Salah satu ke-Maha Hebat-an Tuhan adalah menciptakan dunia dan isinya (termasuk manusia) dalam keberagaman yang sangat atraktif dan memukau. Dan itu adalah salah satu dari banyaknya kenikmatan yang tak mampu kita hitung tetapi selalu kita rasakan dalam berbagai hal. Bagaimana Tuhan menciptakan manusia yang jumlahnya milyaran bahkan triliunan ini dalam berbagai sub mulai dari bentuk biologis, letak geografis, kondisi sosiologis, kultural, psikologis dan masih banyak lagi yang tak mungkin disebutkan satu personnes satu.
Perihal diversitas ciptaannya, diantaranya manusia, Al-Qur’an telah mengungkapkannya dengan kalimat berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal satu sama lain. Dan dalam ranah yang lebih spesifik, Nabi Muhammad mengatakan bahwa perbedaan yang terjadi diantara umatku adalah rahmat. Kedua dalil tersebut menunjukkan bahwa diversifikasi yang terjadi dalam kehidupan manusia adalah suatu keniscayaan yang memang dikehendaki oleh Tuhan.
Ketika kita meyakini bahwa perbedaan adalah suatu keniscayaan yang diberikan Tuhan, maka sejatinya tidak ada alasan untuk berpecah belah. Karena kita memang ditakdirkan berbeda satu sama lain. Al-Qur’an yang jumlahnya satu dan diturunkan kepada nabi yang satu pun pada kenyataan faktualnya mengalami beragam interpretasi. Al-Qur’an yang diturunkan oleh Tuhan Yang Maha Esa pun mendapat perlakuan yang bermacam-macam oleh umat islam. Tentu kita tidak meyakini bahwa kitab suci kita buatan manusia yang akan menyebabkan ketidaklanggengan dalam berbagai konteks pemahamannya.
Dalam hal cara membacanya, kita punya banyak cara (qira’at) yang terkenal dengan qira’ah sab’ah. Sebagai sumber utama, Al-Qur’an dijadikan pedoman hidup oleh milyaran manusia yang berbeda-beda letak, bahasa, suku dan lain sebagainya. Yang perlu ditekankan disini adalah bagaimana para ulama berupaya menginterpretasi firman Tuhan agar selaras dengan konteks kehidupan manusia yang sarat.
Ushul fiqh (principles of jurisprudence) sebagai perangkat yang memproduksi fiqh (jurisprudence) yang dikodifikasikan oleh imam syafi’i pada perkembangannya mengalami dinamika dalam tataran aplikatifnya yang ditujukan untuk kebutuhan berbagai jenis manusia. Upaya-upaya yang berbeda-beda dalam menginterpretasi sumber hukum tadi pada hakikatnya adalah untuk memahami satu agama yang sama yaitu islam. Ini adalah salah satu dari sekian contoh mengenai perbedaan dalam aspek keberagamaan.
Pada konteks indonesia, keberagaman atau kebhinekaan adalah suatu sikap hidup yang mendarah daging sejak ratusan bahkan ribuan tahun lamanya. Terbentuknya nusantara adalah bukti bahwa kebhinekaan yang menjadi takdir kita adalah anugerah Tuhan yang tak bisa dibayar dengan apapun. Tidak cukup sampai disitu, 13 ribu pulau yang tersebar di berbagai wilayah di indonesia merupakan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa untuk bangsa-bangsa dan suku-suku yang memeluk berbagai macam agama dan keyakinan yang tersebar di seluruh penjuru negeri. Dan lewat kongres pemuda, kita menahbiskan diri kita sebagai bangsa yang satu, berbahasa satu dan bertanah air satu bernama indonesia raya yang terbentang dari sabang sampai merauke. Dalam kehidupan sosial-budaya, khususnya manusia Indonesia, memiliki sikap-sikap yang bertujuan untuk menaungi berbagai keragaman tadi. Tenggang rasa, toleransi, gotong royong, egaliter, silih asih dan lain sebagainya adalah suatu sikap hidup luhur yang kita miliki sebagai manusia dalam menyikapi kehidupan kita yang pada kenyataanya memang beragam baik agama, suku, bahasa maupun budayanya.
Tuhan Yang Maha Beda dari makhluknya menghendaki perbedaan bukanlah suatu alasan bagi manusia untuk berpecah-belah diri dan saling bertentangan. Dia menginginkan setiap manusia berbeda. Berbeda bukanlah suatu sikap memisahkan diri, menyatakan diri menentang ataupun menyatakan diri tidak selaras dengan yang lainnya. Dan yang lebih penting dari itu adalah kenapa kita berbeda?
Selain karena bahwa memang perbedaan adalah anugerah kita harus merenungi faktor-faktor yang menjadikan kita berbeda. Seperti dikemukakan diatas mengenai beragamnya interpretasi terhadap qur’an adalah disebabkan tidak hanya satu cara untuk memahaminya, meskipun pada konsepnya kita punya metodologi yang baku, pada implementasinya tidak selalu sama menimbang berbagai faktor yang ada di sekitar manusia.
Pada interaksi yang lebih luas, manusia di dunia ini tidak hanya menganut satu agama. Kalau di dunia ini hanya ada agama islam, maka tidak akan ada toleransi antar umat beragama. Maka, berbeda antara satu dan yang lain bukanlah suatu sikap keengganan sebagai resultan dari perbedaan interpretasi yang menghasilkan misalnya, diferensiasi dalam kehidupan.
Kehidupan keberagamaan di indonesia adalah salah satu contoh kesepakatan manusianya untuk berbeda satu sama lain dengan tanpa meninggalkan sikap-sikap luhur yang kita jadikan pedoman hidup dan berinteraksi satu sama lain. Dan islam di indonesia tidak hanya punya satu corak. Ada beragam corak dalam cara berislam ala indonesia dan masing-masing corak memiliki sub-sub tersendiri.
Seorang pelajar mesti memahami bahwa banyak cara untuk mencari ilmu, entah apapun itu. Seorang pengusaha harus meyakini bahwa tidak hanya satu jalan untuk meraih sukses yang diinginkan. Dan seorang agamawan pun tentunya tahu, tidak hanya satu jalan untuk menuju ridha Tuhan. Dan semuanya kembali kepada kita, apakah kita mau mempelajari dan merenungi cara yang berbeda-beda itu agara kita tidak menjadi bebal, agar kita benar-benar meresapi kehidupan yang memang ditakdirkan seperti pelangi yang berwarna-warni.
Pada hakikatnya, terserah apapun parameter kita dalam menilai manusia, terlebih dari sisi positifnya, dalam perbedaan-perbedaan yang sangat mencolok sekalipun kita akan menemui banyak persamaan. Semua manusia yang memiliki diversitas itu punya satu kesamaan yang pasti bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan. Semua manusia butuh makan untuk hidup, semua manusia berasal dari tanah dan kembali ke tanah dan lain sebagainya. Sebagai manusia yang megesakan Tuhan, seyogyanya kita memperlakukan setiap manusia berlandaskan satu sikap pasti: semua manusia adalah ciptaan Tuhan, berhak hidup dan memenuhi segala kebutuhan hidupnya baik primer, sekunder maupun komplementer.
Terlebih sebagai manusia indonesia yang beragama islam, sikap tadi selaras dengan semboyan bhineka tunggal ika, berbeda-beda tetapi tetap satu. Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin menghendaki keseimbangan interaksi ketuhanan (hablun minallah) dan interaksi kemanusiaan (hablun minannas) agar tercapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Dan pada akhirnya, perbedaan bukanlah hambatan untuk menciptakan persatuan. Indonesia sudah membuktikannya.
Meski seringkali dikoyak-koyak, semoga indonesia tetap utuh sampai kiamat. Dan maksud yang diinginkan dengan adanya perbedaan, bukan berarti kita membeda-bedakan diri satu sama lain melainkan meneguhkan sikap egaliter untuk mencapai satu tujuan yang sama. Dan pertanyaan untuk kita bersama adalah sejauh mana kita merawat perbedaan yang sudah menjadi kesepakatan bersama?