syariat.
Dalam filsafat, kegilaan secara apik dijelaskan oleh Michel Foucault dalam bukunya Madness and Civilization (1967). Ia mencoba menulusuri konsep gila secara arkeologis. Bagi Foucault, kegilaan ternyata mengalami makna yang dinamis. Kegilaan dikategorisasikan berbeda dalam tiga fase sejarah Eropa; pertama, Periode renaissance (abad ke-15 s.d ke-16). Pada priode ini “gila” tidak dipertentangkan dengan akal. Orang gila tidak ditempatkan berbeda dengan orang umum pada umumnya. Mereka dianggap magis, mampu memahami dan memiliki kebahagiaannya sendiri.
Kedua, Periode Klasik (abad ke-17 s.d. abad ke-18). Pada masa ini “gila” mulai dipertentangakn dengan akal (rasio). Orang gila ditempatkan di tempat khusus, rumah sakit. Mereka dianggap tidak berguna dan mengganggu stabilitas sosial.
Ketiga, periode pasca-klasik (akhir abad ke-18). Pada masa ini “gila” dipertentangkan dengan moralitas. Orang gila adalah mereka yang memiliki masalah mental dan gangguan jiwa. Dengan bukti arkeologis ini, Foucault lantas menyimpulkan bahwa “gila” adalah konstruksi yang sengaja dikategorisasi untuk penyimpangan-penyimpangan mayoritas masyarakat. Orang gila dianggap gila ketika berpikir atau bertindak di luar kelaziman masyarakat.
Jika demikian, ada benarnya apa yang dikatakan oleh Marshanda. Bisa jadi, joget-joget di depan kamera pada tahun 2009 dianggap sebagai tindakan yang menyimpang dari mayoritas moralitas masyarakat waktu itu. Sekarang, tindakan tersebut menjadi fenomena yang dimaklumi oleh mereka. Artinya, ada pergeseran kategori moralitas di masyarakat kita. Kini, kita mengarah kepada kegilaan yang dulu kita menentangnya. Ada yang berubah dari moralitas kita termasuk dalam hal kepatutan dan kategori pantas atau tidak pantas.
Begitu kira-kira gugatan Marshanda perlu dimaknai.